Sejarah HAM, Sejarah Pemaknaan

Tanggal 10 Desember setiap tahunnya diperingati sebagai hari Hak Asasi Manusia Internasional. Momen ini diperingati oleh semua umat manusia di seluruh dunia dengan sukacita dan harapan semoga penegakan HAM pada tahun mendatang lebih baik dari tahun sebelumnya. Meskipun tak sedikit, hari ini juga diisi dengan keprihatinan dan kecemasan akan masih jauhnya harapan dari kenyataan. Masih banyaknya kasus pelanggaran HAM baik ringan maupun berat yang belum tertangani dengan maksimal.

Meskipun proses penegakan HAM di berbagai negara telah berlangsung untuk kurun waktu yang panjang (terutama Amerika Serikat dan Eropa), namun ternyata HAM masih menyisakan perdebatan panjang yang belum pernah selesai sampai sekarang. Perdebatan tersebut adalah perdebatan seputar pendasaran HAM itu sendiri, perdebatan tentang standar-standar yang menjadi landasan sebuah hak bisa diklaim sebagai HAM sehingga dia bersifat: asasi, tak tercabut, universal, independen, dan internasional.

Pendasaran HAM
Beragam upaya yang telah dilakukan oleh para pendekar HAM untuk meneguhkan pendapat bahwa hak-hak yang tercantum dalam HAM memang benar-benar bersifat: asasi, tak tercabut, universal, independen, dan internasional. Kita bisa menyebut nama-nama besar seperti Plato, Thomas Aquinas, dan Imanuel Kant, merekalah beberapa pendekar HAM yang mencoba memberikan argumentasi rasional untuk mengakarkan HAM pada sebuah fondasi yang tidak tergoyahkan.

Namun usaha mereka tersebut, pada hari ini mulai kehilangan daya tariknya, salah satu pihak yang melakukan serangan keras adalah Richard Rorty. Dalam ceramahnya dengan judul Human Rights, Rationality, and Sentimentality yang dipaparkannya di depan Amnesti internasional pada tahun 1993, Rorty menyindir mereka (Plato, Thomas Aquinas, dan Imanuel Kant dan yang lain) dengan sebutan sebagai kaum foundationalism dan upaya mereka menurut Rorty adalah upaya yang outmoded and irrelevant, sudah usang dan tidak relevan.

Wandi S.Brata dalam sebuah tulisannya (Memikirkan kembali pendasaran Hak Asasi Manusia, 2000) juga melakukan serangan yang sama. Menurut Wandi, wacana mengenai Hak Asasi Manusia (dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Konvensi Eropa tentang HAM, Perjanjian Internasional tentang Hak Sipil dan politik, Perjanjian Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, Budaya) menyembunyikan masalah besar yang belum tertangani secara tuntas. Masalah yang dimaksud adalah pendasaran hak asasi manusia itu.

Kaum foundationalism mencoba membangun rasionalisasi atas pijakan HAM dengan berangkat dari hukum kodrat, bahwa kodrat manusia selalu bersifat: asasi, tak tercabut, universal, independen, dan internasional. Olehnya itu menurut mereka, hak yang didasarkan pada hukum kodrat tentulah juga memiliki sifat yang sama: asasi, tak tercabut, universal, independen, dan internasional.

Kesimpulan ini digugat oleh Wandi dengan mencoba memperjelas posisi antara hukum kodrat sebagai dunia fakta, dengan hak dan imperatif penghormatan atas hak sebagai dunia nilai. Bagi Wandi, dunia kodrat dan dunia nilai dipisahkan oleh jarak yang panjang, sehingga kesimpulan bahwa apa yang asasi, tak tercabut, universal, independen, dan internasional di dunia kodrat tidak serta merta bisa di klaim memiliki sifat yang sama di dunia nilai. Menurutnya, wacana hak asasi manusia bukan pertama-tama merupakan perkara subsumsi, atau menarik sesuatu (hak dan imperatif penghormatan hak tersebut) dari sesuatu yang lain (fakta-fakta), melainkan lebih merupakan proses pemaknaan.

Interpretasi atas dunia kodrat sebagai fakta obyektif menjadi dunia nilai sebagai sekumpulan hak asasi, mau tak mau terbelit pada persoalan proses pemaknaan pada umumnya. Sebagaimana dikatakan Derrida, bahwa dalam pemaknaan atas sebuah tanda, maka yang terjadi adalah penindihan satu makna atas makna yang lain. Ini berarti dibalik makna yang mengemuka terdapat banyak jejak-jejak makna yang tertindih dan disembunyikan.

Dalam konteks ini maka HAM sebagai sebuah hasil dari proses pemaknaan menurut Wandi pastilah selalu bersifat komuniter, sementara, tidak mutlak, dan selalu perlu dikembangkan sesuai dengan wawasan dan kesadaran komunitas mengenai nilai- yang mereka anggap penting bagi eksistensi mereka. HAM juga berarti negosiasi, kompromi, bahkan ajang kontestasi berdasarkan nilai-nilai yang dianggap penting bagi kelangsungan hidup komunitas tersebut.

Realitas inilah yang melatari David Ross untuk memperkenalkan istilah prime facie dalam bukunya The Right and the Good (1930). Prime facie mendakukan bahwa setiap kewajiban etis akan berlaku sampai ada pertimbangan lain yang menggagalkan keberlakuannya. Dalam konteks HAM, frime facie berarti bahwa setiap Hak Asasi Manusia hanya berlaku begitu saja sampai ada pertimbangan lain yang menggagalkannya. Karena itu, ini berarti bahwa klaim asasi, tak tercabut, universal, independen, dan internasional yang selama ini menyertai HAM, menjadi tidak berlaku.

Sejarah HAM

Pemahaman akan status HAM (dunia nilai) sebagai hasil dari proses pemaknaan atas fakta (dunia kodrat) dapat dilihat dalam beberapa momen sejarah yang menjadi tonggak penegakan HAM sebagai mana yang kita saksikan hari ini. Dalam sejarah terlihat bagaimana komunitas manusia yang bergulat dengan berbagai macam problem kemanusiaan kemudian merumuskan konsep-konsep tentang penjaminan dan penghormatan atas hak-hak tertentu yang dinamai sebagai konsep Hak Asasi Manusia.

Momen pertama adalah Declaration of Independence (1776) di Amerika Serikat yang sebenarnya tidak terlepas dari beberapa rumusan sebelumnya seperti Virginia Bills of Rights. Dalam deklarasi ini dapat ditemukan kalimat, “Kita menganggap kebenaran-kebenaran berikut ini sebagai eviden begitu saja, bahwa semua manusia diciptakan sama, bahwa mereka dianugerahi oleh Pencipta mereka dengan hak-hak tertentu yang tak terasingkan”

Dalam Declaration of Independence (1776) di Amerika Serikat, pandangan bahwa Hak Asasi Manusia sebagai sesuatu yang berasal dari Tuhan masih sangat kuat berakar. Bila diajukan pertanyaan tentang kenapa hak tersebut asasi, tak tercabut, universal, independen, dan internasional? Maka jawabannya bahwa hak tersebut merupakan pemberian dari Tuhan yang menciptakan manusia. Maka melanggar hak ini juga berarti melawan Tuhan.

Momen selanjutnya adalah Deklarasi tentang Hak Manusia dan Warga Negara yang dikeluarkan di Perancis waktu Revolusi Perancis (1789) dan secara mendalam dipengaruhi oleh pernyataan-pernyataan hak dari Amerika. Deklarasi inipun masih mencoba mengaitkan keasasian hak-hak tersebut dengan Tuhan. Hal ini terlihat ketika Majelis Nasional Perancis membacakan deklarasi ini didahului dengan kalimat “dihadapan Wujud Tertinggi dan di bawah perlindungan-Nya”.

Meskipun semangat Revolusi Perancis begitu menggebu untuk mengobarkan tendensi Anti Kristen dan mengedepankan semangat pencerahan (aufklarung), namun mereka tetap mendasarkan pemikiran tentang Hak Asasi Manusia pada kodrat pemberian Tuhan. Pemikiran-pemikiran kaum foundationalism masih sangat mempengaruhi Deklarasi tentang Hak Manusia dan Warga Negara Perancis sebagaimana dalam Declaration of Independence di Amerika Serikat.

Terakhir adalah Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang diproklamasikan dalam Sidang Umum PBB pada 10 desember 1948. Hal yang baru dalam deklarasi ini adalah adanya pergeseran pendasaran HAM dari kodrat pemberian Tuhan kepada pengakuan akan martabat manusia. Diawal deklarasi disebutkan, “Menimbang bahwa pengakuan atas martabat yang melekat dan hak-hak yang sama serta tak terasingkan dari semua anggota masyarakat manusia merupakan dasar untuk kebebasan, keadilan dan perdamaian di dunia”.

Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia ini memiliki perbedaan mendasar dari deklarasi sebelumnya. Louis Henkin dan James W. Nickel dalam Making Senses of Human Rights (1996) menyebutkan bahwa manifesto Hak Asasi Manusia mutakhir telah melunakkan individualisme dalam teori-teori klasik mengenai hak-hak kodrati (sebagai hak yang berasal dari Tuhan), dan lebih menekankan sifat egalitarianisme. Setelah ini, penegakan HAM menjadi makin gencar di seluruh dunia, HAM telah mengalami internasionalisasi.

Setelah itu, Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia ini kemudian disusul dengan munculnya konvensi dan perjanjian internasional. Satu konvensi disusul oleh konvensi yang lain. Perjanjian internasional kemudian diikuti dengan perjanjian internasional yang lain sesuai dengan kebutuhan komunitas manusia. Hal ini menunjukkan bahwa rumusan konsep-konsep tentang penjaminan dan penghormatan atas hak-hak tertentu yang dinamai sebagai konsep Hak Asasi Manusia muncul sebagai jawaban atas berbagai macam problem kemanusiaan.

Macam-Macam Hak
Rumusan konsep-konsep tentang penjaminan dan penghormatan atas hak-hak tertentu yang dinamai sebagai konsep Hak Asasi Manusia, dalam sejarahnya mengalami perkembangan muatan sesuai dengan kebutuhan komunitas manusia dan muncul sebagai jawaban atas berbagai macam problem kemanusiaan. Setidaknya, hak-hak yang kemudian ditetapkan sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis; hak-hak dasar individual, hak-hak sipil dan politik, dan terakhir hak-hak ekonomi, sosial, budaya.

Pertama, hak-hak dasar individual. Hak-hak ini tercantum dalam Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia, berisi hak-hak yang sangat fundamental dalam hidup manusia, seperti penghidupan, kebebasan dan keselamatan individu. Hak untuk mendapatkan persamaan perlakuan di depan hukum, bebas dari perbudakan dan hak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama.

Kedua, hak-hak sipil dan politik; seperti kebebasan mengemukakan pendapat, kebebasan beragama, kebebasan berhimpun, kebebasan bergerak/berpindah tempat. Hak-hak yang dimaksud sudah mendapatkan landasan hukum dalam Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia, namun kemudian diperkuat melalui sebuah kovenan internasional tentang hak-hak sipil dan politik yang kemudian diratifikasi oleh berbagai negara-negara di dunia.

Ketiga, hak-hak ekonomi, sosial, budaya; seperti hak mendapatkan pendidikan, pelayanan kesehatan dan penghidupan yang layak. Hak-hak inipun sudah disebutkan dalam Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia, kemudian diperkuat melalui kovenan internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial, budaya yang kemudian diratifikasi oleh berbagai negara-negara di dunia, kecuali Amerika Serikat

Kalau diperhatikan dengan seksama proses perumusan Hak Asasi Manusia sampai pada proses internasionalisasinya, terlihat bahwa ini semua merupakan usaha serius manusia untuk menjaga dan melindungi harkat dan martabat kemanusiaannya. Terlepas dari perdebatan seputar pendasaran HAM itu sendiri, nampaknya dukungan terhadap upaya penegakan HAM diseluruh dunia harus tetap dilakukan karena manusia sebagai makhluk yang berkesadaran dan berkebebasan harus dilindungi, apapun alasannya.
Lebih baru Lebih lama