Hentikan Menelanjangi Kartini!

Pada 28 Rabiulakhir 1808 yang bertepatan dengan 21 April 1879 di Desa Mayong, Jepara, lahirlah seorang bayi perempuan yang oleh ibunya diberi nama Kartini. Bayi perempuan tersebut adalah putri Asisten Wedana onderdistrik Mayong, Kabupaten Jepara dari seorang selir. Karena posisinya sebagai anak selir itulah sehingga Kartini hanya dilahirkan di rumah kecil sang Asisten Wedana, bahkan perlakuan diskriminatif itu dialami Kartini sampai dia beranjak dewasa.

Kartini yang kemudian dikenal sebagai seorang poiner dalam perjuangan hak-hak perempuan di Indonesia tidak hanya mengalami diskriminasi di rumah dimana istri utama ayahnya yang memang masih keturunan Ratu Madura itu “cukup membencinya”, Kartini juga mengalami dan merasakan diskriminasi ketika dia masuk sekolah. Para guru dan teman sekolahnya yang kebanyakan Belanda mengambil sikap bermusuhan terhadapnya.

Karena tempaan dari perlakuan diskriminatif bertubi-tubi yang dialaminya itulah, maka kartini muda kemudian berusaha untuk memperbaiki nasib kaumnya. Perjuangan yang dilakukannya tersebut mendapatkan simpati dari segelintir sahabat Belandanya seperti Ny. Van Zeggelen dan Estelle Zeehandellar, bahkan Ny. Van Zeggelen sampai menulis roman tentang Kartini. Sekalipun masih terlihat adanya diskriminasi terhadap perempuan pada hari ini, namun tidak dapat dipungkiri bahwa posisi perempuan hari ini sudah jauh lebih terhormat pada masa Kartini dahulu.

Kartini (di)telanjang(i)
Perjuangan Kartini demi sebuah kebebasan bagi wanita untuk memperoleh jati dirinya dan melepaskan diri dari belenggu ketertindasannya telah membuahkan hasil. Isu tentang pemenuhan dan penghormatan atas kebebasan (freedom) dan persamaan hak (equal rights) antara laki-laki dan perempuan sudah bukan lagi menjadi barang langka. Namun dibalik keberhasilan perjuangan yang telah dirintis oleh Kartini, tetap ada sebuah aura kecemasan yang terselip ketika melihat realitas perempuan hari ini.

Kebebasan yang dimiliki oleh perempuan telah mengalami reduksi dari apa yang menjadi cita-cita luhur Kartini. Kebebasan perempuan hari ini direpresentasikan dengan kebebasan perempuan dalam memperlakukan dan mengeksplorasi tubuhnya dengan keindahan (estetisme seni). Bahkan lebih jauh, kaum perempuan merasa bahwa dengan mempertontonkan tubuhnya yang tidak memakai/tanpa baju (nude female) ataupun badannya yang tampil bugil (naked woman), mereka menganggap sebagai keberhasilan dari gerakan kebebasan perempuan yang telah diperjuangkan oleh Kartini dulu.

Pelaku pornografi (dalam hal ini perempuan), ketika mereka melakukan hal tersebut, justru telah menjadi Kartini-kartini telanjang yang tidak tahu malu. Mereka telah menelanjangi Kartini, tidak hanya menelanjangi pakaiannya, melainkan bahkan juga telah menelanjangi perjuangan-perjuangannya.

Padahal kalau diperhatikan secara seksama, akan terlihat bahwa hal-hal yang diperjuangkan oleh Kartini adalah hal-hal yang bersifat luhur. Hal ini diungkapkannya kepada Estelle Zeehandellar (seorang sahabat Belandanya) bahwa, “Orang-orang Belanda itu menertawakan dan mengejek kebodohan kami, tapi kami berusaha maju, kemudian mereka mengambil sikap menentang kami. Aduhai! Betapa banyaknya dukacita dahulu semasa kanak-kanak di sekolah; para guru dan banyak di antara kawan mengambil sikap permusuhan kepada kami…” Dari suratnya ini, terlihat bahwa Kartini memperjuangkan pendidikan yang dianggapnya begitu diskriminatif bagi perempuan dan bukannya memperjuangkan kebebasan perempuan untuk dengan seenaknya melakukan ketelanjangan-kebugilan.

Dalam konteks penelanjangan atas Kartini, pers atau media massa seringkali menjadi juru bicara bagi orang-orang yang mengagung-agungkan pornografi. Dengan berlindung dibalik benteng kebebasan pers, dengan seenaknya media memasang gambar-gambar yang terkategori porno. Memang masalah porno dan tidaknya sebuah gambar menjadi perdebatan, tetapi kalau ditinjau dari segi istilah, maka gambar yang terpampang dalam berbagai media massa kita memang bisa terkategori pornografi.

Pornografi sebagai sebuah istilah untuk menyebut gambar-gambar yang memperlihatkan bagian-bagian tubuh sensitif dari perempuan berasal dari bahasa Yunani, yaitu porne artinya 'wanita jalang' dan graphos berarti ‘gambar’ atau ‘tulisan’. Namun yang menjadi persoalan adalah karena kata ini kemudian mengalami pembiasan makna bahwa pornografi adalah hal yang bersifat negatif.

Kenapasih gambar-gambar yang memperlihatkan bagian-bagian tubuh sensitif dari perempuan selalu diasosiasikan kepada hal-hal negatif? Padahal kalau disorot secara lebih jauh, bisa saja sebenarnya gambar itu merepresentasikan keindahan (estetisme seni) dan kebebasan perempuan di dalam memperlakukan dan mengeksplorasi tubuhnya.

Disinilah pers bermain dengan begitu cantik. Media massa menjadi alat-medium pornokratisasi yang paling beruntung dalam mempraktekkan tatanan pornografi. Pers menjalankan fungsi pornokratiknya dengan berlindung di balik argumen kebebasan pers. Pornokratik secara sederhana berarti pemerintahan porno (berasal dari bahasa Yunani, yaitu porne artinya 'wanita jalang' cratia artinya pemerintahan/tata aturan) yang berfungsi melakukan proses seleksi, penyaringan dan pendistribusian produk-produk yang berbau porno.

Politik Tubuh; Histeria Hasrat
Fungsi pornokratik bekerja dengan apa yang dikenal sebagai politik tubuh pers. Dalam fungsi ini, media massa menjadikan tubuh sebagai komoditas yang dieksplorasi dan dieksploitasi demi kepuasan konsumen. Jadi sesungguhnya, pornokratik merupakan sebuah logika kerja media yang yang tidak lagi peduli pada pesoalan estetik dari sebuah tubuh yang telanjang, juga tidak peduli dengan persoalan etik dari sebuah badan yang bugil.

Dalam konteks ini, media massa tidak peduli lagi tentang perbedaan mendasar dari seorang tubuh perempuan yang tidak memakai/tanpa baju (nude female) ataupun badan seorang wanita yang tampil bugil (naked woman). Pers hanya peduli untuk memuaskan libido konsumen yang bekerja dalam logika ekonomi libido (libidonomic). Pers merangsang kenikmatan konsumen sampai memuncak pada titik histeria hasrat.

Histeria hasrat ditunjukkan dengan rasa puas yang terbangun pada diri konsumen (laki-laki) dalam bentuk kepuasan ketika melihat sesuatu yang porno. Sementara itu perempuan sebagai pelaku pornografi akan menemukan kepuasan ketika kemolekan tubuhnya dikagumi, dinikmati, dipuja dan didamba oleh oleh konsumen (laki-laki). Inilah situasi scopofhilia, situasi psikologis dimana seseorang merasa puas ketika menjadi tontonan.

Padahal sebagaimana sebagaimana diungkapkan oleh Goenawan Mohamad, pornografi hanya punya satu kemungkinan, yaitu orgasme, sebuah mekanisme pemuasan hasrat erotik manusia (dalam hal ini laki-laki). Efek yang dihasilkan dari proses ini adalah bahwa tubuh perempuan sepenuhnya dipandang hanya sebagai obyek kesenangan (object of pleasure) oleh karena itu harus dikontrol sesuai dengan keinginan pihak penikmat, dalam hal ini para lelaki. Kebebasan (freedom) dan persamaan hak (equal rights) yang diperjuangkan oleh Kartini kembali menjadi mentah dihadapan budaya yang sepenuhnya patriarkhi dan fhallosentris.

Mengembalikan Peran Etik Pers
Bagi pers, penting kiranya untuk mengganti fungsi pornokratiknya yang terkesan bebas nilai dan menunjukkan sebuah fenomena komersialisasi tubuh dengan peran etik, peran pers yang mampu mendorong posisi pers menjadi medium bagi masyarakat untuk belajar memproduksi tatanan etika dan moralitas demi terjaganya nilai agung manusia sebagai makhluk yang bermartabat.

Peran etik pers ini selayaknya pertama, tidak hanya bekerja sebagai sebuah anjuran moral belaka, melainkan seharusnya difahami sebagai sebuah nilai yang absah berlaku secara yusticia dalam masyarakat. Sehingga peran etik pers ini memiliki kekuatan hukum untuk melindungi masyarakat dari ketercemaran informasi yang berbentuk pornografi. Lebih khusus lagi, peran etik pers ini akan melindungi kaum perempuan yang pada hari ini (di)telanjang(i) tanpa malu, juga melindungi generasi muda kita yang dari hari kehari menjadi pecandu hal-hal yang berbau porno.

Kedua, seharusnya pers menyadari posisinya sebagai salah satu informasi masyarakat dengan demikian para jurnalis punya kewajiban untuk melindungi kepentingan publik pembacanya. Bahkan lebih jauh, pers seharusnya secara arif mampu mendefenisikan dengan baik tentang batasan-batasan atas kebebasannya yang justru cenderung menjadi kebablasan. Ini bisa tercipta bila pers mampu membangun rasa tanggung jawab yang tidak hanya sebagai anjuran moral-etis, melainkan sebagai sebuah kewajiban.

Ketiga, pers mengambil peran dan partispasi aktif untuk menyadarkan agar para lelaki terlibat dalam upaya membangun sebuah taat kehidupan yang berkeadilan, bebas penindasan dan anti diskriminasi. Tapi diatas semua itu, peran etik pers diharapkan bisa menjadi alat untuk meluruskan arah dan tujuan perjuangan kaum perempuan yang telah dirintis oleh Kartini, “perempuan memperoleh jati dirinya dan melepaskan diri dari belenggu ketertindasannya dalam bentuk pemenuhan dan penghormatan atas kebebasan (freedom) dan persamaan hak (equal rights) antara laki-laki dan perempuan”.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama