La Capila: Ujung Pengharapan

[12.11.2019] Galigo ini, mengikuti pola umum galigo Bugis, baris pertama menggunakan 8 suku kata, baria kedua 7 suku kata, dan baris ketiga terdiri dari 6 suku kata.
.
Paria lorong no mai (8)
Ri tuju tellongeng ku (7)
Tapada mapai (6)
.
Arti per kata: Paria: Peria / lorong no: ayo menjalarlah / mai: ke mari / Ri tuju: pada arah / tellongeng ku: jendelaku / tapada: kita bersama / mapai: pahit.
.
Tak sulit untuk memahami maksud dari galigo ini. Kata-kata yang digunakannya bukanlah kata arkaik yang punya makna berlapis. Morfemnya pun masih karib di telinga para penutur bahasa Bugis, karena masih digunakan dalam percakapan sehari-hari.
.
Pada baris pertama, galigo ini berisi seruan pada tanaman Peria untuk menjulur ke arah si penyeru, tepat di bawah ambang jendelanya, seperti disebut dalam baris kedua. Seakan, si penyeru mengajak si Peria untuk bersua dan bertemu muka.
.
Untuk apa perjumpaan itu? Tanya ini terjawab pada baris ketiga: tapada mapai. Si penyeru mengajak si Peria untuk bersitatap lewat jendela, agar mereka bisa mengadu kepahitan. Bukankah Peria memanglah sejenis sayur yang pahit?
.
Galigo ini merupakan ungkapan orang yang berada di ujung pengharapan oleh sakitnya dikecewakan. Lihatlah, si pembuat sakit disimbolkan dengan Peria, sebagai pemberi kepahitan. Si korban lalu menyeru lewat galigo ini biar sekalian saja saling menyakiti.
.
Mereka yang begitu kecewa, dan tak lagi melihat cahaya, akan memilih untuk hancur bersama daripada membiarkan dirinya dibelasah derita dan pelakunya tetap bisa tertawa.
.
#galigo #lacapila #bugis #sastrabugis #sastra  #bugismilenial

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama