Pappoji Balo Lipa’ dan Uruane Cappa’

[02/02/2014] Beberapa waktu yang lalu, aku menambahkan sebuah widget musik ke blog ini. Dengan meminjam sebuah widget dari portal rappang.com yang memutar sebuah lagu bugis  dengan judul Balo Lipa’ ciptaan Anshar S., aku merasa blog ini akan terasa makin ciamik untuk dikunjungi. Membaca dan mendengar musik sekaligus. Berikut teks lengkap lagu tersebut beserta terjemahan yang saya buat secara bebas.

Balo Lipa’
Cipt: Anshar S.

lemmu’sa nyamamu anri
(betapa tega dirimu, adinda)
musolangi atikku
(kau hancurkan hatiku)
engkamu tudang botting
(kau duduk bersanding)
ri olo matakku
(di depan mataku)

bênêngngi uwisseng mêmeng
(seandainya dari dulu aku tahu)
mappoji balo lipa’mi
(cintamu hanya seperti motif sarung sepuhan)
ri mulanna mofa na dê’ tosirampê
(sedari awal kita tak usah saling mengenang)
Na dê’ tosirampê
(tak usah saling mengenang)

kesippa ro adammu
(betapa indah tuturmu)
ri wettu siolota’
(di saat kita bersitatap)
makkullêna ro anri
(sampai hati dirimu, adinda)
musolangi atikku
(kau hancurkan hatiku)

kesippa ro adammu
(betapa indah tuturmu)
ri wettu siolota’
(di saat kita bersitatap)
makkullêna ro anri
(sampai hati dirimu, adinda)
musolangi atikku
(kau hancurkan hatiku)

monro alê-alê
(ditinggal sendiri)
madoko watakkalê
(menderita jiwa raga)

Setelah beberapa waktu widget itu terpasang, seorang kawan lama di jagad blogger, Shinta ArDjahrie, menghubungiku via blackberry messanger menanyakan bahasa yang digunakan dalam lagu tersebut, “Mas, lagu yang di blog menggunakan bahasa apa? Terjemahin dong, kayaknya lagu sedih ya?” Maka tulisan ini terlahir untuk memenuhi permintaan sang kawan tersebut.

Meskipun tulisan ini tidak akan dibaca lagi oleh Shinta –sebab dia pergi menghadap Ilahi mendahului kita semua, jum’at 24 Januari 2014, namun aku merasa tetap perlu memposting tulisan ini, sebab ini adalah janji yang harus kutunaikan. Telah kujanjikan untuk membuat postingan terkait arti dari lagu ini, agar dia bisa mengerti. Namun karena berbagai rutinitas yang membelit, baru sekarang tulisan ini berhasil kutuntaskan, walau dengan hati tak tenang.

Balo lipa’ secara tekstual berarti motif sarung (hasil celupan), frasa ini seringkali digunakan sebagai perumpamaan bagi sesuatu mudah pudar dan gampang luntur. Salah satu hal yang gampang pudar sebagai mana terungkap dalam lagu tersebut, adalah rasa suka atau kasmaran (bugis: pappoji).  Mappoji balo lipa’ berarti rasa suka yang gampang luntur, sebagaimana lunturnya motif sebuah sarung hasil celupan.

Dalam konteks lagu balo lipa’ yang digubah oleh Anshar S., pemilik pappoji balo lipa’ adalah si perempuan, dan si laki-laki manjadi korban dari cinta palsu tersebut. Namun ada hal yang sedikit menggelitik mendengar lagu ini, si lelaki digambarkan begitu menderita karena kebohongan si perempuan. Setidaknya ada tiga frasa yang menggambarkan betapa menderitanya si lelaki: musolangi atikku (kau hancurkan hatiku), monro alê-alê (ditinggal sendiri), dan madoko watakkalê (menderita jiwa raga).

Ini sebenarnya agak bertentangan dengan karakter lelaki bugis pada umumnya yang pantang bermuram durja hanya karena persoalan asmara palsu. Bahkan merupakan kehinaan yang luar biasa apabila seorang lelaki harus merana hanya karena pappoji balo lipa’ dari seorang perempuan.

Sebenarnya, peristiwa ketika seorang lelaki bugis menerima kenyataan pahit di mana perempuan pujaannya hanya mappoji balo lipa’, merupakan batu ujian, apakah dirinya benar-benar seorang lelaki sejati (uruane sukku’) ataukah hanya seorang lelaki yang telah kehilangan hakikat kelelakian (uruane cappa’). Seperti kata para tetua ‘gau’ mappaddufa tau’, sikap yang menentukan derajat kemanusiaan seseorang.

Bila si lelaki menjadi bertindak bodoh dengan membiarkan diri sendiri berkubang dalam penderitaan yang berlebihan bahkan sampai berdampak buruk bagi dirinya sendiri, ataukah si lelaki membalas dendam, baik kepada lelaki lain yang menjadi pilihan si perempuan, dengan mengambil jalaln kekerasan, atau membalas langsung kepada si perempuan pemilik pappoji balo lipa’, atau membalas kepada perempuan lain dengan mempermainkan hatinya lalu berlalu tanpa rasa bersalah, maka sesungguhnya dia menjadikan dirinya sebagai uruane cappa’.

Dia menempatkan dirinya sendiri pada derajat kemanusiaan yang begitu rendah, di cappa’. Dia menjadi pengecut dengan bertindak sewenang-wenang, menganiaya mereka yang tak berdosa atau tak berdaya, serta menjelma menjadi sosok arogan dan tidak peduli pada tata nilai adat dan norma. 

Shinta, kembalilah dengan tenang...
Innalillahi wainnailaihi rajiun.
Allohhummagfirlaha warhamha wa'afiha wa'fu anha...

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama