Princesa Dona Elena Vesiva


[29.07.2021] Medio 1546, kala mentari sudah naik sepenggalah, kapal perang Portugis yang sandar di dermaga Machoquique mendadak dikepung pasukan Kerajaan Suppa, dua kelompok pasukan yang merupakan sekutu ini tiba-tiba harus berhadap-hadapan. Seorang dengan jubah santo, Pastor Vincente Viegas, yang sehari-hari melayani umat Katolik jemaat gereja Santo Rafael di Pangkajene, berjalan menuruni tangga kapal, berdiri di depan pimpinan pasukan Kerajaan Suppa.

 

Beberapa saat sebelumnya, saat pagi berbasuh cahaya mentari. Tanpa ada yang menyadari, seseorang telah menyelinap masuk ke ruang nakhoda.

 

“Senhor…” Suara Dona Elena terdengar resah.

 

“Aga kareba? Apa yang terjadi, kenapa Princesa Vesiva ada di sini di pagi buta?” Jawab Eredia, kaget, dia menuntun Dona Elena duduk di bangku, dia sendiri memilih duduk di depannya.

 

“Tire-me daqui, bawa aku pergi.” Kembali Dona Elena merajuk.

 

“Aku tak mungkin membawamu begitu saja, itu bukan perbuatan terhormat.” Suasana hening, hanya suara nafas Dona Elena yang terdengar.

 

“Tapi tuan mencintaiku bukan?” Mata Dona Elena menatap Eredia penuh harap.

 

“Itu tak perlu Princesa ragukan. Tapi bukan berarti kita bisa pergi begitu saja.” Eredia mengeleng-gelengkan kepala.

 

“Aku lelah tuan, ayahku tak bakal menyetujui hubungan kita.” Kedua telapak tangan Dona Elena ditutupkan ke muka.

 

“Kita masih punya waktu untuk mendapatkan restunya. Kapal ini masih punya satu purnama, sebelum angkat sauh.” Eredia meyakinkan.

 

“Nao! Tidak! Ayahku tak akan pernah memberi itu. Nao vai.” Dona Elena menarik nafas panjang.

 

“Kenapa Princesa berkesimpulan begitu?” Muka lelaki bernama lengkap Joao de Eredia Aquaviva, menegang.

 

“Aku akan dinikahkan dengan sepupuku, Arung Bacukiki.” Dona Elena membuang muka.

 

“Kamu serius, Princesa? Dengan Arung Machoquique?” Mata Eredia membelalak.

 

“Ya. Semalam ayahku menyampaikan keputusannya. Itulah mengapa aku berada di sini sekarang. Aku lebih memilihmu!” Dona Elena menggenggam erat tangan Eredia. Lelaki yang lahir di semenanjung barat daya benua Eropa tersebut hanya termangu.

 

Hening menyelimuti, suara kecipak gelombang yang menampar-nampar lambung kapal, begitu nyaring. Tapi tak lama. Di kejauhan, terdengar suara-suara teriakan yang mendengung bak kawanan lebah. Eredia tersentak, Dona Elena tak kalah kaget. Mereka mengerti, itu suara pasukan telah menghunus senjata dan bersiap menghadapi musuh. Pasukan yang bergerak menuju dermaga, tempat di mana kapal yang mereka tumpangi, sementara berlabuh.

 

Seorang prajurit muncul dari balik pintu, wajahnya pias. Sambil membetulkan posisi topinya, ia berseru.

 

“Senhor! Bagaimana ini?”

 

“Magai? Ada apa?” Meski sudah bisa menebak, Eredia mencari penguatan dari jawaban bawahannya.

 

“Pasukan Don Louis, mencoba merangsek naik ke sini. Tuan de Pereira sementara bernegosiasi untuk mengulur waktu.” Jawab si prajurit. Eredia menepuk ringan kepalanya.

 

Di saat genting itulah, Pastor Viegas yang baru saja memungkaskan rangkaian ibadat pagi bersama penumpang kapal, memutuskan dengan pintas.

 

“Joao de Eredia Aquaviva, selaku kuasa penuh Don Joao o Piedoso, Rei de Portugal, e dos Algarves di tanah Celebes, kuperintahkan engkau untuk segera berlayar ke Malaka, sekarang juga!” Suara Pastor Viegas terdengar lembut, namun tegas.

 

“Tapi…” Mata Eredia membelalak.

 

“Tak ada kata tetapi, urusan dengan Don Luis penguasa Palacio La Malaca, nanti saya yang bereskan. Bawa Princesa Vesiva ke Fortaleza de Malaca!” Pastor Viegas kembali mengulang perintahnya sebelum akhirnya berjalan menuruni tangga kapal, menemui pasukan Kerajaan Suppa.

 

*     *      *

 

Awal tahun 1544, dermaga Soreang, mendadak ramai. Sebuah kerakah berbendera Portugis merapat. Kapal layar bertiang tiga itu terlihat sarat muatan.

 

“Bem-vinda a ponta dos celebres!” Teriak seorang lelaki paruh baya dari anjungan kerakah yang dia tumpangi sejak dari Malaka. Lelaki itu, Antonio de Payva namanya.

 

“Selamat datang di tanjung orang-orang tenar!” Kembali de Payva berterian lantang, kedua tangan direntang, menyisakan ujung jubahnya yang kaku akibat terpaan angin laut yang asin, menggantung di sisi tubuhnya yang tambun.

 

Lelaki itu, pimpinan pedagang asal Lusitania, memimpin rombongannya yang baru saja pulang dari ekspedisi mencari kayu cendana di daerah Celebes tengah. Tapi atas perintah Afonso de Albuquerque, penguasa Fortaleza de Malaca di Semenanjung Malaya, de Payva diminta untuk mampir ke jazirah selatan, kawasan yang terkenal sebagai negeri para bajak laut penguasa lautan timur Nusantara.

 

“Tugas kita adalah membangun persahabatan dengan mereka, agar pelayaran kita ke Maluku tak mengalami gangguan.” De Payva kembali mengingatkan anggota rombongannya untuk tidak membuat masalah. Maka setelah kerakah sandar dengan sempurna, rombongan pedagang Portugis itu turun dengan membawa berbagai macam bungkusan sebagai hadiah bagi penguasa Suppa, negara di sebelah utara Soreang.

 

*     *      *

 

Setelah berbilang bulan melakukan pendekatan, akhirnya tugas de Payva membuatkan hasil. Raja Suppa, La Makkarawi yang sebelumnya menganut kepercayaan leluhur Bugis, bersedia bersalin iman menjadi Katolik. Tapi berhubung belum ada pastor yang ikut dalam rombongan, de Payva mengambil peran sebagai juru baptis. Ruang depan Langkanae La Malaka, istana berbahan utama kayu-kayu pilihan dari Malaka, menjadi saksi ketika La Makkarawi melafazkan ikrar perihal keesaan Tritunggal Tuhan, sementara de Payva memercik-mercikkan air ke atas kepalanya.

 

“Dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus, Amin.”

 

Tak tanggung-tanggung, selain dirinya, ikut pula dibaptis istri dan anak-anaknya.

 

Mata We Siwa, salah seorang putri La Makkarawi yang ikut dibaptis, berbinar indah saat de Payva menyematkan Dona Elena Vesiva menjadi namanya yang baru, nama yang diurapi dengan nama agung Tuhan yang Esa, O deus todo-poderoso. Anak berusia lima belas tahun itu merasakan suka cita yang meruah dalam bening jiwanya. Mata mungil Dona Elena melirik ke sisi luar Langkanae, di sana berdiri sesosok perwira Portugis dengan pakaian militer lengkap yang gagah, menjadi saksi peristiwa sakral tersebut. Lelaki muda yang telah mengawal perjalanan de Payva sejak pelayaran mereka beberapa tahun lampau dari ujung barat semenanjung Iberia hingga ke Celebes kini.

 

Sementara itu, La Makkarawi yang dianugerahi nama baptis Don Luis, berjalan ke arah jendela, menatap jauh ke dermaga Suppa, memandang puncak tiang layar Soena Gading, perahu kebanggaannya. Mulutnya bergumam lirih, “Nós somos católicos agora“, sambil melirik de Payva yang ikut berdiri di sisi kirinya, “Kini, kami Katolik.” Senyum mengembang di bibirnya.

 

*     *     *

 

Februari 1546, sisa-sisa musim hujan masih terasa, gerimis menyambut pagi di istana Raja Suppa. Setelah melepas sepatu boot-nya, Eredia menapaki tangga La Malaka. Hari ini dia memantapkan hati menemui Don Luis untuk melamar Dona Elena. Melihat kedatangan perwira Portugis tersebut, La Makkarawi menyilakan Eredia duduk di atas tikar, sementara dia sendiri, tetap di atas cadeira.

 

“Como você está, aga kareba, bagaimana kabar Tuan Perwira?” La Makkarawi menyapa tamunya.

 

“Madeceng mua Puang, kabar baik paduka, semoga Senhor Don Luis demikian juga adanya.” Eredia membungkuk hormat sebelum akhirnya duduk bersila.

 

“Oh ya, ada apa gerangan yang membawa Tuan Perwira hadir di istana sepagi ini?” La Makkarawi menyelidik.

 

“Me perdoe senhor, terdiam sejenak lalu melanjutkan, maafkan aku tuan….” Merapikan duduknya.

 

“O que é isso, tak apa. Bertamu sepagi ini di istanaku bukanlah hal terlarang.”

 

“Aku…. Aku ingin melamar puteri tuan.”

 

“Puteri yang mana? Tentu Tuan Perwira tahu belaka bila aku punya beberapa Puteri.”

 

“Princesa Dona Elena Vesiva, Senhor.”

 

“Oh, We Siwa?”

 

“Iya paduka. Pelo amor de Deus no céu, atas nama Bapa di surga, aku melamarnya.”

 

“Engkau terlambat Tuan Perwira…”

 

“Maksud Senhor Don Luis?”

 

“We Siwa telah dijodohkan dengan sepupunya sejak ia lahir.”

 

“Siapa gerangan dia, Senhor?”

 

“Arung Bacukiki.”

 

“Rei de Machoquique?”

 

“Ya, dan tentu Tuan Perwira tahu, perjodohan ini tak mungkin kami batalkan!” Mendengar perkataan La Makkarawi yang tegas, Eredia tertunduk lesu, jubahnya ikut menjadi lusuh. Tak ada yang bersuara, La Makkarawi juga tak tahu harus mengatakan apa lagi.

 

“Me perdoe…” Ujar Raja Suppa, memecah kesunyian. Tak lama, Eredia pamit, dan undur diri dengan muka ditekuk.

 

Setiba di depan tangga, Eredia mendengar seseorang memanggilnya dengan pelan dari kolong istana.

 

“Senhor, bagaimana?” Wajah Dona Elena menuntut jawab.

 

“Sepertinya kita masih harus menunggu hingga takdir berpihak ke kita, Princesa Vesiva.” Eredia berusaha tersenyum. Mendengar itu, Dona Elena tertunduk kelu.

 

“Aku pamit dulu. Adeus Princesa.”

 

Dona Elena menatap punggung lelaki yang selama ini menjadi penghias mimpi malamnya. Saat Eredia menghilang di tikungan jalan, Dona Elena bergumam lirih, “Eu amo voce…”, buliran bening bergulir di kedua bilah pipinya.

 

*     *     *

 

Hari yang panas, membara sejak kemarin. Amarah yang merembet dari Bacukiki pagi ini menjangkau Pangkajene. Gereja Santo Rafael, tempat Pastor Vincente Viegas melayani jemaat, hangus terbakar. Karena gagal mencegah kepergian putrinya, We Siwa bersama Eredia yang menumpang kapal Portugis, La Makkarawi tak menyisakan jejak Portugis di Ajatappareng.

 

Catatan: Ilustrasi dalam cerpen ini adalah wajah Manuel Godinho de Eredia, seorang kartograf terkenal. Manuel adalah buah pernikahan dari Joao de Eredia Aquaviva dengan Dona Elena Vesiva.

 

Tulisan ini pernah tayang di sini

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama