Seiring dengan perkembangan konsep good corporate governance dan corporate ethics, mencuat pula tuntutan untuk mengaplikasikan corporate social responsibility (CSR) pada korporasi. Secara konsepsional, tuntutan ini telah dimasukkan sebagai salahsatu asas Good Corporate Governance dalam Pedoman umum Good Corporate Governance Indonesia 2006. Disamping asas transparansi (transparancy), akuntabilitas (accountability), independensi (independency), serta kewajaran dan kesetaraan (fairness), juga disebutkan asas responsibilitas (responsibility).
Dalam pedoman yang diterbitan oleh Komisi Nasional Kebijakan Governance (KNKG) tersebut, dengan gamblang dijelaskan bahwa perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggungjawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen.
Juga disebutkan tentang pedoman pokok pelaksanaannya, pertama organ perusahaan harus berpegang pada prinsip kehati-hatian dan memastikan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, anggaran dasar dan peraturan perusahaan (by-laws). Kedua, perusahaan harus melaksanakan tanggungjawab sosial dengan antara lain peduli terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama disekitar perusahaan dengan membuat perencanan dan pelaksanaan yang memadai
Untuk menjalankan CSR maka Dewan Komisaris diwajibkan membentuk Komite Kebijakan Corporate Governance yang membantu Dewan Komisaris dalam mengkaji kebijakan GCG secara menyeluruh yang disusun oleh Direksi serta menilai konsekuensi penerapannya, termasuk yang bertalian dengan etika bisnis dan tanggungjawab sosial perusahaan (corporate social responsibility). Anggotanya bisa dari anggota Dewan Komisaris ataukah menunjuk pelaku profesi dari luar perusahaan.
Disamping Komite, Direksi juga dituntut untuk lebih memperhatikan masalah tanggungjawab sosial perusahaan (corporate social responsibility). Dalam rangka mempertahankan kesniambungan usaha perusahaan, Direksi harus dapat memastikan dipenuhinya tanggungjawab sosial perusahaan, serta diharuskan mempunyai perencanaan tertulis yang jelas dan fokus dalam melaksanakan tanggungjawab sosial perusahaan.
Menurut Sofyan Djalil (2003), terkait dengan CSR, Eurpean Community telah mengeluarkan sebuah green report tentangnya. Disini CSR dipandang sebagai konsep dimana korporasi dengan sukarela mengintegrasikan keprihatinan sosial dan lingkungan ke dalam operasi bisnis dan di dalam interaksi mereka dengan stakeholders.
Dalam perkembangannya, konsep corporate social responsibility yang pada awalnya difahami hanya sebagai sebagai charity dan bergerak karena externally driven, telah mengalami pergeseran. Saat ini corporate social responsibility harus difahami sebagai sebentuk partnership antara korporasi bisnis bersama masyarakat sekitarnya dan tuntutan untuk melaksanakan tanggungjawab ini sudah bergerak karena internally driven.
Berdasarkan ini, A.B. Susanto (2003) membuat pemetaan tentang kategori CSR. Pertama, sebagai social obligation, CSR dipandang sebagai kewajiban, jadi korporasi hanya mengikuti prasyarat minimal yang ditetapkan oleh peraturan pemerintah. Kedua, sebagai social reaction, korporasi sudah menyadari arti penting CSR, tapi masih membutuhkan dorongan eksternal agar pelaksanaan CSR lebih maju. Ketiga, sebagai social response, pada kategori ini korporasi dan masyarakat mampu secara bersama mencari peluang untuk memberikan kontribusi demi kepentingan masyarakat.
Kedepan, ada beberapa yang harus diperhatikan, pertama, aktualisasi CSR harus sesuai dengan karakter sosial budaya dan politik masyarakat lokalnya, untuk itu keterlibatan masyarakat harus tinggi (partnership), tapi dengan tetap menjaga independensi korporasi (menegakkan asas fairness dan independency). Kedua, perlu ada pengembangan konteks bahwa lingkungan sosial (social environment) dan lingkungan alam (natural environment) yang dihadapi korporasi adalah lingkungan yang berdimensi masa depan, sehingga CSR harus mewujud dalam program empowering yang berkelanjutan.
Dalam pedoman yang diterbitan oleh Komisi Nasional Kebijakan Governance (KNKG) tersebut, dengan gamblang dijelaskan bahwa perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggungjawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen.
Juga disebutkan tentang pedoman pokok pelaksanaannya, pertama organ perusahaan harus berpegang pada prinsip kehati-hatian dan memastikan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, anggaran dasar dan peraturan perusahaan (by-laws). Kedua, perusahaan harus melaksanakan tanggungjawab sosial dengan antara lain peduli terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama disekitar perusahaan dengan membuat perencanan dan pelaksanaan yang memadai
Untuk menjalankan CSR maka Dewan Komisaris diwajibkan membentuk Komite Kebijakan Corporate Governance yang membantu Dewan Komisaris dalam mengkaji kebijakan GCG secara menyeluruh yang disusun oleh Direksi serta menilai konsekuensi penerapannya, termasuk yang bertalian dengan etika bisnis dan tanggungjawab sosial perusahaan (corporate social responsibility). Anggotanya bisa dari anggota Dewan Komisaris ataukah menunjuk pelaku profesi dari luar perusahaan.
Disamping Komite, Direksi juga dituntut untuk lebih memperhatikan masalah tanggungjawab sosial perusahaan (corporate social responsibility). Dalam rangka mempertahankan kesniambungan usaha perusahaan, Direksi harus dapat memastikan dipenuhinya tanggungjawab sosial perusahaan, serta diharuskan mempunyai perencanaan tertulis yang jelas dan fokus dalam melaksanakan tanggungjawab sosial perusahaan.
Menurut Sofyan Djalil (2003), terkait dengan CSR, Eurpean Community telah mengeluarkan sebuah green report tentangnya. Disini CSR dipandang sebagai konsep dimana korporasi dengan sukarela mengintegrasikan keprihatinan sosial dan lingkungan ke dalam operasi bisnis dan di dalam interaksi mereka dengan stakeholders.
Dalam perkembangannya, konsep corporate social responsibility yang pada awalnya difahami hanya sebagai sebagai charity dan bergerak karena externally driven, telah mengalami pergeseran. Saat ini corporate social responsibility harus difahami sebagai sebentuk partnership antara korporasi bisnis bersama masyarakat sekitarnya dan tuntutan untuk melaksanakan tanggungjawab ini sudah bergerak karena internally driven.
Berdasarkan ini, A.B. Susanto (2003) membuat pemetaan tentang kategori CSR. Pertama, sebagai social obligation, CSR dipandang sebagai kewajiban, jadi korporasi hanya mengikuti prasyarat minimal yang ditetapkan oleh peraturan pemerintah. Kedua, sebagai social reaction, korporasi sudah menyadari arti penting CSR, tapi masih membutuhkan dorongan eksternal agar pelaksanaan CSR lebih maju. Ketiga, sebagai social response, pada kategori ini korporasi dan masyarakat mampu secara bersama mencari peluang untuk memberikan kontribusi demi kepentingan masyarakat.
Kedepan, ada beberapa yang harus diperhatikan, pertama, aktualisasi CSR harus sesuai dengan karakter sosial budaya dan politik masyarakat lokalnya, untuk itu keterlibatan masyarakat harus tinggi (partnership), tapi dengan tetap menjaga independensi korporasi (menegakkan asas fairness dan independency). Kedua, perlu ada pengembangan konteks bahwa lingkungan sosial (social environment) dan lingkungan alam (natural environment) yang dihadapi korporasi adalah lingkungan yang berdimensi masa depan, sehingga CSR harus mewujud dalam program empowering yang berkelanjutan.
Tags:
Sosial Politik