Dara Matasia: Perempuan Idaman Lelaki Bugis

[29.08.2015] Sabtu pagi, sambil menikmati segelas teh hangat, kubuka aplikasi pemutar .mp3 di notebook, kupilih lagu-lagu dari playlist bertitel ‘Bugis Losquin’. Sejenis musik berirama keroncong, namun tanpa sentuhan seruling-biola-cello.

Dalam penjelasan Mbak Wiki, keroncong adalah aliran musik yang berakar pada sejenis musik Portugis, fado yang diperkenalkan oleh para pelaut dan budak kapal niaga bangsa itu sejak abad ke-16 ke Nusantara.

Setelah transit di daratan India (Goa), masuklah musik ini pertama kali di Malaka dan kemudian dimainkan oleh para budak dari Maluku. Bentuk awal musik ini disebut moresco (sebuah tarian asal Spanyol, seperti polka agak lamban ritmenya).

Dalam bentuknya yang paling awal, moresco diiringi oleh musik dawai, seperti biola, ukulele, serta selo. Perkusi juga kadang-kadang dipakai.

Di Makassar, pada periode keroncong tempo doeloe (1880-1920) ini, lahir pula bentuk keroncong khas yang kemudian dikenal sebagai musik losquin Bugis, misalnya lagu Ongkona Arumpone yang dinyanyikan oleh Sukaenah B. Salamaki.

Tapi tulisan ini tak ingin berbual panjang soal aliran keroncong dengan segala varian dan hubungannya dengan Bugis Losquin. Tapi akan mencoba mengulas salah satu lagu dalam playlist ‘Bugis Losquin’ku.

Dalam playlist tersebut, terdapat 10 lagu: Ana’ Mali’ê, Bulu Alauna T êmpê, Cora Kêteng, Dara Matasia, Indo’ Logo, Labuni Essoê, Masa Allah, Ongkona Bonê, Ongkona Sidênrêng, dan Saralaoê.

Ketika sampai pada lagu keempat, Dara Matasia, sebuah lagu yang ditulis oleh A. Rasyid, aku terhenyak sejenak. Musik intronya begitu hangat ditelinga. Dan judulnya, mengantarku pada konsepsi tentang gadis impian para lelaki Bugis.

Berikut lirik lagu Dara Matasia beserta terjemahannya yang aku lakukan dengan kemapuan bahasa Bugis yang pas-pasan. Semoga ada pembaca yang mampu dan mau membantu menyempurnakan penerjemahannya kelak.

Dara Matasia
(Gadis Jelita)
Cipt.: A. Rasyid

Dara matasia to sukku
(Gadis jelita manusia sempurna)
To ripoji-pojikku
(Dia yang kupuja-puji)
Tau ritangke'na atikku
(Dia pingitan hatiku)
To ritangke’ pulana
(Dia pingitan azali)

Micawa cabbêru cennippa
(Senyum dikulum, manisnya)
Macenning na cani’ê
(Lebih manis dari madu)
Ri soê'-soê'na limanna
(Lambaian tangannya)
Malemma na mamalu
(Lemah dan gemulai)

Dara matasia to macolê
(Gadis jelita manusia lembut dan ramah)
Dara matasia to makanja
(Gadis jelita manusia baik)
Dara matasia to malebbi
(Gadis jelita manusia terhormat)
To malebbi ampêna
(Terhormat tingkah-lakunya)

Dari lagu ini, terlihat bahwa karakteristik gadis yang selalu ri poji-poji (dipuja-puji) menjadi tangke’ pulana (pingitan azali) seorang lelaki bugis adalah mereka yang masuk kategori dara matasia (gadis jelita).

Dara matasia inilah yang patut disebut to sukku’ (manusia sempurna). Kesempurnaan itu ditunjukkan dengan kebaikannya yang bersifat fisik, maupun yang bersifat akhlaki.

Secara fisik, dia memiliki cawa cabbêru (senyum dikulum) yang macenning na cani’ê (lebih manis dari madu). Ketika berjalan, soê limanna (lambaian tangannya) begitu malemma na mamalu (lemah gemulai).

Pada saat yang sama, ampêna (tingkah laku dan akhlaknya) sebagai dara matasia ditunjukkan dengan frasa macolê (penuh kelembutan dan keramahan), makanja’ (penuh kebaikan), serta malebbi (terjaga kehormatannya).

Namun pada hari ini, menemukan seorang dara matasia bukanlah pekerjaan mudah, gadis jelita yang bisa ri tangke’ pulana menjadi impain yang sepertinya sudah demikian susah untuk ditemukan.

Fenomena menunjukkan bahwa sebagian ana’ dara hari ini, bukannya malebbi, malah menjadi callêda’ (genit). Bukannya macolê na makanja’ mereka malah terjerumus menjadi generasi yang makurang siri’ (tak menjaga maruah).

Namun selain karakter to sukku’ ini, bagi lelaki bugis, sebagaimana disebutkan dalam dalam sebuah galigo, bahwa ada dua hal pokok yang harus dikuasai secara teknis bagi perempuan yang layak dijadikan istri:

Macca dduppai tau folê
(Pandai menyambut orang datang)
Macca panguju tau llao
(Cakap menyiapkan mereka yang akan berangkat)

Macca dduppai tau folê, bermakna bahwa seorang perempuan paham betul membahagiakan suami yang pulang ke rumah, baik itu ketika si suami susah maupun senang.

Macca panguju tau llao, mengacu pada kecakapan untuk menghilangkan keraguan seorang suami yang akan berangkat kerja atau merantau mencari rezeki. Keraguan dimaksud terutama dalam hal kesetiaan si istri ketika ditinggal pergi.

Sebuah galigo menyebutkan ungkapan yang patut diucapkan seorang istri ketika suaminya akan berangkat. Ini semacam pernyataan kesetiaan dan jaminan akan kemampuan menjaga maruah diri (najagai siri’na) dari seorang perempuan bugis.

Laleng tennungnga’ mulao
(Dalam balutan kain tenun diriku, ketika engkau berangkat)
Iyyapa natabbukka’
(Ini hanya akan terbuka)
Idi'pa taddêwe
(Bila dirimu yang membukanya ketika kau kembali)

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama