Resensi: Latopajoko dan Beragam Kisah Dari Badaruddin Amir


Di blantika kepenulisan tanah air, terutama di Sulawesi Selatan, Badaruddin Amir bukan nama baru. Esai, puisi dan cerpen-cerpennya, mudah ditemui di berbagai media, baik skala lokal, maupun skop nasional. Ketelatenannya melahirkan karya dengan latar belakang daerah di Sulsel, membuat karya-karyanya gampang diterima oleh pembaca.

Demikian halnya dengan Kumpulan Cerita bertajuk Latopajoko & Anjing Kasmaran yang ditubuhkannya pada Februari 2007 silam. Latopajoko dan enam belas judul cerita yang membersamainya seakan mengajak kita berkelana pada kawasan yang begitu tepat merepresentasikan suasana masyarakat dan alam yang melingkupi manusia Bugis.

Latopajoko, judul salah satu cerita yang lalu dipilih mewakili kumpulan ini, begitu kuat membetot ingatan masa silam akan kisah-kisah heroisme para pemberani (towarani). Tapi di saat yang sama, Badaruddin berhasil mentransformasi kekuatan lampau sebagai pijakan bagi generasi baru dalam menaja masa depannya.

Latopajoko, yang bisa dibaca La Topajoko (Sang Manusia Penakluk) atau Latoq Pajoko (Kakek Penakluk) adalah sosok yang memiliki kemampuan untuk menundukkan (pacoko) musuhnya. Dengan bermodalkan kesaktian dan ilmu panimboloq, semacam pengetahuan mistis yang berimplikasi pada kebalnya seseorang dari senjata tajam membuat Latopajoko meraih reputasi sebagai towarani.

Kedigdayaan Latopajoko, meskipun telah menjadi pengawal raja, tak pelak mengundang kekhawatiran dari sang raja bahwa pengawalnya yang keturunan pengembara itu akan berbalik melawannya. Upaya raja untuk menjebaknya dengan meminta Latopajoko menghadapi Lataddangpali, perompak yang juga sangat sakti, tak menyurutkan semangat juang untuk mengabdi pada rajanya.

Melalui Latopajoko, Badaruddin mengajari kita makna kesetiaan bahwa, meski hingga polo papa – polo panni (remuk kepak patahlah sayap), kesetiaan tetap di atas segalanya, bahkan hingga harus menghadapi La Malakul Maut (Malaikat Maut). Selain itu, Latopajoko juga menjadi pengingat bahwa kesusksesan bukanlah sesuatu yang diraih secara instan, melainkan harus diperjuangkan dengan pengorbanan sepenuh hati.

Selain soal kepahlawanan, lewat cerita-ceritanya yang mengalir, Badaruddin juga mengajarkan romantisme sederhana namun tak biasa. Daraslah ‘Tahi Lalat Suster Ezra’, atau ‘Pipit Kecil Bermata Sayu’, atau ‘Pinrakati’. Di sana ada alunan percintaan dengan getaran lembut yang hampir tak terasa, tapi sulit untuk dilupakan. Kesemua itu menunjukkan betapa Badaruddin adalah seorang pencerita yang mumpuni.

Tak salah bila Joni Ariadinata dalam pengantarnya atas buku ini, memuji cerpen-cerpen Badaruddin. Joni menera bahwa kehadiran kumpulan yang berisi cerpen dengan gaya tutur klasik, dengan kesederhanaan bahasa ungkap, serta mengutamakan kekuatan tema dan kerapian alur yang terang, menjadi tanda bahwa tampaknya cerpen sedemikian mulai kembali mendapatkan tempat.

Menariknya pula, Badaruddin tak berupaya memuaskan pembaca dengan selalu memenangkan sisi baik dalam ceritanya, bahkan sebaliknya, ia berani berdiri berseberangan dengan keberpihakan mayoritas pembaca. Tengoklah nasib tokoh Dia dalam ‘Dia Berenang Terus’ yang harus kalah oleh konspirasi tokoh Dul Hamid yang merebut istrinya.

Atau tokoh Aku dalam ‘Pipit Kecil Bermata Sayu’ yang memilih untuk tidak melanjutkan percintaan masa kecilnya dengan alasan yang menggemaskan. Badaruddin menulis begini, “Pipit kecil, …… Aku takut bertemu denganmu. Aku takut kenangan percintaan masa kecil kita yang bening, sebening air kali itu, akan ternoda oleh kedewasaan kita yang mendebarkan!

Badaruddin juga melengkapi kumpulan ini dengan kisah yang berbau mistik nan mengguncang seperti pengalaman tokoh ‘saya’ dalam ‘Perempuan di Atas Bus’, atau tokoh ‘lelaki tua’ dalam ‘Di Bawah Cahaya Bulan’. Kedua kisah ini disatukan oleh penggambaran latar belakang sungai dengan nuansa yang temaram dan menimbulkan luka traumatis.

Akhirnya, kesemua itu menjadi kelindan dan jejaring makna yang melukiskan wajah kepengarangan Badaruddin, seorang penulis prolifik yang menjalani keseharian sebagai seorang pendidik.

Judul: Latopajoko & Anjing Kasmaran | Penulis: Badaruddin Amir | Penerbit: AKAR Indonesia | Cetakan: Pertama, Februari 2007 | Jumlah Halaman: xii + 258| ISBN : 979-998382-7

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama