Manado, Mall Dan Mass Consumption

“Waw surprise . . .” demikian kesan pertama terhadap kota Menado. Ketika sepanjang jalan Pierre Tendean menjadi lautan cahaya warna-warni di malam hari. Cahaya itu berasal dari deretan pusat perbelanjaan yang seakan mempertegas Manado sebagai kota –yang memanjakan para konsumen—belanja. Dan memang harus diakui bahwa Manado menjadikan mall sebagai jantung yang menggerakkan laju perekonomiannya. Bahkan dengan pembangunan pusat perbelanjaan dengan begitu pesat diklaim mampu meningkatkan pendapatan per kapita masyarakat Manado.


Sampai hari ini dapat kita saksikan bagaimana pembangunan pusat perbelanjaan –mall-- masih berlangsung dan masih akan terus berlangsung. Sehingga terkesan kota Manado adalah tumpukan mall. Sepanjang jalan Pierre Tendean dipenuhi dengan pusat perbelanjaan yang siap melayani konsumen dengan berbagai macam produk kebutuhan masyarakat.

Namun dari kondisi ini, ada beberapa hal yang seharusnya diperhatikan secara kritis atas kebijakan ini. Hal-hal ini terutama yang terkait langsung dengan kepentingan masyarakat banyak yang seharusnya menjadi subyek utama dalam proses pembangunan. Disatu sisi –secara makro-- memang terlihat bahwa keberadaan mall-mall ini telah menimbulkan dampak posirif bagi perekonomian masyarakat, terutama peningkatan pendapatan perkapita. Tapi disisi yang lain –secara mikro-- ternyata menunjukkan hal yang sebaliknya, karena peningkatan pendapatan per kapita itu tidak terjadi secara merata pada setiap individu masyarakat.

Tulisan ini tidak berpretensi untuk membahas lebih jauh tentang permasalahan perekonomian, melainkan dari sisi penghargaan dan pemenuhan hak-hak warga dalam sebuah proses pembangunan. Dalam konteks Manado, terlihat bahwa proses pembangunan mall yang terjadi telah menafikan hal yang satu ini. Kondisi ini ditunjukkan dengan terampasnya daerah pantai kota –sebagai ruang publik (publik space)-- yang direklamasi menjadi pusat perbelanjaan.

Padahal seharusnya, pembangunan tidak boleh melupakan hal ini –penyiapan ruang publik yang bisa diakses secara luas--. Memang, mall sebagai pusat perbelanjaan juga dirancang untuk menjadi ruang publik, tapi mall sebagai ruang publik, hanyalah sebuah ruang publik yang timpang dan semu, karena sebagai ruang publik, mall hanya bisa diakses oleh sekelompok masyarakat –dalam hal ini masyarakat yang berkantong tebal.

Persoalan yang lain adalah pada tingkat kesadaran masyarakat konsumen. Konsumen secara sederhana dapat dikategorikan menjadi dua jenis yaitu mass consumption (konsumen massif) dan mature consumption (konsumen dewasa). Konsumen yang dewasa adalah konsumen yang bisa memilah-memilih antara kebutuhan dan keinginan, sehingga tidak gampang terpengaruh dengan bujuk rayu iklan.

Sementara itu, konsumen massif adalah konsumen yang telah melumerkan batasan kebutuhan-keinginan, sehingga eksistensi dirinya tergantung pada konsumsinya. Konsumen massif menjadi manusia-manusia yang gila mengkonsumsi dan implikasi langsungnya adalah pergeseran standar gaya dan biaya hidup di Manado menjadi demikian tinggi, karena yang ada hanyalah mengkonsumsi dan mengkonsumsi.

Ketika mengkonsumsi sudah menjadi budaya dan tradisi yang mengakar dengan begitu kuat, masyarakatakan tergiring menjadi masyarakat pasif. Masyarakat pasif yang dimaksud adalah masyarakat yang tidak lagi memiliki kemampuan mengambil inisiatif dalam hidupnya karena segalanya telah diatur dan ditentukan dalam hukum mengkonsumsi.

Masyarakat pasif adalah sekumpulan manusia automaton yang bercirikan hedonistik dan hura-hura, manusia yang memperoleh kenikmatan dalam histeria membeli-mengkonsumsi sesuatu yang sesungguhnya tidak dia tahu untuk apa. Masyarakat diperhadapkan pada sebuah situasi dimana mereka tidak punya pilihan kecuali ikut larut pada budaya konsumsi, hanya beli, beli dan beli.

Ketika hal ini terjadi, maka masyarakat akan mengarah pada sebuah situasi yang begitu mengagungkan trivial pursuit (kedangkalan). Hal ini ditandai dengan kebanggaan diri yang digantungkan pada jenis dan kualitas barang serta jasa yang dikonsumsinya, misalnya handphone merek apa yang dia punyai. Harga diri kemanusiaan digadaikan pada sesuatu yang bernama materi.

Memang hal ini menjadi sesuatu yang bersifat simalakama, sebab disatu sisi, kehadiran pusat perbelanjaan dibutuhkan untuk mendinamisasi gerak laju perekonomian daerah, namun disisi yang lain, kita juga diperhadapkan pada efek-efek negatif yang tak kalah berbahayanya secara kultural. Olehnya itu diperlukan sebuah upaya serius untuk mencoba mencari jalan tengah dari sengkarut problem pembangunan ini.

Setidaknya ada beberapa hal yang penting untuk diperhatikan bagi pihak pengambil kebijakan dalam upayanya untuk tetap melakukan pembangunan dan pada saat yang sama tetap menjaga hak-hak warga sebagai subyek utama pembangunan. Pertama, perlu adanya perhatian khusus untuk tersedianya sebuah ruang publik (publik space) yang bisa diakses oleh masyarakat –yang memang menjadi hak warga-- secara mudah dan murah, bahkan gratis.

Kedua, perlu untuk senantiasa dan secara berkesinambungan melakukan upaya-upaya penyadaran terhadap masyarakat-warga untuk tidak menjadi mass consumption, melainkan menjadi mature consumption. Hal ini dapat dilakukan dengan seoptimal mungkin mensiosialisasikan hak-hak konsumen, bahkan mengambil langkah hukum dalam penegakannya.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama