Apa Kabar Bumiku

SAMPAI hari ini manusia masih meyakini bahwa bumi merupakan satu-satunya planet dalam galaksi Bimasakti yang layak dihuni manusia. Dengan kekayaan sumber daya alam yang tersedia bagi kelangsungan hidup manusia, bumi menjadi begitu berharga bagi kehidupan.

Oleh karena itu keberadaan bumi dan kelestarian ekosistemnya berbanding lurus dengan kehidupan manusia di permukaannya. Dari kekayaan bumilah manusia memenuhi kebutuhan hidup dan melaksanakan hajatnya.

Namun sungguh patut disayangkan apabila manusia banyak melakukan tindakan yang justru merusak habitat dan mencemari lingkungan ekosistem buminya. Lalu bagaimana manusia seharusnya memperlakukan bumi?

Indonesia adalah salah satu negara yang wilayahnya cukup luas dengan sumber daya alam melimpah. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana bangsa Indonesia memperlakukan buminya? Menurut data wahana lingkungan hidup (Walhi), dari seluruh lahan di Indonesia, 35 persen dijadikan lahan tambang.
Di samping pembukaan tambang bumi Indonesia juga dijadikan sumber potensial bagi produksi perhutanan. Sekitar 35, 1 juta hektare (ha) menjadi kawasan HPH, 15 juta ha menjadi kawasan Hak Guna Usaha (HGU) dan 8,8 juta digunakan sebagai kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI).

Semua ini dilakukan dengan niat meningkatkan taraf hidup rakyat Indonesia dengan memaksimalkan eksplorasi sumber daya alam yang melimpah.
Sungguh sangat ironis ketika dimenemukan fakta seperti dilansir jaringan advokasi tambang (Jatam) bahwa ternyata produksi energi yang dihasilkan dari eksplorasi sumber daya alam Indonesia berbanding lurus dengan produksi kemiskinan.

Jumlah tertinggi populasi keluarga miskin, kasus pencemaran kingkungan, dan pencemaran HAM ditemukan di daerah kaya tambang migas, tempat beroperasinya Trans Nasional Corporation's.
Nangroe Aceh Darussalam dengan 9 perusahaan migas yang beroperasi, termasuk daerah termiskin nomor empat dengan 28,5 persen penduduk miskin, jumlah tertinggi terdapat di daerah Aceh Utara.

Riau dengan 21 perusahaan migas, termiskin ke 13, dengan populasi miskin sekitar 22,19 persen di mana lima tahun terakhir presentase penduduk miskin terus naik. Padahal Riau memasok sekitar 70 persen minyak produksi Indonesia.
Sumatera Selatan dengan 22 perusahaan migas yang beroperasi, terkategori sebagai daerah terkaya, terutama kawasan Musi Banyuasin, ternyata populasi penduduk miskinnya paling tinggi.

Kalimantan Timur dengan 19 perusahaan migas, jumlah penduduk miskin merata di 13 kabupaten, dengan penduduk termiskin terdapat di Kutai Kertanegara. Termasuk Papua, merupakan daerah termiskin di Indonesia, sebanyak 38,69 persen dari populasinya berada dibawah garis kemiskinan.

Indonesia sudah melakukan eksplorasi besar atas kekayaan alamnya, menurut Walhi dan Jatam, 60 persen daratan Indonesia habis dibagi untuk konsesi HPH, HTI, perkebunan dan tambang skala besar, belum termasuk tambang migas dan galian C.

Sudah 75 persen cadangan minyak bumi dan 25 persen gas bumi dihabiskan. Sedikitnya 1,2 miliar ton tailing telah dihasilkan oleh enam perusahaan tambang skala besar, lebih dari tiga juta ha hutan dibabat dalam tiga tahun terakhir sehingga laju kerusakan hutan Indonesia enam kali lapangan bola (300 ha) per detik.

Kasihan Bumiku
Apalagi yang belum diberikan bumi untuk Indonesia? Ternyata bukan kesejahteraan yang diperoleh oleh rakyat Indonesia melainkan kerusakan ekosistem yang parah dan menggiriskan.
Tahun 2002, daftar spicies terancam punah terpanjang di dunia, mencapai 528 spicies dan 75 persen keragaman hayati pangan telah hilang. Sementara di sektor kelautan, hanya enam persen terumbu karang yang sisanya masih baik dari seluruh terumbu karang nasional seluas 60 ribu kilometer persegi (12-15 persen total terumbu karang dunia).

Eksplorasi besar-besaran terhadap sumber daya alam tidak hanya berefek pada kerusakan lingkungan ekosistem bumi, tetapi berefek juga pada kehidupan manusia.

Di samping kemiskinan (lebih dari 5.254.400 orang di wilayah pesisir hidup dalam kondisi miskin) yang tetap merajalela bahkan pada daerah yang memiliki cadangan sumber daya alam yang berlimpah, eksplorasi alam juga mengakibatkan berbagai bencana mengancam kehidupan manusia. Dari 673 bencana yang terjadi di Indonesia sejak tahun 1998 - 2004, lebih dari 65 persen diantaranya merupakan kesalahan pengelolaan lingkungan (banjir, longsor, dan kebakaran hutan).

Dampak Liberalisasi
Kerusakan lingkungan dan penderitaan masyarakat akibat eksplorasi alam yang menjadi sangat eksploitatif ini diakibatkan oleh kebijakan pemerintah yang bercorak neoliberal dan berparadigma eksploitatif.

Ini terlihat pada beberapa kebijakan yang diambil pemerintah. Seperti privatisasi sektor publik yang menyebabkan masyarakat yang hidup di daerah kaya sumber daya alam tetap miskin dan terbelakang karena hasil alam mereka dinikmati pemodal.

Eksplorasi potensi minyak dan gas di Indonesia sekarang, 85 persen dikuasai asing pertamina hanya menguasai 15 persen. Privatisasi terus berlanjut di berbagai sektor dengan menjual perusahaan-perusahaan vital milik negara, di antaranya bidang energi, komunikasi, perbankan, dan transportasi.

Hingga 2003, lebih dari 30 BUMN telah diobral asetnya untuk mendapatkan pemasukan Rp 7,34 triliun dari target penjualan Rp 8 triliun. Tahun 2004, selain PT Bukit Asam dan Bank Mandiri, sekitar 15-an BUMN nonbank digadaikan ke ADB sebagai jaminan pinjaman sebesar 400 juta dolar AS.

Kebijakan percepatan investasi didorong dengan mengeluarkan produk kebijakan promodal. Mulai dari UU No 19 tahun 2004, UU Migas, UU SDA, Kepres No 36 tahun 2005. Indonesia benar-benar telah menjelma menjadi negara yang begitu friendly dengan modal, meskipun Indonesia harus mengorbankan kepentingan rakyatnya.

Pemerintah mendorong percepatan eksplorasi terhadap sumber daya alam potensial. Saat ini pemerintah telah membagi habis untuk kebutuhan ekspor ke Fujian, Korea, Jepang, Filipina dan US West Coast atas cadangan gas Tangguh yang berkapasitas 14,4 tcf (matrik ton per tahun).
Kontrak penjualannya saja berlangsung dari 20 hingga 50 tahun. Yang sangat mengherankan, penjualan gas ke Korea Selatan harus dimulai tahun 2005 padahal Tangguh sendiri baru beroperasi tahun 2008.

Pemerintah juga memicu pertumbuhan utang luar negeri dengan alasan kesejahteraan rakyat. Pemerintah menambah utang luar negeri, padahal 1/4 APBN habis untuk membayar bunga utang setiap tahun. APBN pun defisit. Kebijakan menaikkan harga BBM ditempuh juga pemerintah. Bagi Indonesia yang 90 persen konsumsi energinya bergantung BBM, menaikkan harga BBM merupakan masalah pelik, karena seluruh aktivitas keseharian masyarakat bergantung kepada BBM.

Namun untuk mengantisipasi ini, pemerintah malah menaikkan harga BBM dan menganjurkan penghematan. Ini sama dengan membunuh rakyat sendiri. Beberapa praktik kebijakan pemerintah yang berparadigma eksploitatif dan sangat kental aroma neoliberalisnya tersebut yang mengakibatkan penderitaan rakyat Indonesia yang harus miskin di tengah kekayaan sumberdaya alamnya.

Bahkan yang lebih parah lagi rakyat miskin tersebut harus pula menanggung efek dari kerusakan lingkungan aibat eksplorasi yang berlebihan. Sepertinya kekayaan sumber daya alam dan keragaman hayati yang dimiliki Indonesia telah menjadi kutukan menakutkan.
Untuk menyelamakan kondisi ini, pemerintah bersama rakyat Indonesia harus melakukan berbagai upaya demi keselamatan lingkungan ekosistem bumi dan manusia sebagai penghuninya.

Yang paling mendasar yang seharusnya dilakukan adalah, pertama, mendorong paradigma pengelolaan sumberdaya alam yang berbasis pada kearifan lokal maupun keunikan lokal.
Kedua, penting untuk cara pancang pembangunan yang berpusat pada keselamatan dan kesejahteraan rakyat dan keberlanjutan pelayanan alam. Ini berarti keberadaan lingkungan ekosistem bumi yang kaya selayaknya hanya dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Bukan untuk memuaskan nafsu serakah manusia. Apabila ini tidak ada, maka bukan mustahil bumi akan marah dan meluluhlantakan segalanya. (*)

(Catatan Hari Bumi 22 April 2006)

Tulisan ini dipublikasikan di Harian Tribun Timur Makassar, pada 22 April 2006

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama