Cicak, Semut, dan Ibrahim


Siapa yang tak kenal dengan kisah dibakarnya nabi Ibrahim oleh raja Babilonia –selatan Mesopotamia, Irak sekarang, Namrud ibn Kan’an? Namrud murka kepada Ibrahim yang tak mengakui klaim bahwa dirinya adalah Tuhan dari Babil. Atas penolakan Ibrahim tersebut, Namrud menghukumnya di pembakaran.

Namun mungkin hanya sedikit dari kita yang pernah mendengar bahwa dalam peristiwa tersebut, ada sub kisah yang mengisahkan sikap  berbeda dari dua binatang yang menyaksikan kejadian tersebut: Cicak dan Semut. Aku menuliskan ulang kisah ini sebagai bahan refleksi bagi kita semua.

Alkisah, ketika nabi Ibrahim dilemparkan ke atas api unggun yang berkobar menyala-nyala, banyak pihak yang ikut menyaksikan peristiwa itu, termasuk Semut dan Cicak. Hampir semua yang menyaksikan, menjadi gelisah, meski ada juga yang bergembira.

Semut termasuk dalam kelompok yang gelisah. Dengan susah-payah, Semut berlari ke sumber air, mengambil air lalu membawanya dengan mulut. Semut berusaha memadamkan api yang berkobar membakar Ibrahim.

Para hadirin yang menyaksikan tindakan Semut, menjadi heran dan membatin, bagaimana mungkin bisa memadamkan api besar dengan hanya setitik kecil air?
Seseorang memberanikan diri bertanya, “Hai Semut, apa kau pikir dirimu bisa memadamkan api Namrud yang membakar Ibrahim itu dengan setitik kecil air? Itu tak ada gunanya.”
Yang lain menimpali, “Iya, itu pekerjaan sia-sia.”

Dengan terengah karena mondar-mandir mengangkut air, semut itu menjawab, “Aku tahu, air yang kubawa ini memang takkan bisa memadamkan api, tapi paling tidak, tindakanku ini menunjukkan di pihak mana aku berada.”
Tanpa merasa lelah, semut itu tetap melaksanakan sikapnya.

Apa yang diperlihatkan oleh Semut merupakan manifestasi syahadah –persaksian, puncak tertinggi dari jihad. Seakan semut itu berteriak lantang, “Ya Allah, saksikanlah diriku yang lemah ini, aku tak berpaling dari jalanMu! Aku memihak kekasihMu!”

Sementara itu, di tempat yang sama, di sekitar api, nampak Cicak dengan sepenuh tenaga meniup api agar kian membesar dan berkobar. Kita tahu, tiupan Cicak tidak akan berarti banyak, namun ini memperlihatkan di sisi mana Cicak itu berpihak. Ketika Semut bersetia dengan kebenaran Ibrahim, Cicak memilih menyertai Namrud.

Akibat keberpihakannya itulah, sebagaimana ternukil dalam kitab hadits Imam Muslim, bahwa Sa'ad ibn Abi Waqqash mendengar Nabi Muhammad saw memerintahkan untuk membunuh cicak. Dan beliau menamakannya (cicak ini) hewan kecil yang fasik.

Mengapa demikian? Kenapa Cicak harus dan dicap sebagai fasik? Imam Bukhari mengutip dari Ummu Syarik, bahwa Nabi Muhammad bersabda, “Dahulu ia meniup api yang membakar Nabi Ibrahim as.”

Dalam kisah di atas, Namrud yang didukung Cicak, menjadi pihak yang menggerus kebenaran, sebab dia menyadari bahwa kebenaran berbasis filsafat yang dibangun oleh Ibrahim telah menggoyahkan sendi-sendi pendakuan dirinya sebagai Tuhan yang Agung.

Mengenai ini, Alan Badiou mendedah bahwa tergerusnya kebenaran, beriringan dengan tergerusnya sendi-sendi filsafat: revolusi, logika, universalitas, dan momen risiko. Pembakaran Ibrahim, merupakan momen risiko yang menuntut keberpihakan pada kebenaran secara konsisten dan tidak berbasis kerangka kalkulasi yang pragmatis.

Dalam kerangka pikiran Badiou, bisa dibilangkan bahwa Semut telah menunjukkan diri sebagai subyek politik, subyek yang memiliki militansi tertentu kepada kejadian, dan bersetia pada kebenaran.

Nah, di tengah kehidupan yang penuh dengan tindakan beraroma ‘politik pengakuan diri (recognition)’ –meminjam istilah Nancy Fraser, sebagaimana kebijakan menuhankan diri ala Namrud, pilihan ada di tangan kita semua: menjadi Semut atau menjadi Cicak.

sumber ilustrasi : Muslihah Mazlan

6 Komentar

  1. Semut yang keren, manna na kokkojaki. Hehehe

    BalasHapus
  2. sumber referensi hadits atau ayat ada ustadz? mohon pencerahannya

    BalasHapus
  3. Perbuatan semut meniup untuk nenadamkan atau membuat api lebih besar.

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama