“Anda dapatkan yang terbaik dari orang lain, kalau Anda sendiri memberikan yang terbaik”
--Harvey Firestone
[14.06.2011] Hari pertama saya menginjakkan kaki di kantor dengan status sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), perasaan minder lumayan menghantui. Berbagai pertanyaan berkecamuk, tentang beban kerja, teman baru, kebiasaan-kebiasaan dan lain sebagainya. Shock culture adalah hal yang lumrah saja terjadi bila seseorang masuk ke dalam komunitas baru, termasuk saya. Untuk itu, tindakan menyesuaikan diri dengan berbagai hal terkait dengan habitat baru menjadi keharusan.
Kondisi gegar budaya ini tidak terlalu lama berlangsung, setelah beberapa hari semua ketakutan itu pupus dengan sendirinya. Perubahan ini dipengaruhi oleh penerimaan positif dari lingkungan baru. Beberapa orang pegawai senior dengan sepenuh hati menempatkan diri menjadi semacam ‘mentor’dalam membantu proses adaptasi.
Namun seiring berjalannya waktu, begitu memasuki tahun pertama, saya menemukan kenyataan baru yang cukup menggelisahkan, lebih menggelisahkan dari gegar budaya ketika pertama kali menginjakkan kaki di kantor. Ternyata, tidak semua pegawai senior bisa menjadi semacam ‘mentor’ bagi kami yang baru, juniornya. Bahkan ada beberapa yang terkesan agak tertutup dan memposisikan kami sebagai ‘ancaman’, entahlah ancaman apa dan bagaimana.
Mungkin kecurigaan saya saja yang berlebihan, tetapi memang sudah menjadi hukum alam bahwa selalu ada dua jenis respon terhadap sebuah keadaan, begitupun dengan kedatangan pegawai baru di sebuah kantor. Jadi bila ada yang begitu bersemangat menyambut kedatangan pegawai baru, tentu ada juga yang akan bermasa bodoh, bahkan merasa ‘terancam’ dengan kedatangan pegawai baru.
Saya pikir bahwa kejadian seperti ini juga terjadi pada organisasi birokrasi di mana saja dan pada level apa saja di seluruh Indonesia, kehadiran pegawai baru disamping diapresiasi positif, tak sedikit yang memandang negatif. Kondisi ini akan lebih terasa pada kantor yang beban kerja pegawainya berhubungan langsung dengan tingkat kesejahteraan seorang pegawai.
Sikap bermasa-bodoh dan berbagai apresiasi ‘negatif’ atas hadirnya pegawai baru, kelihatan dari sikap tidak terlalu mau berbagi pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill) dan bertukar pengalaman. Bahkan ketika ada kerja dalam kelompok sebagai sebuah tim kerja, sangat terasa bagaimana mereka yang tidak terlalu respek dengan pegawai baru akan mengerjakan semua pekerjaan, seorang diri. Tentu dengan catatan, mereka tidak ‘dipaksa’ untuk membocorkan ‘ilmu’nya kepada pegawai baru.
Akibatnya, pegawai yang masih baru terpaksa menjalani aktivitas dengan meraba-raba dan belajar secara otodidak, padahal sepakat atau tidak, mereka akan mengambil peran penuh bila saatnya nanti. Sementara orang-orang yang enggan berbagi tersebut akan pensiun dan meninggalkan kantor dengan membawa serta pengetahuan, keterampilan dan pengalaman yang ‘ogah’ diwariskannya. Kondisi seperti ini sangat bertentangan dengan hakekat organisasi masa depan.
Organisasi –termasuk birokrasi, yang bisa bertahan dalam situasi dan kondisi yang selalu berubah dengan cepat ini hanyalah organisasi yang berhasil mendinamisasi diri dan menjadi organisasi pembelajar (organizational learning). Organisasi jenis ini merupakan organisasi yang dinamis karena diisi oleh orang-orang yang siap berbagi dengan sesama komponen organisasi.
Setidaknya, ada lima ciri dari sebuah organisasi pembelajar, yaitu: pertama, organisasi tersebut berorientasi masa depan. Orientasi kemasadepanan sebuah organisasi ditunjukkan dengan adanya visi yang menurut Gede Prama, menjadi sasaran utama organisasi, mampu mengilhami setiap orang untuk mengejar satu tujuan bersama, memberikan sense of direction yang amat diperlukan untuk menghadapi krisis dan berbagai perubahan, memberikan fokus, memberikan identitas kepada seluruh anggota organisasi, dan memberikan makna bagi orang yang terlibat didalamnya.
Kedua, organisasi pembelajar dijalankan oleh seorang pimpinan yang bukan hanya berfungsi sebagai manajer melainkan juga sebagai pemimpin. Ini berarti bahwa pimpinan memahami fungsi manajer sebagai orang yang bertanggungjawab atas kinerja untuk pencapaian tujuan dengan baik, serta fungsi pemimpin sebagai orang yang bertanggungjawab untuk merumuskan tujuan organisasi yang baik.
Ketiga, organisasi pembelajar harus mempunyai budaya yang mendukung proses organisasi yang dinamis dan memadukan antara kerja profesional dengan kesenangan. Seperti kata Gede Prama, organisasi tidak hanya menjadi tempat berproduksi dan menghasilkan karya (a place of production), melainkan juga sebagai tempat untuk berfikir (a place of thinking), dan tempat memperoleh kegembiraan (place for fun).
Keempat, organisasi pembelajar memiliki model pengembangan sumber daya manusia yang mapan, proses pelatihan yang sistematis, serta kompetensi sumber daya manusia yang terstandarisasi dengan baik. Sehingga orang-orang yang terlibat di dalamnya dituntut untuk senantiasa untuk meningkatkan kualitas dan kemampuan profesonalnya. Hal ini akan berimplikasi pada mutu kerja dan produktivitas yang terjaga.
Kelima, organisasi pembelajar memiliki siklus dan aliran informasi yang dinamis. Sistem informasi manajemen yang diterapkan, memungkinkan setiap unsur dalam organisasi dapat dengan mudah mengakses informasi yang mereka butuhkan. Keterbukaan dan ketulusan untuk berbagi informasi demi kemajuan bersama akan menentukan seberapa jauh organisasi tersebut bisa bertahan di tengah derasnya arus informasi dewasa ini.
Singkatnya, Senge mengatakan bahwa organisasi pembelajar (Learning Organization) adalah “Organisasi dimana orang-orangnya secara terus menerus meningkatkan kapasitas mereka untuk mencapai tujuan yang mereka dambakan, dimana pola pikir baru dipelihara, aspirasi kolektif dibiarkan bebas, dan dimana orang-orang secara terus menerus belajar untuk bagaimana belajar bersama-sama”.
Sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil, menjadikan kantor tempat kita bekerja sebagai organisasi pembelajar bukanlah hal mudah. Ada beberapa hambatan kultural yang masih mengganjal, terutama karakter feodal yang masih kuat melekat di birokrasi kita. Atasan yang cenderung nge-bozzy, serta rekan kerja yang lebih memilih untuk mempertahankan comfort zone-nya masing-masing daripada berubah.
Organisasi pembelajar akan berjalan dengan baik apabila dalam kantor tersebut terbangun kesepahaman untuk saling berbagi dan mendukung. Pegawai senior berbagi dengan juniornya, atasan berbagi dengan bawahannya. Setiap pegawai dipersyaratkan untuk belajar setiap saat serta menilai dan menghargai prestasi pegawai dari bagaimana mereka mau berbagi pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman.
Selain itu, organisasi tersebut juga harus menyediakan pengetahuan apakah melalui perpustakaan kantor atau bank data untuk dimanfaatkan bersama dan mendorong setiap orang untuk terus menerus belajar dan mampu meningkatkan keahliannya. Dengan demikian, seperti kata Juni Kuntari, “tidak ada istilah hanya segelintir orang yang bisa menyelesaikan masalah.”
Maka sebuah organisasi pembelajar yang ideal akan berjalan dengan sempurna, bahwa setiap yang bisa mengajar, mengajarlah, dan yang tidak bisa, belajarlah! Sudah siapkah kantor kita menjadi organisasi pembelajar? Sudah siapkah kita sebagai Pegawai Negeri Sipil menjadi pekerja intelektual? Semoga!
Tags:
Motivasi