Cultural Studies; Ruang Kontestasi Poststrukturalisme

[06.04.2007] Cultural Studies, apa sih?
Beberapa waktu terakhir ini, kajian budaya menjadi fenomena yang menarik untuk dilirik, hal ini karena kajian budaya kemudian menjadi salah satu pendekatan yang diangap penting sebagai upaya untuk memahami pelbagai perubahan yang sedang terjadi. Sebagai sebuah bangunan penyelidikan, tentunya kajian ini memiliki bangunan formasi yang membedakannya dengan disiplin kajian yang lain.

Sejak merebaknya fenomena ini pada tahun 1960-an, terutama setelah berdirinya The Birmingham Center for Contemporary Cultural Studies[1] (didirikan pada tahun 1964), kajian-kajian semacam ini kemudian di kembangkan di berbagai belahan dunia dengan berbagai macam varian, sesuai dengan kebutuhan dan juga akibat masukan dari teori-teori mutakhir. Karena itu pulalah, maka kajian ini oleh Grossberg disebutnya sebagai sebuah metode kajian yang interdisipliner, lintas-, trans- bahkan anti-disiplin.

Dengan sifatnya yang seperti itu maka kajian ini menjadi agak rumit untuk di fahami, istilah ini mengacu pada beberapa hal sekaligus. Menurut Melani Budianta, berdasarkan beberapa buku pengantar dan antologi kajian budaya, dapat diambil beberapa pengertian yang meliputi; Pertama, kajian budaya adalah suatu geneologi atau sejarah asal-muasal yang menelusuri teori-teori budaya dari Mathew Arnold sampai teori-teori posmodern. Kedua, Kajian budaya mengacu pada beraneka ragam kajian budaya kontemporer dengan teori dan pendekatan berbeda-beda, dan yang terakhir, Ketiga, Kajian budaya adalah sejumlah konotasi tentang agenda dan orientasi sekelompok ilmuwan yang tidak dibahas secara koheren dan eksplisit.

Ketiga pengertian inilah yang kemudian menjadi acuan bagi Melani Budianta untuk membatasi ranah garapan kajian ini, bahwa kajian budaya memperlajari berbagai macam proses, ekspresi dan bentuk budaya sebagai produk masyarakat modern, jadi terkait erat dengan dimensi sosial, ekonomi dan politik. Sehingga, menjadi sesuatu yang lumrah kajian ini akan merambah wilayah sains, teknologi, psikologi, apatah lagi sosiologi dan antropologi.

Sementara itu, Amaradani[2] mengatakan bahwa cultural studies memfokuskan diri pada hubungan antara relasi-relasi sosial dengan makna-makna. Cultural studies berusaha mencari penjelasan perbedaan kebudayaan dan praktek kebudayaan tidak dengan menunjuk nilai-nilai intrinsik dan abadi (how good ?), tetapi dengan menunjuk seluruh peta relasi sosial (in whose interest ?).

Latar Belakang Perkembangan Cultural Studies

Sebenarnya, kajian budaya dalam pengertian sederhana sebagai kajian yang menjadikan budaya sebagai obyek kajiannya secara kritis, sudah dilakukan oleh sejumlah kritikus budaya seperti Michael Rogin dan Walter Ben Michaels, walaupun tanpa menggunakan label kajian budaya (cultural studies). Barulah setelah berdirinya The Birmingham Center For Contemporary Cultural Studies, kajian ini mengalami teoritisasi oleh –sebagaimana diurutkan oleh Stuart Hall- pemikiran Richard Hoggart, Raymond Williams, E.P. Thompson, serta teori-teori strukturalis/pos strukturalis sebagai landasan teori kajian ini, khususnya di Inggris.

Sementara itu Cornel West menyebutkan nama-nama seperti Thorstein Veblen, W.E. Du Bois, Charlotte Perkins Gilman, dan T.O. Matthiesen sebagai peletak fondasi teori untuk kajian budaya Amerika. Sementara untuk Australia, Graeme Turner mencatat sumbangan Russel Ward, Paul Willis, dan John Docker. Dari ketiga wilayah ini (Inggris, Amerika Serikat dan Australia), kemudian memunculkan mazhab yang berbeda dalam berkembangan selanjutnya.

Dan yang terakhir, tidak boleh terlupakan perkembangan yang khas pula kajian budaya yang dikenal sebagai mazhab India (Asia Selatan) yang diteoritisasi oleh Leela Ghandi, Gayatri Chakravorty Spivak, Homi K. Bhaba. Kajian mazhab India (Asia Selatan) ini berkembang lewat Subaltern Studies Group[3] yang dikelola oleh Gayatri Chakravorty Spivak. Disamping itu disebaran Asia dan Afrika masih dapat kita sebut nama Frantz Fanon, dan Edward W. Said, meskipun nama-nama ini, sebagian besar hidup tidak pada negara dunia ketiga yang menjadi basis teoritisasi yang mereka lakukan.

Kemudian kalau secara serius di perhatikan, akan terlihat bahwa kajian budaya ini merupakan reaksi kalangan intelektual atas perkembangan budaya pop yang pada awalnya timbul akibat akibat terjadinya industrialisasi dan urbanisasi sebagai rentetan dari Revolusi Industri di Inggris. Namun alasannya sudah tidak sesederhana ini, karena pada akhirnya ada pergeseran kajian budaya dalam memandang budaya pop.

Mathew Arnold, Leavis dan Mazhab Frankfurt menganggap bahwa budaya pop sebagai hasil dari industrialisasi budaya massa industrialisasi, maka kajian budaya hari ini memandang budaya pop sebagai ekspresi positif “orang kebanyakan” untuk bertahan.

Pergeseran ini terjadi karena adanya perubahan mendasar pada lanskap yang melatari kajian budaya era kontemporer ini. Setidaknya ada tiga kondisi yang dicatat oleh Melani Budianta, yaitu; Pertama, kondisi sosial psikologis. Para ilmuan sosial-humaniora merasa diri tidak berarti oleh keberhasilan intelektual/saintis dalam masyarakat kapitalis tingkat tinggi. Sehingga mereka (intelektual humanis) merasa butuh akan sebuah paradigma baru yang tidak terjebak pada bidang kajian sastra, politik, ekonomi atau sosiologi secara terpisah-pisah.

Kedua, kondisi kedua disiapkan oleh posmodernisme yang mewarnai produk budaya maupun wacana intelektual pada paruh terakhir abad ke-20. Wacana Posmodern ini meruntuhkan tembok pemisah antara produk budaya tinggi dan rendah yang merupakan fondasi seni modernis, dan yang terakhir Ketiga, perkembangan teori-teori pos struktural yang membantu menghancurkan dinding pemisah antar disiplin. Kajian ini dalam bahasa Clifford Geertz dianggap sebagai percampuran antar wacana yang berakibat goyahnya label disiplin dan klasifikasi genre.

Cultural Studies, Sebuah Finalitas Pengkajian ?

Kajian budaya sebagai kajian yang mencoba menjawab krisis paradigmatik yang menjangkiti ilmu-ilmu sosial sekarang ini, memang seperti segelas air di tengah kehausan panjang para intelektual humaniora. Kepongahan body of science sebagai satu-satunya bangunan pengetahuan yang obyektif mengalami krisis besar, walaupun sebelumnya, science pernah membuat seluruh disiplin yang ada berupaya untuk mendapat legitimasinya.

Bahkan kini terjadi hal yang sebaliknya, terjadinya ekspansi perspektif humaniora keranah yang selama ini bukan menjadi wilayah garapnya. Kalau sebelumnya paradigma body of science dalam bentuk metode ilmiah menjadi pentaskih kebenaran tunggal untuk semua bangunan pengetahuan, apakah itu teknik, fisika, dan kimia ataukah ekonomi, sosiologi, sastra dan antropologi, maka sekarang justru konsep humaniora seperti “wacana[4], “representasi[5] dan model-model diskursif-interpretatif lainnya yang menjadi alat untuk membaca dan memverifikasi gejala ekonomi, sosial, politik, bahkan kimia, fisika dan teknik sebagai “teks[6] semata.

Tampaknya metatheorizing George Ritzer diwilayah sosiologi telah merambah wilayah yang lebih luas dan melebar dan membungkam paradigma tunggal science dari Thomas Kuhn. Disiplin ilmu tidak lagi berkembang dalam garis linear Normal science I-anomalies-crisis-revolution-Normal Science II, namun bergerak penuh dengan keacakan dalam bentuk lompatan-lompatan fenomenal yang kadang tak terprediksikan sebelumnya.

Tetapi, sekali lagi sebagai sebuah model penelitian dan pengkajian, kajian budaya tidak boleh menjadi sesuatu yang final dan mengklaim dirinya sebagai alat verifikasi kebenaran baru yang menggantikan pendekatan saintifik. Karena pada saat hal itu terjadi, maka sesungguhnya kajian ini dapat dikatakan bunuh diri, karena kajian budaya ini pada hakekatnya merupakan proses untuk menemukan sebuah jawaban paradigmatik atas krisis paradigma yang melanda kajian-kajian sosial selama ini.

Wilayah Garap Kajian Budaya

Dalam bukunya yang berjudul Cultural Studies and Its Theoretical Legacies, Stuart Hall mengatakan bahwa harus ada sesuatu yang dipertaruhkan dalam cultural studies untuk membedakannya dari wilayah subyek lain. Hal yang dipertaruhkan oleh Hall[7] adalah kaitan-kaitan cultural studies dengan persoalan-persoalan kekuasaan dan politik, dengan kebutuhan akan perubahan dan representasi dari dari kelompok-kelompok sosial yang terpinggirkan, terutama representasi yang menyangkut klas, gender dan ras (bahkan juga usia, penyandang cacat, nasionalitas, dan sebagainya).

Dengan menggunakan perspektif Hall ini, maka dapat disimpulkan bahwa kajian budaya bukanlah bangunan pengetahuan yang netral, malah menganggap bahwa produksi bangunan pengetahuan adalah tindakan politik. Hal inilah yang mengakibatkan kajian ini merambah hampir seluruh wilayah pengetahuan. Secara sederhana, wilayah garap kajian budaya dapat dipetakan menjadi tiga, mengikut pemetaan yang dilakukan oleh Melani Budianta, wilayah tersebut adalah :
Ø  Poskolonial-Nasional-Transnasional
Klasifikasi ini menjadi wakil dari tiga masa atau fase sejarah yang menantang dan sepertinya menjadi keharusan untuk dilalui oleh negara-negara dunia ketiga. Disaat mereka baru melepaskan diri dari kolonialisme, pada saat yang sama mereka di paksa untuk merumuskan budaya nasional ditengah fenomena transnasional akibat globalisasi. Kondisi ini merupakan wilayah kajian yang menantang. Untuk studi ini, ambil contoh misalnya, Edward W. Said[8] dengan Orientalisme-nya, dan Bennedict Anderson[9] dalam Komunitas Imajiner-nya.
Ø  Gender, Ras dan Etnisitas[10]
Pengaturan norma dan perilaku yang diperlakukan atas dasar perbedaan jenis kelamin (gender), Ras dan Etnisitas merupakan proses sejarah. Ini semua bersifat kultural melalui, majalah-majalah wanita, karya sastra, iklan, televisi, dan institusi negara maupun agama, ini merupakan kajian yang menarik bagi kajian budaya. Misalnya kajian Paul Gilroy menganalisis tradisi absolutisme etnis/agama dan nasionalisme dari berbagai teks fiksi, sejarah, dan tokoh kulit hitam Inggris dan Amerika. 
Ø  Sastra/Budaya Pop, Pembaca dan Institusi
Kajian budaya jenis ini memperkaya sosiologi sastra dan sejarah sastra dalam meneliti kaitan teks dengan sistem-sistem yang ikut menentukan keberadaannya (reproduksi, pengayom, pengarang, pembaca, kritikus). Taruhlah misalnya kajian David Glover dan Cora Caplan yang mengkaji sejumlah asumsi dibalik genre fiksi kriminal.

Sekelumit Basis Teori

Dalam melakukan analisis terhadap wilayah garapnya, kajian budaya menggunakan beberapa bangunan teori dasar. Mulai dari Teori budaya Mathew Arnold sampai pada teori-teori budaya posmodern sebagaimana telah disebutkan pada bagian kedua tulisan ini. Berikut pemetaan teori dasar yang membangunkajian budaya sampai saat ini. Pemetaan ini mengikut pada apa yang dilakukan oleh John Storey[11].

Pertama, Aliran Arnoldian, aliran ini menyandarkan analisisnya pada teori budaya yang dibangun oleh Mathew Arnold, dimana beliau mengatakan bahwa budaya memiliki beberapa makna, yaitu 1) bahwa budaya merupakan suatu bentuk pengetahuan dalam bentuk pemikiran dan pernyataan terbaik di dunia, suatu kemampuan untuk mengetahui yang terbaik, 2) budaya juga difahaminya sebagai apa yang terbaik, 3) budaya adalah penerapan mental dan spiritual dari yang terbaik dan terakhir 4) buday menjadi pencarian apa yang terbaik. Ringkasnya Kaum Arnoldian menganggap bahwa budaya adalah upaya untuk mengetahui yang terbaik dan usaha untuk membuat pengetahuan bermanfaat bagi manusia.

Dengan pengertian budaya seperti ini, kaum Arnoldian kemudian memetakan bahwa budaya terbagi tiga berdasarkan klas masyarakat yang menganutnya, yaitu klas Barbar (aristokrat), klas Philistine (klas menengah) dan klas Populace (klas pekerja).

Nah, budaya menurut Arnold dengan hati-hati akan berfungsi untuk mengarahkan klas aristokrasi dan menengah untuk mengikuti jalur kontinum evolusi hakekat manusia, sementara itu fungsi yang lain adalah budaya harus di bawa ke klas pekerja untuk mengontrol mereka, karena klas pekerja diangapnya memiliki kecendrungan anarkhi yangdiangapnya mengancam eksistensi budaya dan peradaban. Untuk membudayakan klas pekerja, maka anak-anak mereka harus di sivilisasi (diajar) melalui pendidikan sebelum mereka bisa diatur (instruksi). Sebagaimana disebutkan dalam buku Mathew Arnold yang berjudul Culture and Anarchy bahwa “pendidikan adalah suatu cara budaya”.    

Kedua, Aliran Leavisisme, aliran ini berdasar pada F.R. Leavis, Q.D. Leavis dan Denis Thompon. Aliran ini tidak terlalu jauh berbeda analisisnya dengan kaum Arnoldian yang menganggap bahwa krisis budaya telah terjadi secara besar-besaran akibat berkembangnya budaya kelas pekerja yang berbentuk anarkhi, dan untuk mempertahankan posisi budaya sebagai pernyatan terbaik, kaum Laevisis menyarankan “rakyat... harus dilatih untuk membedakan dan bertahan” dari serangan budaya pop.

Dalam menjalankan proyek menjaga kualitas budaya, maka kaum Leavisis berkeyakinan bahwa hal ini hanya dimungkinkan kalau itu dilakukan oleh kelompok minoritas, “budaya itu selalu terpelihara dalam minoritas” dan kelompok minoritas itu adalah kaum intelektual, semacam kaum Leavisis ini. Mereka, kaum Leavisis ini menganalisis bahwa telah terjadi pergeseran dalam budaya, terutama dalam bahasa sehingga Leavis mengatakan dalan bukunya Culture and Encironment bahwa “Pekerjaan rumah bagi pembaca adalah bahwa penurunan nilai bahasa ini tidak hanya masalah kata saja, tetapi ia adalah penurunan nilai kehidupan emosional dan kualitas kehidupan.”

Ketiga, Kelompok ketiga yang mengatakan bahwa kaum intelektual merupakan penjaga budaya disamping kaum Arnoldian dan Leavisis adalah kelompok peneliti budaya Amerika yang diwakili oleh Andrew Ross, beliau mengatakan bahwa “mungkin untuk pertama kali dalam sejarah Amerika, intelektual sebagai kelompok sosial, memiliki kesempatan untuk menyadari dirinya sendiri sebagai agen budaya, moral dan kepemimpinan politik nasional”.

Ross mengidentifikasi bahwa secara serius telah terjadi perdebatan sengit antara tiga posisi yang berlawanan antara kaum intelektual Amerika dalam menyorot masalah budaya, yaitu 1) Posisi Estetis Liberal yang menyesalkan fakta yang ada tentang pilihan mayoritas populasi yang memilih teks dan praktik budaya tingkat dua dan tiga (budaya rendah/budaya massa/budaya pop), dan kelompok ini lebih suka pada teks dan praktik budaya tinggi. 2) Posisi corporate liberal atau evolusionis progresif yang menyatakan bahwa budaya pop menjalankan fungsi yang lunak untuk mensosialisasikan orang-orang pada kesenangan konsumsi pada masyarakat kapitalis baru-konsumeris, dan 3) Posisi atau sosialis yang melihat budaya massa sebagai satu bentuk dari atau sarana untuk kontrol sosial.

Keempat, Kaum Kulturalisme – Strukturalisme -- Pasca Strukturalisme. 1) Kaum kulturalisme[12] dalam kebudayaan, diwakili oleh kelompok The Birmingham Center For Contemporary Cultural Studies, misalnya Raymond Williams, Richard Hoggart dan E.P. Thompson, lebih bercorak materialisme historis kultural yang mengeksplorasi kebudayaan dalam konteks kondisi-kondisi material ketika ia di produksi dan dikonsumsi. 

Secara sederhana Williams[13] mengatakan bahwa analisis materialisme kultural ini adalah analisis atas semua bentuk penandaan dalam kondisi dan makna aktual ketika ia di produksi. Beliau kemudian menunjukkan term-term yang bisa di gunakan dalam menyelidiki kebudayaan. Pertama, institusi-institusi yang memproduksi kesenian dan kebudayaan. Kedua, formasi-formasi pendidikan, gerakan, dan faksi-faksi dalam produksi kebudayaan. Ketiga, bentuk-bentuk produksi, termasuk segala manifestasinya. Keempat, identifikasi dan bentuk-bentuk kebudayaan, termasuk kekhususan produk-produk kebudayaan, tujuan-tujuan estetisnya. Kelima, reproduksinya dalam perjalanan ruang dan waktu. Dan keenam, cara pengorganisasiannya.

Dari cara berfikir ini ditemukan bahwa kaum kulturalis ini menekankan bahwa makna merupakan produk dari manusia (sebagai agen aktif, human agents) dalam konteks sejarah[14], sementara itu, kaum strukturalisme lebih tertarik untuk berbicara tentang praktek-praktek penandaan dimana makna merupakan produk dari struktur atau regularitas-regularitas yang dapat diramalkan yang terletak di luar jangkauan manusia (human agents).

Dalam memapankan basis teorinya, kaum strukturalis meminjam analisis bahasa Ferdinand de Saussure yang dikembangkan oleh Levi Strauss di wilayah sosial. Jika kulturalisme menekankan pendekatan diakronik atas teks, maka kaum Strukturalis mengedepankan pendekatan sinkronik. Dengan analisis sinkronik terhadap bahasa, maka kaum strukturalis, berupaya menstabilkan makna dengan mengorganisir makna secara internal dalam opsisi biner.

Disinilah titik tekan serangan kaum Pasca strukturalis[15] terhadap strukturalisme, Derrida dan Foucault berkeyakinan bahwa makna tidaklah stabil, ia selalu dalam proses. Makna tidak hanya ditemukan dalam satu kata, kalimat atau satu teks, melainkan dia di temukan mengalir dalam hubungan antar teks sebuah kondisi intertekstualis.

Kelima, Kelompok Marxisme, mulai Marxisme Klasik, Mazhab Frankfurt, Althusserian, sampai pada Hegemoni Cramscian juga meletakkan basis teori bagi kajian budaya yang sedang berkembang hari ini. Dalam pandangan Marx, budaya pop tidak lebih dari salah satu bentuk dari ideologi superstruktur yang berdiri diatas infrastruktur ekonomi dalam bentuk pemilikan faktor-faktor produksi.

Secara lebih jauh, pendekatan ini melahirkan pikiran dari Max Horkheimer dan Theodor Adorno bahwa telah terjadi industri budaya massa yang menghasilkan dua produk budaya, yaitu keseragaman budaya, dan keseragaman sistem sebagai suatu kesatuan dan dalam semua bagiannya, semua budaya massa itu mirip dan bisa diramalkan.

Sementara itu Althusserian sebagi salah satu varian teori Marx lebih menitik beratkan pembahasannya pada perspektif ideologi. Louis Althusser[16] pemikir varian ini memiliki dua tesis tentang ideologi sebagauimana ditulis oleh Nuriani Juliastuti[17], yaitu; Tesis pertamanya mengatakan bahwa ideologi itu adalah representasi dari hubungan imajiner antara individu dengan kondisi eksistensi nyatanya.
Yang direpresentasikan di situ bukan relasi riil yang memandu eksistensi individual, tapi relasi imajiner antara individu dengan suatu keadaan di mana mereka hidup didalamnya. Tesis yang kedua mengatakan bahwa representasi gagasan yang membentuk ideologi itu tidak hanya mempunyai eksistensi spiritual, tapi juga eksistensi material. Dalam kedua tesisnya ini, Althusser sebenarnya menyerang posisi determinan yang dimiliki oleh basis dalam mendeterminasi bangunan superstruktur.

Bahkan, menurutnya, bisa saja sebuah bangunan superstruktur mengambil alih kedududkan basis dan menjadi penentu seluruh model superstruktur diluarnya. Hal ini pun sudah di eksplanasi oleh Friederich Engels yang menjadi eksplanator (penjelas) tulisan-tulisan Karl Marx sepeninggalnya.

Varian pemikiran Marxis yang juga banyak mempengaruhi analisis-analisis budaya, lahir dari seorang pemikir Sosialis Itali, Antonio Gramsci. Dengan teori Hegemoni-nya, Gramsci mengatakan bahwa dalam melakukan penguasaan atau dominasi, maka kelompok dominan mengunakan dua cara, yaitu agresi dan hegemoni. Kalau agresi menekankan pendekatan kekuatan fisik yang melahirkan konflik terbuka, maka hegemoni lebih memilih membatasi konflik dan menyalurkannya yang secara ideologis aman.

Teori hegemoni[18] menunjukkan sebuah bangunan penguasaan dan dominasi yang sangat halus, namunpun begitu, dalam perkembangan terakhir, telah muncul konsep hegemoni neo-gramscian yang mengatakan bahwa konflik yang coba di batasi dan disalurkan oleh hegemoni kemudian lahir dalam bentuk dilaketika antara inkorporasi yang dilakukan oleh pihak pendominasi dengan resistensi yang dilakukan oleh kaum terdominasi.

Keenam, laskap pemikiran yang juga banyak mempengaruhi kajian budaya ini adalah Feminisme denganberbagai macam variannya, mulai dari feminisme radikal, Marxis dan feminisme liberal sampai pada feminisme cangkeman ala Kris Budiman.  Varian feminisme ini kemudian tidak secara tegas lagi dapat dipetakan seperti itu dala memberika pegaruhnya, bahkan perspektif ini malah bergeser dan tidak lagi menjadi sebuah wacana yang ekslusif digeluti oleh kaum perempuan.

Yang lebih menonjol dari warna pengaruh wacana feminisme dalam kajian budaya adalah adanya upaya untuk menggambarkan seperti apa seorang feminis berbicara tentang budaya, seperti apa dampak yang dialami oleh kaum perempuan dengan berkembang dan maraknya budaya pop. Namun satu hal yang sampai saat ini belum dirambah oleh kajian feminisme yaitu wacana tentang maskulinitas, sebuah studi laki-laki, padahal dalam kajian budaya yang interdisipliner, anti disiplinar, a-disiplinar bahkan posdisipliner ini, kajian semacam ini sah-sah saja dilakukan oleh gerakan feminisme.

Ketujuh, Pemikiran terbaru yang banyak berdampak pada perkembangan kajian budaya adalah wacana posmodernis, wacana ini banyak di teoritisasi oleh Jean-Francois Lyotard, Jean Baudrillard dan Fredric Jameson. Lyotard menitikberatkan perspektifnya pada perbedaan dan pluralitas semua bidang dan wacana teoritis yang secara energetik menyerang teori dan metode totalis dan universalis. Lyotard menfokuskan diri pada fungsi narasi dalam wacana pada pengetahuan ilmiah dengan menggugat besar-besaran meta narasi kebenaran.

Sementara itu, Baudrillard mengatakan bahwa sekarang ini kita berada dalam dunia yang tidak memiliki batasan yang jelas antarawilayah ekonomi atau produksi dengan wilayah ideologi dan budaya. Ini terjadi karena artefak citra, representasi bahkan perasaan dan struktur psikis budaya menjadi bagian dari dunia ekonomi. Manusia menurutnya memasuki sebuah wilayah yang tanpa kejelasan asal-usul, sebuah wilayah hyperrealitas[19] yang di produksi melalui proses simulasi[20]

Bahkan kita hidup dalam belitan tanda yang tidak merepresentasikan realitas manapun, sebuah situasi simulacrum[21], dimana tanda menjadi referensi bagi dirinya sendiri. Penjelasan Baudrillard tentang simulacrum, di jelaskan lebih jauh oleh Jameson dengan mencoba menjelaskan gambaran konstitutif posmodernisme. Menurutnya, posmodernis sekarang ini merupakan budaya pastis, permainan kepuasan dari sindiran historis.

Kondisi pastis ini digambarkan sebagai kondisi yang tercampur dengan parodi, keduanya melibatkan imitasi[22] dan mimikri[23], namun perbedaannya, parodi biasanya tetap memiliki motif yang disembunyikannya, sementara itu pastis adalah suatu “parodi kosong” atau “copy kosong” yang tidak memiliki arti apa-apa.

Kontestasi bagi Poststrukturalisme

Dalam perkembangan cultural studies, maka basis teori yang paling besar berpengaruh dan di gunakan dalam ranah ini adalah kulturalisme, strukturalisme dan poststrukturalisme. Kulturalisme[24] mengedepankan pendekatan empiris —yang sangat ditekankan dalam tradisi kulturalis— mengeksplorasi bagaimana manusia secara aktif memproduksi makna-makna budaya.

Kulturalisme ini mendapatkan kritikan keras dari kaum strukturalisme[25] yang lebih berprinsip anti humanis dan menempatkan bahwa manusia hanyalah produk dari bangunan struktur yang berada di luar jangkauan manusia. Manusia dalam pandangan kaum strukturalis, hanyalah hasil konstruksi dari struktur tersebut. Kaum strukturalismesebagaimana yang di katakan oleh Antariksa-- lebih tertarik untuk berbicara tentang praktek-praktek penandaan dimana makna merupakan produk dari struktur atau regularitas-regularitas yang dapat diramalkan yang terletak di luar jangkauan manusia (human agents).

Sementara itu, post strukturalisme dengan mengikut diktum strukturalisme yang menempatkan manusia sebagai produk struktur, juga menggugat makna yang diorganisasikan secara internal dalam oposisi biner, yang ini berarti sama dengan mengatakan bahwa makna bersifat stabil. Sementara itu dalam pandangan kaum post strukturalisme, makna tidaklah stabil sebagaimana yang di bayangkan, makna senantiasa berada dalam proses. Makna merupakan hasil konstruksi dari hubungan antar teks sehingga bersifat intertekstualis. Makna bukanlah hasil dari satu kata, kalimat atau teks yang bersifat khusus.

Di sudut ketertundaan makna yang dianut oleh post strukturalisme inilah yang bersinggungan langsung dengan cultural studies. Bahasan cultural studies yang mengedepankan metode kajian yang interdisipliner, lintas-, trans- bahkan anti-disiplin, meniscayakan hasil (kesimpulan) yang senantiasa tertunda. Karena semua hasil kajian hanyalah merupakan konstruksi sudut pandang atau disiplin tertentu dan belum tentu sesuai dengan disiplin yang lain.

Dalam perspektif strukturalisme, dunia budaya hari ini dikuasai oleh budaya kapitalisme melalui proses inkorporasi[26] dan komodifikasi[27]. Proyek ini bekerja dalam ruang kerja globalisasi dan pasar bebas, sehingga dapat disaksikan bagaimana seluruh dunia dan social space tersedot menuju kesatu model logika kerja budaya yang bernama kapitalisme. Telah terjadi imprealisme kultural dari barat ke timur.

Namun kalau secara jeli, kondisi ini bila di sorot dari perspektif kulturalisme, akan di temukan bahwa kemenangan kapitalisme merupakan kemenangan semu, karena ternyata manusia tidak pernah benar-benar bisa di kuasai dengan sempurna. Manusia memiliki kemampuan melakukan kreolisasi[28] dan mimikri[29] sehingga kebudayan yang lahir bukanlah sebuah bangunan imprealisme kultural melainkan sebuah hibriditas kebudayaan[30].

Pertarungan kesimpulan yang terjadi antara perspektif kulturalisme dan strukturalisme, akan menemukan muaranya dalam wacana post strukturalisme. Wacana post strukturalisme mendorong kesimpulan yang ada kedalam ranah mediasi[31], di ruang inilah terjadi interaksi antar simbol yang akan bersintesis dan menemukan ekspresi baru.

Inilah ruang kontestasi[32] dimana semua macam paradigma, pendekatan, sudut pandang, perspektif dan kesimpulan-kesimpulan di jajakan dan di tawarkan untuk menjadi menu menarik bagi riuh ramainya pertarungan kepentingan dan kuasa yang melingkupi. Post strukturalisme membuka ruang kontestasi itu selebar-lebarnya bagi para kontestan tanpa membedakan asal-usul paradigmatik. Arena kontestasi merupakan sebuah arena jual beli, namun jual beli yang sudah mengalami penjinakan.



[1]       Lebih jauh tentang The Birmingham Center for Contemporary Cultural Studies, lihat Luna Lazuardi, Birmingham Centre. Dimuat dalam newsletters KUNCI No. 2, September 1999. www.kunci.or.id, 15 Desember 2003
[2]       Amaradani, Cultural Studies, artikel. Dimuat dalam newsletters KUNCI No. 1, Juli 1999. www.kunci.or.id, 15 Desember 2003 
[3]       Sardar, Ziauddin dan Borin Van Loon, Mengenal Cultural Studies For Beginners. Mizan. Bandung. Oktober 2001. Cet. I. hal. 80  
[4]       Pembahasan mendalam tentang analisis wacana, silahkan lihat Ziauddin Sardar dan Borin Van Loon, op. cit. hal. 14
[5]       Representasi adalah konsep yang mempunyai beberapa pengertian. Ia adalah proses sosial dari 'representing'. Ia juga produk dari proses sosial "representing”. Representasi menunjuk baik pada proses maupun produk dari pemaknaan suatu tanda. Representasi juga bisa berarti proses perubahan konsep-konsep ideologi yang abstrak dalam bentuk-bentuk yang kongkret. Untuk lebih jelasnya silahkan lihat Nuriani Juliastuti, Representasi. Dimuat dalam newsletters KUNCI No. 4, Maret 2000. www.kunci.or.id, 15 Desember 2003  juga Ziauddin Sardar dan Borin Van Loon, ibid. hal. 13
[6]       Sardar, Ziauddin dan Borin Van Loon, ibid. hal. 12
[7]       Lebih jauh pemikiran Stuart Hall tentang Cultural Studies, lihat Ziauddin Sardar dan Borin Van Loon, ibid. hal. 35-38
[8]       Lazuardi. Luna, Studi Kolonialisme. Dimuat dalam newsletters KUNCI No. 8, September 2000. www.kunci.or.id, 15 Desember 2003 lihat juga Ziauddin Sardar dan Borin Van Loon, ibid. hal. 106-114
[9]       Juliastuti, Nuriani. Pendekatan Budaya Ben Anderson. www.kunci.or.id, 18 Desember 2003
[10]     Sardar. Ziauddin dan Borin Van Loon, op.cit. hal. 122-153
[11]     Storey, John. Teori Budaya dan Budaya Pop. Qalam. Yogyakarta. 2002. Cet. I
[12]     Antariksa. Kulturalisme Vs. Strukturalisme. Dimuat dalam newsletters KUNCI No. 6-7, Mei-Juni 2000. www.kunci.or.id, 15 Desember 2003
[13]     Antariksa, Raymond Williams. Dimuat dalam newsletters KUNCI No. 6-7, Mei-Juni 2000. www.kunci.or.id, 15 Desember 2003   
[14]     Antariksa. loc.cit
[15]     Antariksa. ibid.
[16]     filosof Prancis, hidup antara 1918-1990, mengimpor strukturalisme ke dalam Marxisme dalam upaya menjadikannya sebuah ilmu “ilmu pengetahuan”. Lebih jauh tentang Louis Althusser, lihat Nuriani Juliastuti. Louis Althusser. Dimuat dalam newsletters KUNCI No. 4, Maret 2000. www.kunci.or.id, 15 Desember 2003 juga Ziauddin Sardar dan Borin Van Loon, op.cit. hal. 44-47
[17]     Juliastuti. Nuriani. Tesis Althusser tentang ideologi. Dimuat dalam newsletters KUNCI No. 4, Maret 2000. www.kunci.or.id, 15 Desember 2003, juga St. Sunardi, Semiotika Negativa, Kanal. Yogyakarta. 2002. hal. 144-149
[18]     hegemoni adalah sebuah istilah yang di populerkan oleh Antonio Gramsci, Pendiri Partai Komunis Italia, yang menggambarkan bahwa sosialisasi gagasan, nilai, dan kepercayaan tidak dipaksakan dari atas, tidak juga berkembang dengan cara yang bebas dan tak di sengaja, tetapi di negosiasikan melalui serangkaian perjuampaan dan bentrokan (bentrokan yang di maksud adalah bentrokan intelektual) antara kelas-kelas. Lebih lanjut, lihat Ziauddin Sardar dan Borin Van Loon, op.cit. hal. 48-51
[19]     hyperrealitas adalah realitas yang tidak memiliki referensi atau asal usul. Hyperrealitas ini di ciptakan melalui proses simulasi. Untuk lebih jelasnya lihat Ratna Noviani, Jalan Tengah Memahami Iklan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta, Cet. I. Juli 2002. hal. 63-72
[20]     simulasi adalah proses proliferasi dalam bentuk penciptaan obyek (model-model realitas) secara simulatif, yaitu obyek yang di dasari oleh referensi yang tidak nyata atau tidak jelas asal-usulnya. Simulasi lebih jauh sering di perhadap-hadapkan dengan konsep representasi. Untuk lebih jelasnya lihat Ratna Noviani, ibid. hal. 63-72
[21]     simulakrum adalah ruang yang dihasilkan oleh proses simulasi. Ruang ini berisi realitas-realitas semu (hyperrealitas). Simulakrum sendiri merupakan duplikasi dari duplikasi sehingga tidak menyertakan realitas atau referensi asli dalam proses produksi atau reproduksinya. Untuk lebih jelasnya lihat Ratna Noviani, Ibid. hal. 63-72
[22]     imitasi adalah upaya peniruan atau peminjaman suatu produk budaya tertentu oleh komunitas budaya yang lain. Lebih lanjut lihat Antariksa, Identitas Hibrida. Dimuat dalam newsletters KUNCI No. 8, September 2000. www.kunci.or.id, 15 Desember 2003  
[23]    mimikri adalah konsep yang diajukan Homi K. Bhaba untuk menggambarkan proses peniruan/peminjaman berbagai elemen kebudayaan. Menurutnya mimikri tidaklah menunjukkan ketergantungan sang terjajah kepada yang dijajah, ketergantungan kulit berwarna kepada kulit putih, tetapi peniru menikmati/bermain dengan ambivalensi yang terjadi dalam proses imitasi. Ini terjadi karena mimikri selalu mengindikasikan makna yang “tidak tepat” dan “salah tempat”, ia imitasi sekaligus subversi. Dengan begitu mimikri bisa dipandang sebagai strategi menghadapi dominasi. Lebih lanjut lihat Antariksa, ibid. 
[24]     kulturalisme merupakan pendekatan budaya yang menekankan bahwa makna merupakan produk dari manusia (sebagai agen yang aktif, human agents) dalam konteks sejarah. Lebih lanjut lihat, Antariksa, loc.cit.
[25]     strukturalisme bisa dilacak kembali pada karya-karya Emille Durkheim yang menolak anggapan empirisis bahwa pengetahuan merupakan derivasi langsung dari pengalaman. Strukturalisme yang dikenal sekarang adalah strukturalisme Ferdinand de Saussure dan Levi-Strauss yang menjelaskan bahwa produksi makna merupakan efek dari struktur terdalam dari bahasa, dan kebudayaan bersifat analog dengan struktur bahasa, yang diorganisasikan secara internal dalam oposisi biner : hitam-putih, baik-buruk, lelaki-perempuan. Lebih lanjut lihat, Antariksa, loc.cit.
[26]     inkorporasi merujuk kepada suatu proses sosial dimana kelas yang dominan mengambil elemen-elemen kebudayaan kelas subordinat dan menggunakannya untuk memperkuat status quo. Lebih lanjut, lihat Antariksa, Inkorporasi/Komodifikasi. Dimuat dalam newsletters KUNCI No. 5, April 2000. www.kunci.or.id, 15 Desember 2003   
[27]     komodifikasi adalah upaya memproduksi segala sesuatu –termasuk kesadaran- menjadi komoditas-komoditas yang bisa di perjual-belikan. Lebih lanjut, lihat Antariksa, ibid.
[28]     kreolisasi adalah sebuah proses budaya dalam bentuk penyerapan elemen-elemen kebudayaan lain, tetapi dipraktekkan dengan tidak mempertimbangkan makna aslinya. Lebih lanjut, lihat Antariksa, loc.cit.
[29]     lihat catatan kaki no 28
[30]     hibriditas kebudayaan adalah pemahaman bahwa kebudayaan dan identitas selalu merupakan pertemuan dan percampuran berbagai kebudayan dan identitas yang berbeda-beda. Batas-batas kebudayaan yang mapan dikaburkan dan dibuat tidak stabil. Antariksa, loc.cit.
[31]     sebuah ruang budaya (culture field) dimana segala macam simbol dari berbagai latar identitas budaya bisa saling bertemu. Lebih lanjut, lihat R. Kristiawan, Mediasi; Fakta Pasca Hegemoni. Dimuat dalam newsletters KUNCI No. 8, September 2000. www.kunci.or.id, 15 Desember 2003  
[32]     lihat mediasi, sebuah ruang budaya (culture field) dimana segala macam simbol dari berbagai latar identitas budaya bisa saling bertemu dan menjajakan diri sebagai kontestan yang memiliki hak dan kewajiban serta kemungkinan-kemungkinan kultural yang sama. 
Lebih baru Lebih lama