Tragis, Sekolah Melindungi Pelaku dan Menyalahkan Korban


[07.04.2016] Hari sudah menjelang siang, rapat antara guru dan orang tua siswa belum dimulai. Ini sebuah rapat krusial, akan membahas pengaduan seorang siswa perempuan kelas satu, Mawar. Mawar mengaku kepada ibunya, telah mengalami beberapa kali pelecehan seksual oleh beberapa siswa lelaki, Kumbang, Cicak dan Buaya.

Tak tanggung-tanggung, karena perlakuan tersebut, Mawar enggan lagi ke sekolah dan ibunya sementara menimbang untuk memindahsekolahkan anaknya. Kisahnya, Mawar mengalami pelecehan itu di dalam lingkungan sekolah. Dirinya diajak oleh Kumbang ke sudut sekolah, lalu si Kumbang pun memanggil Cicak dan Buaya untuk bersama-sama mengangkat rok dan seterusnya –aku tak tega menceritakan apa yang dialami si Mawar selanjutnya.

Cilakanya, kejadian yang berlangsung selama berkali-kali itu, luput dari kepedulian tenaga pendidik di sekolah tersebut, padahal kejadiannya pada jam istirahat –artinya, siswa masih dalam pengawasan sekolah. Bahkan rapat hari ini berlangsung dalam suasana setengah hati. Wali kelas si korban malah terlambat hadir sehingga rapat harus molor.

Sebagai tambahan informasi sebelum masuk ke suasana rapat, si pelaku utama, Kumbang, pun pernah mengalami pengeroyokan oleh siswa lelaki kelas dua karena kedapatan mengintip salah seorang siswa perempuan dari kelas dua. Dan cilaka dua belas, lagi-lagi pihak sekolah tidak melakukan penelusuran lebih jauh terhadap latar belakang pengeroyokan.

Kita kembali ke rapat, setelah mendengarkan aduan soal kejadian pelecehan ini, Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan, Pak Herder,  hanya berkomentar ringan bahwa itu bukan pelecehan, tapi hanya sebentuk rasa ingin tahu siswa –si Kumbang, yang tinggi. Bahkan menurut Pak Herder, setelah melihat celana dalam Mawar, si Kumbang cs. penasaran dan ingin mengetahui apa yang ada di baliknya, bukankah itu rasa penasaran yang baik? Begitu kira-kira pembelaan Pak Herder.

Bahkan dengan enteng, Pak Herder mengatakan bahwa tidak selayaknya pengakuan anak seperti si Mawar itu didengarkan, karena anak-anak sulit untuk dipercaya. Coba perhatikan, pengakuan yang disertai tekanan psikologis sehingga enggan lagi datang ke sekolah masih dianggap kebohongan oleh Pak Herder! Guru macam apa ini?

Ketika kemudian orang tua si Mawar mengajukan keinginan untuk pindah sebagai semacam ancaman agar pihak sekolah mengusut tuntas kasus ini, lagi-lagi Pak Herder hanya menjawab bahwa sekolahnya tak akan pernah mengeluarkan siswa, kecuali siswa itu sendiri yang meminta. Pak Herder malah masih sempat menitip harapan agar si Mawar dan orangtuanya tidak menjelek-jelekkan sekolah yang ditinggalkan.

Aku curiga, kenapa Pak Herder demikian mati-matian membela pelaku, sebab salah satu nama yang disebut, Cicak, orang tuanya termasuk begitu royal menyumbang berbagai kebutuhan sekolah tersebut. Sebuah persekongkolan yang berbahaya bagi proses pendidikan yang egaliter non disktiminatif.

Bukannya mencoba berempati dengan apa yang dialami Mawar, pihak sekolah memilih untuk membela kepentingannya sendiri, wibawa sekolah! Kepentingan ini beririsan dengan perihal menyelamatkan pelaku. Hanya demi wibawa sekolah, pelaku terselamatkan, bahkan hars diselamatkan.

Anak yang sudah selayaknya mendapatkan pelayanan lebih dan harusnya diadakan konseling oleh psikolog, baik bagi pelaku dan juga si korban, malah dibiarkan begitu saja. Pelaku dimaklumi dengan alasan masih belia dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Yang paling kasihan adalah Mawar yang telah menjadi korban, dan menjadi pihak yang disalahkan! Blaming the victim yang sangat menyedihkan dari pihak sekolah.

Bahkan anak kami, Cinta, yang juga sekolah di situ, pun pernah mengalami kejadian serupa, meski dengan kadar belum separah pengalaman Mawar. Cinta dua kali mengalami, jilbabnya ditarik dan dilepas oleh seorang siswa lelaki. Mungkin bagi sebagian orang, ini biasa tapi kami tak bisa menolerirnya.

Kami mengingatkan Cinta untuk melakukan perlawanan kepada pelaku dan melaporkan kejadiannya kepada wali kelas bila mengalami kembali kejadian serupa. Kami pun berinisiatif menyampaikan teguran kepada pelaku, dan meneruskan keluhan kepada orang tua pelaku. Alhamdulillah, kejadiannya sudah tak terjadi lagi.

Sebenarnya aku tak tega menceritakan hal ini, kasihan korban dan juga siswa lain yang mungkin akan jadi korban selanjutnya. Tapi sepertinya, sekolah seperti ini perlu mendapat perhatian semua pihak, sebab ini tidak hanya terkait dengan nasib si Kumbang, Cicak, Buaya dan si Mawar, tapi ini mempertaruhkan nasib generasi.

Terlebih, sekolah tempat kejadian ini berlangsung, mendapatkan predikat bergengsi, sekolah percontohan nasional. Lalu apa yang bisa kita lakukan menghadapi soalan ini? Sebab usulan untuk memberi perhatian khusus pada kasus ini termasuk pelayanan konseling bagi semua yang terlibat, diabaikan oleh pihak sekolah.

* nama yang ada di catatan ini adalah nama samaran
** tulisan ini berbasis pada tuturan orangtua siswa yang turut menghadiri rapat dimaksud
*** sumber ilustrasi: hijabnesia.com

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama