Corporate Governance dan Globalisasi

Globalisasi bukan lagi hanya sekedar imajinasi, dia merupakan kenyataan yang berdiri dihadapan kita semua. Persoalan yang menyertainya bukan lagi pada apakah kita menolak kehadirannya atau menerima, melainkan sejauhmana kesiapan kita untuk menghadapinya. Beberapa waktu yang lalu, bahkan Soesilo Bambang Yudhoyono dalam koteks menyikapi globalisasi ini mengatakan “Mari dengan cerdas dan bijak berusaha mendapatkan peluang, bekerjasama dan memilih yang baik dari globalisasi”.

Menghadapi kehadiran globalisasi ini menuntut kita untuk tidak secara gegabah menerimanya secara utuh, melainkan menuntut kita untuk secara kritis mampu melihat peluang yang diberikan oleh arus globalisasi bagi kemajuan bersama. Harus diakui bahwa kehadiran globalisasi telah mengakibatkan efek perubahan yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat diberbagai sektor, mulai dari sektor politik, sosial, budaya, serta ekonomi.

Wahjudi Prakarsa (2000 : 17) mensinyalir, setidaknya ada empat hal yang mengalami perubahan yang diakibatkan oleh arus globalisasi, terutama dalam konteks perekonomian. Pertama, adanya perubahan konstelasi perpolitikan global dari era geo-politik menuju era geo-ekonomi. Kedua, terjadi akselerasi peningkatan peran sektor privat dalam era globalisasi. Ketiga, menguatnya interdependensi antar perusahaan maupun antar negara yang makin meluas dalam era revolusi informasi. Keempat, lahirnya lingkungan persaingan yang makin turbulen.

Menjinakkan Globalisasi
Dengan adanya pergeseran sebagaimana yang disebutkan oleh Wahjudi, maka tentu ini menuntut respon dari kita semua, perlu adanya sebuah upaya sistematis untuk menyiapkan berbagai langkah antisipasi. Memang ikhtiar untuk memajukan lingkungan kebijakan bagi penyehatan dunia bisnis dibutuhkan agar kita bisa bersaing secara ekonomi dalam era gloalisasi. Namun disamping melahirkan regulasi yang mampu menyehatkan, juga menjadi hal yang penting untuk meningkatkan pemahaman publik tentang pendekatan yang berpusat kebisnis.

Tentu upaya untuk meyakinkan publik tentang pendekatan yang berpusat kebisnis bukanlah hal yang mudah. Masyarakat tentu akan mengkhawatirkan efek sosial-budaya yang dilahirkan oleh pendekatan ini. Proses industrialisasi pastilah akan ditenggarai sebagai penyebab utama banalisasi kebudayaan yang dialami oleh komunitas-komunitas kultural. Olehnya itu kehadiran forum bagi wacana publik sangat penting untuk difasilitasi sebagai tempat bagi publik untuk menyampaikan partisipasi kritisnya.

Partisipasi kritis dari publik akan bisa tumbuh dengan baik apabila dunia usaha punya kemampuan untuk merespon kepedulian dan sentimen masyarakat lapisan bawah yang relatif tinggi. dunia usaha tidak hanya memiliki tanggungjawab dan kewajiban untuk menghasilkan laba yang sebesar-besarnya bagi kaum pemodal, trapi disamping itu juga dituntut untuk melaksanakan tanggungjawab sosial. Tanggungjawab sosial itu merupakan kewajiban yang tidak bisa diabaikan begitu saja oleh dunia usaha.

Aktualisasi dari tanggungjawab sosial dari dunia usaha terhadap lingkungannya diartikulasikan dalam berbagai macam aktivitas yang mempercepat terciptanya landasan pengembangan sumberdaya manusia suatu komunitas. Ini berarti bahwa dunia usaha berkewajiban untuk menjaga dan tetap mengembangkan identitas lokal dan memperkuat ikatan komunitas. Hal ini agar jangan sampai perkembangan pesat dari dunia usaha dan perekonomian malah makin menyebabkan ketimpangan dan keretakan sosial yang akut.

Penting juga kiranya diperhatikan oleh dunia usaha dan kaum pebisnis untuk membantu lembaga keuangan dan investasi lain dalam masyarakat. Hal ini misalnya dalam bentuk memberi bantuan modal bagi lembaga perkreditan rakyat ataukah melalui koperasi dan unit usaha rumah tangga. Tentu ini akan mendorong gerak laju perekonomian di sektor ekonomi mikro. Disamping itu pemberian beasiswa ataukah dana sumbangan sosial bagi kegiatan pemuda dan olahraga merupakan sebentuk investasi lain yang bisa menguntungkan secara sosial bagi dunia uaha.

Dalam konteks menjinakkan atau mengambil kesempatan yang baik dari globalisasi sebagaimana dijelaskan diatas, maka dibutuhkan sebuah mekanisme yang mengaturnya yang dikenal dengan nama Corporate Governance. Konsep ini menurut Wahjudi Prakarsa (2000 : 19) adalah mekanisme administratif untuk mengatur perilaku kelompok-kelompok kepentingan di dalam masyarakat untuk mengakomodasikan kelemahan-kelemahan yang masih inheren dalam mekanisme-mekanisme lain yang mengatur interaksi ekonomi (mekanisme kompetisi yang inheren dalam permintaan dan penawaran), interaksi sosial (mekanisme kooperasi), interaksi politik (mekanisme demokrasi).

Tentu penerapan dari corporate governance ini bukanlah hal yang mudah, karena upaya ini membutuhkan keterlibatan aktif dari tiga komponen yang membangun sebuah masyarakat, yaitu masyarakat pasar (market society) yang diwakili oleh dunia usaha, masyarakat politik (political society) yang diwakili oleh birokrasi dan masyarakat sipil (civil society) yang direpresentasikan oleh kelompok-kelompok yang merepresentasikan komunitas kultural dan sosiopolitik dalam masyarakat.

Reformasi Birokrasi
Pada tataran birokrasi, upaya menginternalisasi nilai-nilai good governance sangat penting dilakukan dalam era globalisasi ini. Sebuah pemerintahan yang sehat dan kuat sangat dibutuhkan untuk melindungi publik dari gerusan efek negatif dari globalisasi. Nilai-nilai good governance tersebut meliputi, pertama, penghormatan dan penghargaan yang tinggi terhadap rasa keadilan bersama. Sikap ini lebih dikenal dengan istilah law enforcement, penegakan hukum yang bersendikan pada kesetaraan, keadilan dan perlakuan yang sama di depan hukum.

Kedua, prinsip menepati janji yang terkait erat dengan kejujuran publik atau lebih dikenal dengan prinsip akuntabilitas. Akuntabilitas ini dapat diwujudkan apabila terbangun sebuah sistem birokrasi yang kondusif bagi pengawasan efektif dalam kinerja struktur birokrasi pemerintahan. Ketiga, dibutuhkan keberanian untuk melawan sistem yang korup dan despotik. Langkah untuk melakukan itu dibutuhkan sebuah proses sosial yang mengedepankan transparansi. Birokrasi mempunyai kewajiban untuk meneydiakan informasi yang obyektif, akurat dan tepat waktu kepada publik dan shareholder yang lain. Keempat, birokrasi dituntut untuk mengedepankan nilai-nilai profesionalitas yang mengejawantah dalam kebijakan yang mengedepankan tanggungjawab sosial dari birokrasi.

Penerapan nilai-nilai dan prinsip good governance dalam sistem birokrasi pemerintahan akan mendorong terjadinya, pertama, perbaikan dibidang administrasi dan kelembagaan. Pelayaan publik yang disediakan oleh birokrasi menjadi makin efektif dan simpel. Kedua, terjadi desentralisasi dalam pembuatan kebijakan. Dalam konteks Indonesia, desentralisasi dalam pembuatan kebijakan diwujudkan dalam bentuk otonomi daerah yang memebrikan peluand an kesempatan besar bagi daerah otonom di tingkat kabupaten/kota untuk mengeluarkan peraturan daerah yang bermanfaat bagi pengembangan daerah.

Ketiga, penerapan good governance juga menuntut perbaikan manajerial pada sektor pengelolaan sumberdaya manusia, keuangan, dan sistem informasi birorasi pemerintah sehingga dapat bekerja lebih efektif. Keempat, dibutuhkan perbaikan pada ukuran-ukuran untuk menilai kinerja dan output kegiatan birokrasi pemerintah. Apabila ini bisa dilaksanakan dengan baik, birokrasi kita diharapkan bisa menjadi pengayom bagi masyarakat sipil danmasyarakat pasar di era globalisasi ini.

Good Governance Perusahaan
Disamping berlalu makro pada tataran masyarakat secara luas, dalam konteks yang lebih mikro, pemberlakukan good governance di dalam perusahaan mempunyai defenisi yang khas. Fachri Ali (2000 : 2) menjelaskan bahwa corporate governance adalah seperangkat gagasan dan praktek yang memberikan pagar lebih jelas dari proses interaksi berbagai weweang dan fungsi-fungsi internal dari sebuah perusahaan. Tetapi diatas segalanya, konsep corporate governance itu juga secara jelasmengaitkan hubungan tanggungjawab moral dan etis kinerja sebuah perusahaan dengan lingkungan sekitarnya.

Masih menurut Fachri Ali (2000 : 2), adapun unsur-unsur corporate governance itu meliputi, transparancy, accountability, fairness, dan responsibility. Sementara itu, William S. Kanaga (2000 : 62) mengatakan bahwa perusahaan yang menerapkan corporate governance adalah perusahaan yang mengambil peran, pertama, meningkatkan basis tenaga kerja lokal dengan berinvestasi pada pendidikan dan pelatihan. Ini berarti bahwa perusahaan berperan untuk membangun komunitas lokal dimana perusahaan itu berada. Tanggungjawab ini diwujudkan dalam bentuk investasi pada peningkatan kualitas sumberdaya manusia melalui pendidikan dan pelatihan.

Kedua, bekerjasama dengan pemerintah lokal untuk mendorong lingkungan bisnis dengan meningkatkan infrastruktur, membuat peraturan dan melaksanakan peraturan tersebut. Ketiga, bekerjasama dengan para pemasok lokal untuk mendorong pengembangan ekonomi regional dan pertumbuhan ekonomi terpadu dan kompetitif. Ini berarti bahwa perusahaan membangun komunikasi efektif dengan masyarakat sipil maupun masyarakat politik dalam upayanya memajukan dunia industri.

Aktualisasi corporate governance ini diwujudkan oleh perusahaan dengan tidak hanya wajib mematuhi berbagai macam regulasi yang dikeluarkan oleh birokrasi (undang-undang atau ketentuan yang berlaku), tetapi perusahaan juga mempunyai beban etis untuk menjaga kesehatan ekologi dan lingkungan, serta kepentingan masyarakat disekitarnya. Disamping itu tentu perusahaan tidak boleh lupa pada kewajibannya untukmemberikan pelayanan yang prima untuk memenuhi hak-hak konsumen, pemakai jasa atau produk dari perusahaan tersebut.

Apabila good corporate governance, betul-betul bisa diwujudkan dalam sebuah masyarakat menjadi rule of the game yang mengatur interaksi administratif diantara berbagai kelompok kepentingan yang ada (antara masyarakat pasar, politik dan sipil), diharapkan interaksi ekonomi, sosial-budaya, dan politik dapat berlangsung secara partisipatif-koeksistensif dengan semangat demokrasi, sehingga dapat membawa dampak yang positif terhadap interaksi sosial-budaya yang memberi ruang partisipasi kritis bagi masyarakat sipil yang tetap berpijak pada kearifan lokal (local wisdom) maupun keunikan lokal (local unique).

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama