Pete-Pete dan Japrut


[17.03.2021] Jam digital di layar teleponku sudah menunjukkan waktu pukul 05.44 wita. Subuh sudah terlampaui, rona merah perlahan membilas di ufuk timur. Bersama tas ransel dan sebuah kantong kresek berwarna merah, aku teronggok di sebuah halte di bilangan jalan Perintis Kemerdekaan yang sejak dibuat bertahun lampau tak pernah berhasil digunakan.

Mondar mandir kendaraan melintas di jalanan yang posisinya lebih rendah dari lantai halte yang dibiarkan meninggi sekira satu meter lebih, disesuaikan dengan tinggi lantai bus yang akan melayani penumpang yang menanti di halte. Sepertinya demikianlah perencanaan awalnya. Halte ini merupakan properti yang disiapkan untuk moda bus Mamminasata.

Mamminasata merupakan sebuah konsep pengembangan kawasan kota dengan Makassar sebagai pusat serta tiga daerah satelit sebagai penyangga. Mamminasata merupakan akronim dari Makasar, Maros (Kabupaten di Timur Makassar), Sungguminasa (ibu kota Kabupaten Gowa di selatan Makassar), dan Takalar (kabupaten di selatan Makassar).

Aku tiba dari Belopa tepat sesaat sebelum azan subuh berkumandang dari masjid kompleks Pusat Dakwah Muhammadiyah Sulsel di Tamalanrea Makassar. Aku memilih turun dari bus antar kota yang mengantarku dari ibu kota Kabupaten Luwu sejak pukul 21.56 wita semalam, agar bisa ikut jamaah salat subuh di masjid kompleks.

Di masjid yang belum selesai pembangunannya itu, aku punya kenangan yang lumayan panjang, berbilang tahun. Meski aku bukan kader atau aktivis Muhammadiyah, aku telah merasa bagian dari kisah tempat ini. Mulai dari imam dan muazinnya yang tak tergantikan hingga meninggal, hingga seorang jamaah yang sepertinya tak pernah alpa di shaf terdepan.

Jamaah itu, seorang pensiunan dosen yang kerap kali kurepotkan selama kuliah, bahkan hingga aku bukan lagi tercatat sebagai mahasiswa di kampus, dan dosen itu pun telah purna bakti. Subuh ini, aku tak menegurnya, hanya menatap wajahnya dari saf belakang, itu sudah cukup, mukanya tetap saja teduh. 

Ketika jamaah perlahan berkurang, aku ikut beranjak, menjemput tas ransel dan kantong kresek merahku di belakang pintu. Kupasang sepasang sepatu sekenanya, lalu kutuju halte di depan, duduk di sana, mengetik tulisan ini, hingga sebuah pete-pete kode D jurusan Daya - Makassar Mall, berhenti tepat di depanku. 

Kulirik layar telepon, sudah pukul 06.07 wita. Tergesa, aku melangkah turun dari halte yang pelat lantainya telah berkurang entah karena apa atau siapa. Sigap si sopir membuka pintu depan, untukku. Maka dengan cergas kuangsurkan badanku ke jok depan, tepat di sampingnya. Pintu kututup dengan kencang, pete-pete kembali melaju. Selain aku, dua orang penumpang juga berada di bagian belakang.

Aku merasa beruntung pagi ini, setelah hitungan tahun, baru kali ini aku kembali menggunakan jasa moda transportasi umum, pete-pete. Sejak kumantapkan hati untuk menetap di kota ini di tahun 2008, sudah sangat langka aku naik pete-pete Kerap kali aku melintas jalan, selalu menumpangi kendaraan sendiri, atau diantar oleh kawan, atau oleh istri, atau oleh adik.

Terang saja, aku sempat khawatir tadi, sebab pengalaman mengajarkan bahwa pete-pete kode D adalah jurusan yang paling ramai. Biasanya, baru jam lima subuh, sudah berseliweran. Pagi ini nampak berbeda, selain yang kutumpangi ini, baru satu pete-pete yang kulihat melintas. Entah mengapa, sepertinya populasinya mulai menyusut.

Apakah nasib pete-pete akan menjangkau nasib almarhum bus bertingkat ala DAMRI di tahun 80an? Aku mengingat betul, di zaman itu, kalau aku yang masih bercangkung di bangku sekolah dasar, bila liburan ke Makassar, akan menikmati kota dengan ber-Damri ria dari Sungguminasa ke Pasar Sentral. Aku selalu memilih duduk di kursi depan lantai atas, biar bisa melihat jalan dari ketinggian.

Begitu pete-pete melewati jembatan layang tepat di atas 'kilo empat', aku mengambil ancang-ancang untuk turun dan berpindah jurusan. Itu berarti akan berpindah pete-pete. Aku memilih teriak 'kiri' di seberang rumah sakit yang huruf-huruf pada tulisan namanya tanggal satu persatu, hanya menyisakan rangka besi yang mulai berkarat.

Waktu sudah pukul 06.16 wita saat aku tiba di depan portal jalan masuk rumah sakit. Di sana, aku kembali menanti kedatangan pete-pete, kali ini yang berkode E, jurusan IKIP (sekarang UNM) - Makassar Mall. Tas ranselku tersampir di bahu, kresek merah aku letakkan di trotoar, tepat di sela sepatu yang warnanya mulai letih. Jalanan mulai ramai, cahaya mentari mulai membias. 

Pete-pete dari arah kota-Makassar Mall-Pasar Sentral sudah berangsur ramai oleh pelintas. Jalan Urip Sumoharjo memang merupakan jalur yang lumayan padat di Kota Makassar. Setidaknya ada empat jurusan pete-pete reguler yang melintas di jalan di mana Gedung DPRD dan Kantor Gubernur Sulsel berada, ditambah tiga jurusan pete-pete khusus kampus Unhas di kawasan Tamalanrea.

Selain pete-pete kode E yang sedang kunanti, serta arus balik kode D, juga ada kode I (jurusan SMA 5, aku lupa jurusan resminya), kode G (jurusan Perumnas Antang - Makassar Mall), ditambah tiga jurusan pete-pete khusus kampus Unhas: dari jalan Cenderawasih (05), jalan Veteran (02), dan jalan Kandea (09).

Telah seperempat jam waktu berlalu, belum ada satupun pete-pete kode E yang melintas, sudah tiga kode D yang mampir dan menanyakan tujuanku, empat kode G dan dua kode I yang melaju kencang di hadapanku. Bahkan juga sudah ada pete-pete kampus kode 05 yang berlalu. Kembali, pikiranku soal almarhum bus Damri menyeruak.

Ke mana pete-pete jurusan IKIP? Sudah tak beroperasi sejak jalan tol Pettarani dibangun? Lalu jalurnya dilayani transportasi publik jenis apa? Becak? Sudah jarang terlihat. Becak motor? Terlarang di kawasan ini, meski tetap saja ada yang membandel. Lalu apa? Ojol? Atau apakah pete-pete smart, yang selama ini mengemuka secara politis betul-betul akan hadir?

Tiba-tiba sebuah pete-pete melaju kencang, kulihat kode E terpampang di bagian atas kaca depannya. Aku melambai memanggil sambil setengah berteriak. Karena lumayan kencang, pete-pete itu akhirnya berhenti setelah 20an meter menjauh dari tempatku berdiri. Perlahan dia berjalan mundur, mendekat ke arahku. Kepala sopirnya menoleh ke arahku, "Mau ke mana, Pak?". "Ke Ujung," jawabku. "Naik maki'."

Dua orang penumpang telah mendahuluiku di dalam pete-pete, seorang duduk di depan di samping sopir, seorang lagi di bangku kiri dekat pintu naik. Kuhempaskan pantatku di jok penumpang pas di belakang sopir. Kami berempat lelaki semua, tapi tak semua mengenakan masker. Sang sopir mengenakan masker kain yang dilorotkan ke dagu, penumpang di depan tak bermasker, sementara yang tepat di depanku memakai masker kain model scuba.

Jarum jam menunjukkan waktu pukul 06.32 wita saat pete-pete kembali beranjak. Saat berbelok ke kanan ke jalan Pettarani, suasana pagi yang belum terang betul, bertambah temaram. Kehadiran jalan tol layang Pettarani menghalangi sinar matahari menjangkau permukaan aspal. Pete-pete melaju pelan, tak lebih dari 40kilometer 

Dengan niat menikmati ruas jalan Pettarani yang kian mulus, kucoba menuntaskan kantuk sisa semalam, tapi mata enggan terpejam. Suara berisik dari mesin pete-pete, membuat angutku menguap. Kuraih ponsel dan kulanjutkan catatan ini. Sambil memperbaiki posisi tas di pangkuannya, bapak penumpang yang di depanku, melirik sekilas ke arahku, entah apa yang melintas di pikirannya saat ini.

Pernahkah kita mencoba bertanya-tanya apa yang berkecamuk di benak orang-orang yang melintas dan jalurnya beririsan dengan lintasan kita? Seperti ketiga bapak yang bersamaku di pete-pete ini. Bapak yang di depanku lagi tafakur menatap lantai pete-pete, dari mukanya kelihatan bila dirinya belum mandi, seperti diriku. Ujung sepatunya beberapa kali dia sorong-sorongkan ke arah noda yang menempel di lantai.

Dia yang duduk di samping sopir, usianya lebih tua di antara kami semua. Pandangannya selalu lurus ke depan, tas pakaian teronggok di pangkuannya dalam rangkulan tangan kanan. Sementara tangan kirinya berpegang dengan sedikit cengkeraman pada pintu di sisi kirinya, seperti khawatir entah karena apa. Ini juga membuatku penasaran, cemas apa gerangan yang menegangkannya.

Tiba-tiba pete-pete berbelok masuk ke jalan Pengayoman, jalur yang tak lazim, meski memang terkadang pete-pete memberi jasa pengantaran demikian bila hari masih pagi. Aku diam saja, penumpang lain juga tak ada suara, sopir pun tak memberi alasan. Pete-pete melaju konstan, sampai kemudian ia berputar arah pada u-turn ketiga, lalu berhenti dekat sebuah pintu gerbang kompleks perumahan elite.

Bapak penumpang yang di depan lalu turun, membayar ongkos, tersenyum pada si sopir, menutup pintu, lalu kembali tersenyum pada ibu penjaga kios, lebih tepatnya gerobak jualan yang menjajakan berbagai merek rokok dan minuman instan sasetan. Di sana juga tersedia termos air panas dan gelas plastik untuk langsung menyeduh belanjaan. Pete-pete berlalu, aku kembali menatap ke depan, tak tahu apalagi yang terjadi dengan si bapak selanjutnya.

Tak lama setelah pete-pete kembali melintas di jalan Pettarani, penumpang kedua berteriak 'kiri' sebagai tanda bahwa ia pun akan segera meninggalkan pete-pete. Rem yang berdecit menghentikan pete-pete di seberang jalan Rappocini, beberapa meter dari persimpangan jalan Pettarani dan jalan Hertasning. Saat pete-pete beranjak lagi, kulihat bapak itu berdiri mematut-matut diri di depan warung sate yang masih tertutup.

Kini aku tinggal berdua dengan si sopir, tak ada pertukaran kata di antara kami. Aku fokus melanjutkan tulisan ini, si sopir menjalankan pete-petenya sambil sesekali melirik ke kanan dan kiri, mungkin melihat kemungkinan adanya penumpang yang menanti, tapi hingga di ujung jalan Pettarani, tempatku akan turun, tak ada pihak ketiga yang menyela kebersamaan kami. Aku menjadi penumpang terakhir di rit.

Kulangkahkan kaki dengan tas ransel kusampir di pundak belakang, tas kresek kutenteng di tangan kanan, aku melangkah sambil menjawab sapa sopir dua pete-pete merah (mobilnya memang berwarna merah), pete-pete yang melayani jurusan Makassar ke luar kota di selatan, seperti ke Sungguminasa atau Takalar, bahkan hingga ke Jeneponto. Sudah pukul 06.44 wita, simpang jalan Pettarani dan jalan Sultan Alauddin itu sudah ramai.

Untuk tiba ke mukimku di jalan Mallengkeri I, biasanya aku masih perlu menggunakan jasa pete-pete merah hingga ke depan perumahan Bumi Permata Hijau (BPH), salah satu perumahan elite di selatan kota, bahkan rumah pribadi salah seorang mantan gubernur Sulsel, berada di dalam kompleks ini. Di seberang kompleks, terdapat mulut jalan Sultan Alauddin III. Dengan menyusur jalan ini ke dalam, kita akan menemui ujung jalan Mallengkeri I.

Namun kali ini aku memilih tak naik pete-pete, aku lebih tertarik untuk jappa paruntang aliran japrut (bahasa prokem untuk aktivitas jalan kaki yang tak berujung pangkal atau tak jelas juntrungannya). Japrut bisa menjadi alternatif aktivitas fisik yang menyehatkan, saat kesempatan untuk berlatih di mesin treadmill agak kasip. Dengan semangat gerilyawan era 40-an, kumantapkan kaki dan hati untuk menempuh jalur dari lorong tikus satu ke lorong tikus lain.

Dari Ujung, aku masuk ke sebuah gang yang aku lupa namanya, tempat salah satu toko buku yang kerap kutempati berbelanja, Al Faraby berada. Toko buku yang tahun ini menderita naas karena terendam banjir. Kejadian yang belum pernah mereka alami sebelumnya. Banjir kali ini memang lebih parah dari tahun-tahun yang lalu. Tokonya masih tertutup. Dengan tergesa aku menyusur gang hingga keluar di jalan Manuruki II.

Dari sana aku berjalan ke timur, mampir sejenak di pasar kecil Manuruki untuk membeli tiga buah mentimun, lalu berbelok ke kanan menyusur jalan Mamoa Raya, keluar di jalan Mallengkeri Luar. Di jalan yang juga langganan banjir ini, aku menyusur ke timur, melintasi SMP 26 yang seperti sekolah-sekolah lainnya di negeri ini, menjadi seperti kuburan tua selama pandemi.

Jalan Mallengkeri Luar ini bersambung dengan jalan Mallengkeri Utara yang bersimpangan dengan Mallengkeri I. Maka itulah jalur japrut-ku pagi ini. Sepanjang perjalanan, aku berpapasan dengan beberapa remaja putri yang melintas dengan sepeda, remaja putra yang berlari, serta beberapa ibu yang berjalan kaki tanpa alas kaki. Mungkin mereka semua lagi berikhtiar memperbaiki imun tubuh dengan memperbanyak olah fisik, serupa denganku.

Tepat pukul 07.13 wita, aku tiba di depan rumah yang gembok pintu pagarnya masih terpasang. Dengan sedikit teriakan dan ketukan di besi pagar, Mehdi, anak keduaku muncul dan mengangsurkan kunci. Begitu terbuka, aku mengulum salam, mereka (istri dan anak-anakku) membalas salamku, menyambutku dengan senyum. Aku menyimpan tas, menyerahkan kresek, menyambar sarung, lalu masuk kamar mandi, mengguyur sekujur tubuhku dengan air. Sungguh segar, amat segar, mandi pagi-pagi, langsung segar.

Terima kasih, sepatu!

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama