Sudah hampir sebulan, desas-sesus soal sarung biru muda dengan corak
kotak-kotak itu, melanda kampung Tanjung Luar yang terletak di pesisir timur
Pulau Lombok. Kemunculan sarung itu secara misterius di tempat-tempat kedukaan
menjadi perbincangan pengunjung kedai kopi pasar tradisional di pagi hari,
maupun para peronda di malam hari.
Seperti malam itu, sambil membetulkan letak kopiahnya, Munarep yang
mengisi waktu di sela-sela patroli dengan main domino bersama ketiga rekannya,
kembali membahas soal sarung.
“Ini tidak bisa dibiarkan, keberadaan sarung itu sudah mengganggu
ketenangan!” Munarep membuka percakapan.
“Iya, tapi kita tidak bisa meminta bantuan polisi untuk mengurusi
perkara ini.” Munaris yang keseharian bekerja sebagai PNS menimpali.
“Kenapa begitu?” Mata Munarep mendelik.
“Ini tidak masuk delik hukum, tak ada korban maupun pelaku yang
material.” Mustiarep yang pernah ikut pelatihan di sebuah Organisasi Masyarakat
Sosial mencoba menganalisis.
“Jadi, apa kita biarkan saja desas-desus ini menghantui hidup kita?”
Munarep lagi-lagi mendelik.
“Bagaimana kalau kita konsultasikan ke Tuan Guru Siddiq? Siapa tahu
beliau ada solusi?” Mustiari memberi saran.
“Tidak bisa!” Munarep bertegas.
“Betul, bisa-bisa malah kita yang disuruh untuk dirukyat. Tuan Guru
hanya akan menuduh kita sebagai korban takhayul.” Munaris mendukung sikap
Munarep.
“Jadi kita harus bagaimana kalau begitu?” Telisik Mustiari.
“Kita selidiki sendiri masalah ini.” Mustiarep memberi usul.
“Saya setuju.” Pungkas Munaris.
* *
*
Selepas takziyah di rumah almarhumah Rumenah, pos ronda kembali heboh di
tengah malam.
“Lihat, ini sarung yang sama dengan yang kita temukan di malam
meninggalnya almarhum.” Mustiarep mengeluarkan selembar sarung bercorak kotak
berwarna biru muda.
“Saya bersama Mustiarep sudah hadir sebelum takziah dimulai, dan sarung
itu telah tersampir di sandaran kursi jamaah bagian belakang, dekat jalan
masuk.” Timpal Munarep.
“Anehnya, tak ada yang tahu sejak kapan dan siapa yang meletakkannya di
situ.” Imbuh Mustiarep.
“Sampai takziah berakhir dan semua orang sudah bubar, sarung tetap
berada di tempatnya, Mustiarep lalu mengambil dan membawanya ke sini.” Timpal
Munarep.
“Waktu Jumaah meninggal dan ketika takziyahnya juga begitu, kan?” Imbuh
Munaris.
“Iya, ini sudah kejadian keempat.” Mustiarep menambahkan.
“Aku kian percaya, kehadiran sarung itu menjadi tanda akan meninggalnya
seseorang. Kita selalu menemukan sarung itu ketika ada seseorang yang meninggal
di situ, kan?” Analisis Mustiari.
“Betul, aku juga berpikiran begitu.” Mustiarep menimpali.
“Atau jangan-jangan ada yang sedang menjajal ilmu hitam!” Munarep
menyimpulkan.
“Bisa juga demikian.” Ujar Munaris.
“Kalau begitu, kita harus konsultasi ke Mbah Saimah, dia kan termasuk
paham urusan beginian.” Usul Munarep yang disepakati oleh yang lain.
* *
*
“Kau simpan di mana sarung yang aku pakai semalam, Jumasih? Aba ada
jadwal ceramah di Ketapang Raya” Tuan Guru Siddiq sibuk membongkar pakaian yang
baru selesai dicuci.
“Bukannya Aba lupa membawanya pulang, kemarin malam?” Jumasih, anaknya
yang kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta baru dua malam tiba untuk liburan
semester.
“Aba-mu ini belum pikun, Jumasih. Itu sarung kesayangan Aba. Mana mungkin
aku melupakannya begitu saja?”
“Tapi, sarung itu benar-benar tidak ada di rumah ini, Aba. Sepertinya
Aba benar-benar melupakannya kali ini.”
“Lalu, apa Aba harus ke desa tetangga tanpa sarung itu tersampir di
pundak Aba?”
“Kan banyak sarung yang lain Aba, atau ganti saja dengan kafiyeh, malah
lebih bagus.”
“Tak bisa! Itu sarung peninggalan allahyarham
Tuan Guru Zubair, guru Aba di Makassar.”
“Jadi bagaimana dong, Aba?”
“Coba panggil Umi-mu...”
Tak lama berselang, istri Tuan Guru Siddiq muncul dari dapur.
“Ada apa, Aba?”
“Saya cari sarungku, saya mau berangkat...”
“Oh, sarung Aba ada kok, sudah Umi siapkan di sampiran samping lemari
kitab Aba. Mau saya ambilkan?”
“Tak usah, nanti Aba ambil sendiri.” Tuan Guru Siddiq kepada istrinya
yang cuma tersenyum dan berlalu ke dapur.
“Tuh, Aba tidak lupa kan?” Ke arah Jumasih.
“Aduh, anak Aba. Kuliah sampai ke Jakarta, mencari sarung saja tidak
bisa. Hehehe...” Tuan Guru Siddiq berlalu sambil terkekeh.
* *
*
“Sudah dengar tentang sarung itu, semalam?” Mustiari menepuk pundak Mustiarep
yang sementara menyeruput kopinya.
“Belum, kenapa? Semalam saya agak meriang, jadi tak bisa keluar rumah.” Jelas
Mustiarep.
“Sarung itu muncul lagi semalam.”
“Bukannya tak ada kedukaan?”
“Kali ini bukan di acara takziyah, tapi di acara barazanji syukuran Haji
Lalu Husain atas kepulangannya dari tanah suci.” Urai Mustiari.
“Maaf, itu tentang sarung warna biru muda dengan corak kotak?” Seseorang
menimpali, namanya Seneng.
“Iya.” Tanggap Mustiari.
“Muncul begitu saja di lokasi keramaian?” Lanjut Seneng.
“Betul, dari mana anda tahu?” Mustiarep penasaran.
“Kemarin malam, kami juga menemukan sarung dengan warna dan corak yang
sama di acara takziyah.” Jawab Seneng.
“Anda dari mana?” Selidik Mustiari.
“Dari kampung Ketapang Raya...” Ujar Seneng.
“Tapi kami kira itu sekedar sarung biasa yang dilupakan pemiliknya.”
Lanjutnya.
“Di sini, sarung itu sudah menjadi semacam pertanda.” Pemilik kedai kopi
ikut menimpali.
“Wah, kalau begitu kami harus waspada.” Ujar Seneng dengan mimik serius.
“Sepertinya begitu, di sini, kami sudah berkali-kali mengalaminya, dan
berusaha mencari tahu, tapi masih nihil.” Mustiarep.
Perbincangan tentang sarung itu kian hangat, seiring makin ramainya
pengunjung kedai.
* *
*
“Umi, mana sarung Aba?” Tuan Guru Siddiq mondar mandir di ruang tamu.
“Ini, Ba.” Tanggap istrinya menyerahkan sebuah sarung warna biru muda
dengan corak kotak-kotak
“Aba berangkat dulu ya, nanti keburu ramai jamaahnya. Aba harus tiba
sebelum jamaah pada datang, biar lebih tenang. Assalamu alaikum.”
TGS berangkat untuk mengisi ceramah takziyah. Sepeninggal Tuan Guru
Siddiq, Jumasih mendekati ibunya.
“Umi, bukannya Aba melupakan lagi sarungnya semalam di tempat acara?”
“Betul.” Jawab istri Tuan Guru Siddiq singkat sambil tersenyum.
“Lalu, sarung yang tadi?” Jumasih penasaran.
“Sini, ikut Umi.” Diikuti Jumasih, istri Tuan Guru Siddiq masuk ke kamar
tidurnya, membuka lemari pakaiannya lalu menunjuk ke dasar lemari. Di sana
terlihat tumpukan sarung dengan warna dan corak yang sama: biru muda dengan corak
kotak-kotak. Melihat itu, Jumasih kebingungan.
“Nak, Aba itu sudah mulai pelupa, terutama soal sarung itu. Tapi Aba
juga begitu menyukai sarung itu. Daripada jadi masalah, bulan lalu, Umi bersama
kakakmu Talhah berinisiatif membeli sarung itu dalam jumlah besar, sebagai
antisipasi kalau Aba mencari sarungnya.”
Mendengar itu, Jumasih hanya melongo.
Tags:
Cerita Pendek