Menghadang Rezim Al Aql

[28.09.2010] Tulisan ini dibuat dengan maksud untuk mengajukan keberatan-keberatan epistemologis tersebut agar dialektika keilmuan kita tetap berjalan dinamis, sehingga khasanah pengetahuan kita menjadi makin kaya dan penuh keragaman.



Dalam tulisannya yang berjudul “Catatan kecil tentang hati dan akal”, Khusnul Yaqin mengemukakan bahwa “ada tiga jenis perangkat untuk meraih ilmu atau persepsi yang benar yaitu indera empiris, indera perantara empiris dan non-empiris dan indera non empiiris. Indera empiris adalah panca indera kita, sedangkan indera antara empiris dan non-empiris adalah al qalb dan terakhir indera non-empiris adalah al aql”.

Pada tulisannya, Khusnul Yaqin memberikan kritikan terhadap mereka yang dalam kehidupan sehari-hari seringkali meletakkan hati dan akal pada domain yang berbeda bahkan mempertentangkannya secara diametral. Pada akhirnya, Khusnul Yaqin menyodorkan sebuah pemahaman bahwa dari ketiga perangkat berpengetahuan yang ada, panca indera, al qalb dan al aql, maka yang paling bisa menghasilkan pengetahuan yang shahih kebenarannya adalah al aql dan panca indera serta al qalb ditempatkan dalam posisi sub-ordinat di bawah al aql.

Khusnul Yakin menulis “keimanan yang merupakan hasil pengaktifan al aql untuk mengikat hasil olahan al qalb yang benar akan menjadi semacam cahaya untuk menguatkan domain-domain lain seperti domain empiris maupun al qalb untuk lebih siap dan mampu menganalisis obyek-obyek lain yang akan diteruskan dan diikat oleh al aql”.

Berbicara tentang perangkat untuk meraih ilmu memang penting, karena kebenaran sebuah pengetahuan sangat dipengaruhi oleh perengakat yang dipakai dalam memperoleh ilmu tersebut. Bila alat berpengetahuannya bermasalah, maka tentu pengetahuan yang dihasilkannyapun akan bermasalah pula.

Tapi yang tak kalah penting adalah membincang tentang bagaimana perangkat itu bekerja, bagaimana mekanismenya dalam meraih ilmu. Kedua perbincangan ini tidak bisa dipisahkan, yang dalam perbincangan filsafat ilmu diwakili oleh istilah yang sama, epistemologi.

Apa yang dikemukakan oleh Khusnul dalam tulisannya ini menimbulkan problem epistemologis karena Khusnul hanya mengemukakan perangkat untuk meraih ilmu tanpa mencoba membincang lebih jauh bagaimana perangkat berpengetahuan itu bekerja.

Selain itu, pilihan untuk mensubordinatkan fungsi al qalb di bawah al aql juga merupakan sebuah kecerobohan fatal alam membincang epistemologi, terutama dalam jagad keilmuan Islam. Karena dalam sejarah panjang keilmuan Islam, dialektika antara berbagai model epistemologi berlangsung demikian dinamis.

Episteme dan mekanisme kerjanya
Sebelum melangkah lebih jauh, perlu kiranya dikemukakan beberapa pendapat yang mencoba memberi eksplanasi terhadap apa yang dimaksud dengan epistemologi dan bagaimana mekanisme kerjanya. Dengan adanya pemahaman dasar ini, maka pembahasan selanjutnya akan lebih mudah.

Bila kita coba mengacu kepada pemikiran Muhammad Abid Al Jabiri, beliau mendefenisikan bahwa epistemologi diartikannya sebagai kumpulan kaidah berfikir yang siap di gunakan dalam berbagai kondisi kemasyarakatan. Lebih jauh beliau menekankan bahwa bahasa lain dari epistemologi adalah “nalar” sebagai kumpulan konsep dan prosedur yang menjadi struktur bawah sadar dari pengetahuan dalam fase sejarah tertentu.

Pengertian Al Jabiri tersebut mirip dengan apa yang apa yang di kemukakan oleh Hasan Hanafi dengan mengikut pada Foucault. Hanafi mengatakan bahwa episteme merupakan kerangka berfikir yang melahirkan pertanyaan, menjawabnya sendiri, kemudian membenar-kannya sekalian.

Defenisi dari Al Jabiri, Hanafi, maupun Foucault menggariskan dengan jelas kepada kita bahwa episteme tidak pernah bekerja secara netral. Setiap episteme di bentuk dan bekerja sebagai hasil konstruksi sosial-politik-ideologis bangunan masyarakat tertentu dimana al aql itu tumbuh dan berkembang.

Jadi, episteme bukanlah sesuatu yang netral melainkan sangat ideologis, jadi pilihan Khusnul Yaqin untuk menempatkan al aql sebagai satu-satunya sandaran terkuat dalam berpengetahuan dengan mensub-ordinasi al qalb bukanlah sesuatu yang netral dan islami an sich. Belum lagi kalau menilik pada masalah bagaimana episteme atau al ql itu bekerja, sebuah pembahasan yang tidak terlalu disinggung oleh Khusnul Yaqin.

Dalam konteks Islam, menurut Al Jabiri, setidaknya ada tiga model episteme atau nalar yang bekerja di tengah-tengah umat, yaitu nalar bayani, nalar burhani dan nalar irfani. Ketiga model nalar ini eksis dan saling melengkapi dalam membangun kekuatan tradisi (termasuk keimanan, keilmuan dan kebudayaan) Islam.

Pertama, nalar bayani (eksplanatif), sebuah episteme yang berakar dari tradisi berfikir Arab pra Islam. Perlu difahami bahwa berfikir dalam tradisi Arab berarti tindakan atau penjelasan tentang bagaimana seseorang berbuat sesuatu. Hal ini sangat berpengaruh terhadap karakter pengetahuan yang dihasilkan leh episteme ini.

Secara etimologis, bayani dapat diartikan sebagai penjelasan atau eksplanation, sementara secara terminologi, bayani difahami sebagai sekumpulan aturan-aturan penafsiran wacana dan syarat-syarat memproduksi wacana (dalam hal ini wacana fiqh-syariat). Olehnya itu, episteme ini sangat menekankan otoritas teks (nash), baik secra langsung maupun tidak, kemudian dijustifikasi oleh akal kebahasaaan yang digali lewat inferensi (istidlal).

Kedua, nalar burhani (demonstratif) merupakan episteme yang menekankan pada kekuatan rasio yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Nalar ini berakar pada tradisi Yunani yang memahami bahwa berfikir berkaitan dengan upaya mencari sebab dari sesuatu. Pengetahuan dihasilkan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya.

Nalar burhani sendiri dapat difahami sebagi suatu aktivitas berfikir melalui penerapan kebenaran proposisi (qadliyah) melalui pendekatan deduktif (al-istintaj) dengan mengaitkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain yang telah terbukti kebenarannya secara aksiomatik (badihi).

Kehadiran model nalar ini untuk mengatasi kekakuan nalar bayani yang terllu tergantung pada teks. Tapi model ini juga dikritik oleh para penganut irfan karena burhani dianggap tidak mampu mengantar manusia untuk menyingkap kebenaran yang bersifat intuitif atau pengetahuan kehadiran (hudhuri atau knowledge by present), nalar burhani hanya bersifat deskriptif-analitik semata.

Ketiga, nalar irfani merupakan model episteme yang tidak didasarkan atas analisa teks sebagaimana bayani, ataupun runtutan logika sebagaimana burhani, irfani lebih menekankan kesucian hari. Model episteme ini, menurut Sabara Nuruddin tidak memisahkan aspek pengetahuan dengan spiritualitas, akal dan hati serta mensinergikan pencapaian mistikal dengan pemahaman rasional-filosofis mengenai pengalaman spiritual tersebut.

Secara etimologis, irfan berasal dari bahasa arab arafa yang sedarah dengan kata ma’rifat yang berarti pengetahuan atau pengenalan. Secara terminologis, irfan bisa dimaknai sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh melalui penyinaran kebenaran oleh Tuhan kepada hambaNya (kasyf) setelah sang pencari ilmu melakukan latihan (riyadhah) atas dasar cinta (mahabbah).

Ketiga model epistemologi ini, tidak sesederhana yang dijelaskan oleh Khusnul yaqin bahwa apa yang telah di analisa oleh al qalb dengan baik “diteruskan ke al aql agar diikat atau ditahan”. Dalam epistemologi yang berkembang secra historis dalam dunia Islam sebagaimana difahami Al jabiri tidaklah netral dan terjadi dialektika antara panca indera, al qalb dan al aql dan tak ada yang superioritas yang satu dibanding yang lain, tergantung konteks dan bangunan keilmuan yang diolahnya. Tabik.

7 Komentar

  1. Ehingga khasanah pengetahuan kita menjadi makin kaya dan penuh keragaman.

    BalasHapus
  2. Keberatan epistemologis tersebut agar dialektika keilmuan kita tetap berjalan dinamis.

    BalasHapus
  3. i like this post

    BalasHapus
  4. Great Blog..!!!! Keep Blogging.... :)

    BalasHapus
  5. Anonim4:30 PM

    Il semble que vous soyez un expert dans ce domaine, vos remarques sont tres interessantes, merci.

    - Daniel

    BalasHapus
  6. Camarade Daniel, je viens d'apprendre en autodidacte dans cette affaire, s'il vous plaît d'entrée. merci

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama