Resensi: Doa Nasri Di Subuh Seribu Kubah


[12.06.2022] Ya Allah. Jika ia memang jodohku, maka dekatkanlah. Jika ia belum menjadi jodohku, maka segerakanlah. Jika memang ia bukan jodohku maka jodohkanlah aku dengan dia.

Ya Allah. Jika ia cinta padaku, maka tampakkanlah. Jika ia belum cinta padaku, maka jadikanlah rasa cinta padaku di hatinya. Jika memang ia tidak mencintaiku, maka buatlah ia mencintaiku. 

Doa itu dipanjatkan oleh Nasri sejak ia mulai aktif dan lalu jatuh hati pada seseorang di Corps Mahasiswa Islam (CMI), sebuah organisasi kemahasiswaan berideologi Islam yang pada awalnya dimasukinya secara setengah hati. Nasri Maulana adalah tokoh utama dalam novel setebal 334 halaman anggitan Saeful Ihsan, seorang aktivis yang juga penulis produktif yang bermukim di kota Palu, Sulawesi Tengah. 

Novel ini seakan ingin menjawab tanya, apakah aktivis mahasiswa berlatar ideologi Islam tak punya lakon romantis yang layak dikisahkan? Saeful seakan berkata tentu saja tidak sepenuhnya benar. Mereka juga punya sisi merah jambu yang begitu menyentuh kalbu, bahkan terkadang amat sublim karena lebih beraroma platonik dibanding erotik. Bisa dibayangkan betapa unik geletar hati yang teresonansi oleh sepenggal nama yang hanya berani diucapkan di dua pertiga malam. 

Apa yang coba dibabar oleh Saeful Ihsan dalam 'Subuh Seribu Kubah' menjadi penanda bahwa menjadi aktivis yang ketat dalam menjaga muruah dan kehormatan pribadi melalui batasan-batasan syariah, terkadang malah bisa memicu resonansi rasa rindu yang mendayu, dengan letupan-letupan gelebah di sudut hati paling tersembunyi. 

Saeful mendedah perjalanan hidup Nasri sejak remaja di Tolitoli yang penurut pada orang tua hingga menjadi seorang aktivis mahasiswa di Palu yang mengharu-biru dalam ikhtiarnya memperjuangkan cinta di tengah terpaan gelombang dunia aktivisme yang bergulung-gulung. Dilengkapi dengan sikap orang tua yang kurang respek atas pilihan hidupnya. 

Saeful berhasil menggambarkan Nasri sebagai seorang aktivis muda dengan semangat melawan apapun yang dianggapnya keliru. Menggedor pintu kantor-kantor pemerintah yang dianggapnya kerilu mengambil kebijakan, merongrong kekuasaan rezim kampus, bahkan berani menghadapi paksaan kehendak dari orang tua. Sebuah pahatan jiwa pemberontak yang sempurna. 

Nasri memilih cuek terhadap perkuliahan sejak mengetahui bahwa intelektualisme telah lama menguap di sana, lalu memilih menjadi pemikir bebas bersama komunitas mahasiswa Islam yang gandrung mengulik beragam isu sosial, politik, dan kebudayaan yang menggugah daya kritis dan jiwa perlawanan. Hingga akhirnya hatinya terpaut pada gelegak jiwa yang senada, dari seorang aktivis berjilbab lebar dari komunitas yang sama. 

Komitmen untuk menggelar pernikahan dini dalam upayanya menegakkan sunah nabi dan menghindari dosa-dosa yang mungkin timbul dari hubungan asmara yang tak legal mendorong Nasri memantapkan hati untuk bekerja demi terkumpulnya biaya nikah yang dibutuhkan. Hal yang menimbulkan kemarahan orang tuanya yang menghendakinya agar menyelesaikan kuliah dahulu, baru berpikir soal membangun rumah tangga. 

Sebagai buku yang ditulis oleh seorang aktivis, jejak-jenak narasi pamflet mudah ditemukan. Seperti pada anak judul 'Agent of Change' seorang tokoh cerita mengungkap kalimat berikut, "Untuk menjadi aktor perubahan sosial atau agent of change, haruslah dimulai dengan berorganisasi. Tanpa organisasi, mahasiswa tidak memiliki kekuatan untuk melakukan perubahan" (hal. 75). 

Kalimat ini mengingatkan kita pada kutipan tenar dari seorang jurnalis cum aktivis pergerakan sebelum kemerdekaan, Marco Katrodikromo. Dalam salah satu risalahnya yang bertajuk 'Student Hijo', Marco menorehkan kalimat cadas, “Didik rakyat dengan pergerakan dan didik penguasa dengan perlawanan”. Slogan ini lalu dikutip oleh Pramoedya Ananta Toer dalam salah satu bagian dari tetralogi Buru, 'Jejak Langkah'. 

Keyakinannya akan keampuhan organisasi sebagai alat perjuangan dan perubahan sosial, Saeful membawa tokoh Nasri mencobai berbagai model organisasi. Berawal dari organisasi mahasiswa di tingkat jurusan, lalu merambah ke organisasi pecinta alam, sampai akhirnya jatuh ke pelukan organisasi mahasiswa yang berideologi Islam yang secara eklektik memadukan saya kritis yang cenderung liberal dengan pemahaman keagamaan yang terlihat puritan. 

Sejak itu, Nasri menjadi aktivis mahasiswa yang mumpuni di berbagai situasi dan Medan juang. Ia akan menjelma seperti singa podium dalam berbagai seminar atau forum-forum keilmuan. Berteriak garang saat memimpin demontrasi mahasiswa, lalu menjelma menjadi seorang yang fasih menyitir ayat dan hadits saat harus berbicara dalam pengajian yang dikemas dalam bentuk diskusi keagamaan secara kritis. 

Jejak langkah Nasri akhirnya menemukan muara tujuan ketika dirinya terjebak bersama seorang aktivis perempuan seorganisasi bernama Anggi Salsabila, pada sebuah upaya penyelamatan diri dari tindak brutal petugas keamanan yang membubarkan paksa aksi mereka di 9 Desember. Mereka berdua berlari menghindari gebukan pentungan, ujung sepatu, dan tembakan gas air mata, dan tanpa sengaja memasuki sebuah area pemakaman. 

Memang, itu bukan kali pertama mereka bersua. Bahkan dalam kesempatan sebelumnya, Nasri dan Anggi terlibat dalam kepanitiaan bersama di organisasi. Nasri menjadi ketua panitia, dan Anggi menjadi bendaharanya. Tapi perjumpaan Nasri dengan Anggi di kuburan itu adalah perjumpaan kali pertama dari dua pribadi secara personal. Perjumpaan yang membuat mereka bisa bersitatap dalam gemetar, tanpa harus menghalau khawatir bahwa menatap mereka yang bukan mahram adalah zina mata. Mereka lebih takut pada kejaran polisi, barangkali. 

Namun sejak itu, Nasri lalu fokus menata dan memantapkan diri untuk melangkah ke jenjang rumah tangga bersama Anggi. Hal itu dimulai dengan berbicara ke Anggi, ke orang tua Anggi, lalu ke orang tuanya sendiri. Anggi merespon positif dan menyerahkan soal itu ke orang tuanya yang ternyata tak menyoal lamaran Nasri. Mereka hanya meminta agar orang tua Nasri yang menyampaikan lamaran itu secara serius. Tapi justru di situlah masalahnya, bapak Nasri tak sepakat. 

Penolakan bapaknya, membuat Nasri membuat pilihan kritis dalam liku perjalanan hidupnya. Ia meninggalkan kampus, bekerja mencari biaya pernikahan. Sebab baginya, Anggi adalah sosok perempuan yang layak diperjuangkan, perempuan yang pantas menjadi teman dalam perjalanan hidup, dan calon ibu yang ideal bagi lahirnya generasi baru yang tangguh. 

Ada selaksa alasan yang bertumpuk di kesadaran Nasri bahwa Anggi tak boleh dilepaskan, termasuk kepada seorang pegawai kelurahan tempat Anggi menjadi tenaga honorer. Pegawai itu juga telah mengambil ancang-ancang ingin melamar Anggi. Hal ini membuat Nasri pernah sampai demam karena memforsir tenaga menjadi tukang ojek dan kurir demi mengumpulkan uang. Bahkan harus tergeletak di rumah sakit karena kecelakaan dalam perjalanan dari Luwuk ke Poso. 

Apakah perjuangan Nasri akan membuahkan hasil, dan ia menikahi Anggi? Atau ia akan menyerah pada ultimatum orang tuanya? Semua itu bisa dinikmati dalam 24 anak judul yang tersaji. Pada anak judul terahir, '5 Tahun Kemudian', Saeful menggambarkan suasana ramainya pengunjung Anjungan Nusantara di teluk Palu, sebuah tempat wisata yang disepadankan dengan Pantai Losari di Makassar. 

Di antara pengunjung itu ada Nasri dan istrinya yang ikut menikmati kuliner seperti jepa sagu, lalampa, sokko', putu, nasi kuning, nasi bambu, sarabba, dan jagung rebus, serta berfoto di tugu GMT, di huruf raksana 'Anjungan Nusantara', di bundaran patung kuda, jembatan warna-warni di sekitar taman bakau kecil, di jembatan kuning, atau di soki-soki --rumah-rumah kecil tanpa dinding, terbuat dari bambu. 

"Aku dan istriku termasuk salah dua orang ikut meramaikan anjungan pagi itu. Bukan kali itu saja, melainkan hampir setiap hari. Tadi saja, kami berada di tempat ini sedari lepas berjemaah subuh di Masjid Agung Darussalam Palu" (hal. 321). Demikian pengakuan Nasri memungkasi novel yang dipersembahkan oleh Saeful untuk istrinya, Anggun Safitri, dan anaknya, Latifah Victoria Ihsan. 

Judul: Subuh Seribu Kubah | Penulis: Saeful Ihsan | Penerbit: Ellunar Publisher | Cetakan: Pertama, November 2020 | Jumlah Halaman: 334 | ISBN : 978-623-204-688-7

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama