“Rahasia sukses di era baru ini terletak pada ketekunan untuk membuktikan bahwa diri Anda salah, menantang seluruh cara berfikir Anda, menemukan hal-hal cacat dalam model mental Anda, dan keseriusan untuk selalu bereksperimen dengan seluruh alternatif yang mungkin”
--Andy Grove
[08.06.2011] Seorang kawan, belum setahun diterima menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), dia mendapatkan amanah untuk menjadi salah satu panitia pelaksana Bimbingan Teknis yang diadakan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) tempatnya bekerja. Dalam masa persiapan sampai pelaksanaan kegiatan, tidak ada masalah yang berarti, semua berjalan sesuai dengan rencana.
Masalah kemudian muncul ketika memasuki tahap penyusunan laporan pelaksanaan kegiatan oleh panitia. Kawan tersebut mendapat tugas untuk menyusun laporan, maka dia membuatnya berdasarkan aturan pembuatan laporan terbaru yang dia baca. Ketika laporan tersebut tinggal di jilid, seorang panitia yang tergolong pegawai senior protes atas tampilan cover laporan buatan kawan tadi.
“Wah, laporan ini salah, tidak boleh begini.” Tegur si pegawai senior.
“Apanya yang salah pak? saya sudah periksa aturan pembuatan laporan kegiatan, tidak ada masalah kok,” jawab si kawan.
“Cover-nya jangan begini, ini salah. coba lihat laporan saya tahun lalu, ikuti saja.”
“Memang tidak boleh begini pak?” Tanya kawan saya lagi.
“Iya, saya ini sudah bertahun-tahun jadi panitia, laporannya tidak boleh begini.”
Sampai disitu, kawan tadi tidak mau memperpanjang perdebatan, dia dengarkan saran si pegawai senior, tapi diam-diam dia membuat laporan sesuai aturan yang dia pahami. Sebab kenyataannya, model laporan pegawai senior tersebut justru yang menyalahi aturan. Tapi dia merasa tak ada gunanya berbantah-bantahan seperti itu, toh ujung-ujungnya tidak produktif, lagipula kawan tadi masih Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) saat itu.
Mungkin pengalaman ini bukan cuma kawan saya yang mengalaminya, memang terkadang seseorang yang merasa diri lebih tahu menjadi tak mau tahu. Apalagi dalam dunia birokrasi kita saat ini masih kental aroma feodalismenya, pagawai senior diasumsikan lebih faham dibanding mereka yang junior. Terkadang, pemikiran-pemikiran cemerlang dari pagawai baru harus layu sebelum berkembang karena arogansi pegawai lama yang merasa serba tahu.
Saya jadi teringat dengan cerita Gede Prama tentang Manusia-manusia Pengikut Kerbau dalam bukunya Inovasi atau Mati. Syahdan, suatu waktu di Prancis sana ada sekelompok orang yang melakukan penelitian untuk mengetahui alasan penentuan rute jalan antara Kota Paris dan Kota Lion. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jalan tersebut dulunya dibuat tidak berdasarkan pertimbangan tekhnis tentang bagaimana sebaiknya sebuah jalanan dibuat, melainkan hanya mengikuti jalan lintasan kerbau (following the cow path).
Pertimbangan pembangunan rute jalan tersebut sangat pragmatis, hanya karena jalanan tersebut sudah sering dilalui kerbau sehingga tanahnya mengeras dan kondusif untuk dibuat jalan di atasnya. Jadi tidak dibutuhkan lagi upaya pengerasan, tinggal mengikuti saja rute yang selalu dilalui rombongan kerbau. Kelompok peneliti usil tersebut kemudian berkesimpulan bahwa ada ribuan orang yang demikian bodohnya mengikuti jalur kerbau setiap harinya.
Saya juga tidak pernah mencoba mencari tahu, apakah cerita ini fakta ataukah sekedar fiksi, tapi yang pasti, dari cerita ini dapat diambil sebuah spirit bahwa tidak sedikit diantara kita yang menjadi Pegawai Negeri Sipil, bekerja dengan prinsip mengikuti jalur kerbau. Apa yang telah dilakukan oleh para pegawai senior dianggap sebagai pekerjaan yang baik, tanpa memperhatikan adanya perubahan aturan, serta perubahan situasi yang terjadi.
Alasan pegawai tersebut untuk memilih menjadi pengikut setia para kerbau daripada membangun rute jalan sendiri sama dengan pertimbangan para pembuat jalan di Prancis dalam cerita Gede Prama di atas, sangat pragmatis. “Ngapain pusing melakukan inovasi, toh tidak mempengaruhi pendapatan”, atau “bekerja saja yang baik, yang penting aman”, ungkapan seperti ini adalah ungkapan lumrah di dunia birokrasi.
Dengan kondisi seperti ini, sangat sulit berharap adanya perbaikan dalam dunia birokrasi. Pegawai lebih cenderung memilih menikmati zona nyaman (comfort zone) daripada membangun suasana kerja yang kompetitif dan inovatif. Situasi ini membuat produktivitas Pegawai Negeri Sipil selalu mendapatkan penilaian miring dari masyarakat, karena hanya mampu bertengger di zona nol (zero zone), miskin inovasi dan tanpa kreasi.
Orang-orang seperti ini juga disindir secara keras di dalam Al Quran surat Al-An’am ayat 171, “Mereka memiliki hati, tapi tidak dipergunakan untuk memahami. Mereka memiliki mata, tapi tidak dipergunakan untuk melihat. Mereka memiliki telinga, tetapi tidak dipergunakan untuk mendengar. Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih hina lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.”
Sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil, tentu saya tidak rela hanya menjadi sekedar pengikut gerombolan kerbau atau bahkan lebih hina dari itu. Dibutuhkan keberanian untuk berinovasi dan berubah agar tak mati. Gede Prama berujar bahwa kalau dalam waktu lama tidak ada perubahan, alias berputar dari itu ke itu, inilah bentuk bunuh diri halus dan tidak manusiawi.
Sebuah pertanyaan yang tertera pada sampul majalah Time di akhir tahun 1980-an, “Sudah matikah Pemerintahan?” hanya bisa dijawab dengan tindakan nyata dan bukan dengan retorika kosong. Kalau kita semua sebagai Pegawai Negeri Sipil memilih sebagai pengikut setia para kerbau, maka kita telah menjawab “YA” pada pertanyaan tersebut. Namun bila kita memilih untuk berbuat secara proaktif bagi iklim kerja yang kompetitif dan inovatif, maka itu sama dengan jawaban tegas “TIDAK..!” dan saya memilih jawaban ini. Bagaimana dengan anda?
Tags:
Motivasi