[09.06.2011] Apa arti menjadi Indonesia? Apa makna patriotisme dan nasionalisme bagi anda sekarang? Jawaban atas pertanyaan ini tidak sesederhana dengan menyanyikan lagu “Dari Sabang sampai Marauke”. Indonesia bukan hanya serangkaian pulau-pulau yang berjajar dari sabang sampai Marauke. Indonesia sebagai sebuah nation state tentu memiliki makna yang jauh lebih substil dari semua itu. Tapi, sekali lagi apa arti menjadi Indonesia?
Disamping sebagai identitas kolektif atau komunitas imajiner, Indonesia juga adalah sebuah etos, semangat dan harapan. Indonesia adalah panggilan untuk berbuat, indonesia adalah sebuah sikap, sebuah i’tikad untuk menjadi lebih baik. Tapi, hari ini makna Indonesia menjadi makin kabur dan melabur. Kesadaran akan sebuah Indonesia yang bermartabat makin hilang dari kesadaran anak bangsanya, terutama para pemuda. Dalam konteks inilah, membincang kembali keindonesiaan kita menjadi penting.
Beberapa waktu yang lalu, tepatnya 1 juni 2004 kita memperingati hari lahirnya Pancasila yang ke 61. Memang Pancasila disahkan sebagai dasar negara baru pada tanggal 18 agustus 1945, namun rumusan dan perbincangan tentangnya telah dilakukan secara serius oleh para founding father bangsa ini sebelum itu. Bahkan Soekarno telah memperkenalkannya dalam sebuah rumusan yang konkrit sebagai falsafah hidup, jati diri dan identitas bangsa sejak tangal 1 juni 1945.
Dalam upaya untuk menemukan kembali Indonesia, menghadikan ingatan tentang pancasila adalah sebuah pilihan yang tepat. Memang tak dapat dipungkiri bahwa pancasila sebagai konstruksi pemikiran meupakan produk suatu fase sejarah dalam perjalanan bangsa ini, namun kehadirannya sebagailandscape bagi kita untuk membangun Indonesia kedepan tetap sangat dibutuhkan.
Di era Soekarno, pancasila pernah mengalami pemerasan menjadi sebagai kesatuan yang utuh antara Nasinalisme, Agama dan Komunis atau Nasakom. Ketika orde baru di era Soeharto berjaya, pancasila disosialisasikan melalui paket Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila atau P4. Bahkan di era ini Pancasila sempat dipaksakan untuk menjadi azas bagi seluruh organisasi sosial politik di Indonesia melalui UU No. 8 tahun 1985.
Ketika reformasi bergulir dan pemaksaan azas tunggal dicabut, beriringan dengan makin melusnya kebebasan masyarakat, Pancasila menjadi sesuatu yang seakan tidak bermakna apa-apa. Pancasila menjadi sekedar slogan yang hampa makna. Efek langsung dari kondisi ini adalah, bangsa Indonesia menjadi seperti kehiangan identitas dan jati diri. Identitas keIndonesian menjadi sekedar setumpuk identitas primordial baik yang berbasis tradisi lokal maupun agama. Relevansi nation state Indonesia sebagai produk kehidupan modern menjadi dipertanyakan.
Konstruksi Identitas Kolektif
Dalam dunia yang semakin mengglobal hari ini, problem ketidakjelasan indentitas keindonesiaan makin menemukan muaranya ketika masyarakat menemukan realitas bahwa konteks kehidupan sekarang dengan konteks kehidupan dimana pancasila sebagai patron identitas nasional dilahirkan berbeda. Dibutuhkan sebuah upaya rekonstruksi ulang identitas kebangsaan kita.
Namun sebelum masuk ke sana, satu hal yang perlu dilakukan adalah mencoba untuk melakukan penjernihan problem atas realitas kehidupan bangsa Indonesia hari ini. Secara sederhana dapat dilihat bahwa konstruksi identitas dipengaruhi oleh tiga kekuatan besar yaitu, teknologi, intitusi-institusi dan nilai-nilai. Perubahan dan pergeseran pada ketiga kekuatan tersebut juga akan berefek pada perubahan dan pergeseran identitas sosial sebuah masyarakat.
Jonas Ridderstale dan Kjell Nordstrom pernah mengatakan bahwa teknologi sedang berubah dan akan terus berubah dengan lebih cepat dari pemerintah manapun yang dapat mengeluarkan aturan-aturan untuk mengendalikan teknologi tersebut. Bagi Ridderstale dan Nordstrom, teknologi sudah lebih dominan dari pada kekuatan pemerintahan manapun. Ini berarti bahwa teknologi lebih kuat menjadi stimulus bagi pergeseran dan perubahan identitas daripada kebijakan dan peraturan-peraturan negara.
Dalam realitas kita menemukan beberapa dampak secara langsung dari kekuatan teknologi, terutama teknologi informasi dalam kehidupan sosial. William Gibson tanpa ragu mengatakan bahwa teknologi informasi telah menjadi suatu “halusinasi konseptual” –bahkan telah merupakan benua ketujuh. Bila demikian halnya, maka identitas nasional akan menjadi sesuatu yang tidak lagi penting diperdebatkan.
Belum lagi transparansi total yang diciptakan oleh teknologi informasi. Setiap orang bisa mengakses semua informasi apapun, sehingga ini juga berpengaruh pada identitas seorang individu. Seseorang bisa menjadi siapapun atau apapun, setiap orang adalah anonimous, disamping itu, bisa saja seorang pasien menjadi lebih dokter dari dokternya, seorang anak lebih orang tua dari orang tuanya dan sebagainya.
Pergeseran pada kekuatan pertama (teknologi) mempengaruhi pergeseran pada institusi-institusi sebagai kekuatan kedua. Institusi yang kita pahami sebagai struktur-struktur sosial yang kita ciptakan untuk menjaga stabilitas dan prediktibilitas tidak lagi mampu menjalankan fungsinya dengan baik. Sebagai contoh nation state, institusi ini tidak lagi relevan sebagai suatu unit analisis ketika diperhadapkan dengan globalisasi dan internasionalisasi.
Contoh lain adalah partai politik yang terstruktur secara nasional, mereka tidak bisa berfungsi dalam menghadapi kekuatan pasar modal internasional, perusahaan multinasional serta para spesialis super global. Dalam kenyataannya, kekuatan green peace dan Amnesti internasional lebih mempu berhadapan dengan kekuatan global itu dari pada nation state dan partai politik nasional.
Perubahan pada teknologi dan institusi otomatis mempengaruhi pergeseran pada tataran nilai. Ketika individu telah menjadi penduduk dari global village, maka identitas lokal dan nasional menjadi tidak signifikan. Apalagi diperparah dengan tidak berfungsinya lagi nation state dan partai politik nasional. Pada tataran ini identitas keindonesiaan (sebagai identitas nation state) dan semangat patriotisme serta nasionalisme telah mati.
Ketika teknologi informasi membuat semua orang dapat mengetahui apapun yang ingin mereka ketahui, dunia menjadi ruang yang diisi oleh orang-orang kreatif dalam dunia yang berbasis ilmu pengetahuan. Ketidakpercayaan pada institusi telah membuat naionalisme dan patriotisme buta tidak lagi penting. Hancurnya nilai-nilai membuat ketidakpastian akut pada masyarakat.
Yang terjadi adalah, pertama, masyarakat Indonesia mengalami polarisasi atau kesenjangan yang nyata antara yang terpelajar dan yang tidak, gap antara generasi after computer (AC) dengan generasi before computer (BC). Kedua, tribalisme menguat yang ditandai dengan menjalarnya solidaritas yang berbasis garis darah (blood-based) maupun attitude-based dan competence-based.Ketiga, individualisme makin tinggi.
Indonesia dalam Pancasila
Disamping berbagai efek tersebut diatas, pergeseran dan perubahan teknologi, institusi dan nilai telah membuat berbagai kemungkinan lain, yaitu kemungkinan bagi orang-orang kreatif untuk merestrukrisasi, menyortir kembali dan mengkarifikasi ulang secara mendasar setiap aspek darilanscape sosio-ekonomis dan sosi-kultural serta geopolitik dan geostrategis kita.
Ini berarti bahwa ikhtiar membangun kembali identitas Indonesia serta patriotisme dan nasionalisme adalah sesuatu yang dimungkinkan. Namun patut dicatat bahwa ini tidak berarti kembali melakukan upaya penafsiran dan penerapan yang ketat –bahkan cenderung otoiter-- atas ideologi negara, yakni Pancasila, melainkan dibuthkan sebuah upaya penemuan kembali (reinventing) nasionalisme keindonesiaan kita.
Menemukan kembali Indonesia difahami sebagai upaya untuk memaknai ulang serta menghayati pemaknaan baru tersebut. Ini dibedakan dengan menemui yang difahami sebagai sekedar memamah makna terberi tentang Indonesia. Upaya penemuan diri ini dilakukan dengan mencoba membincang ulang falsafah hidup, jati diri dan identitas bangsa Indonesia, membincang ulang pancasila.
Peringatan ke 61 hari lahirnya Pancasila 1 juni kemarin selayaknya menjadi momen yang tepat untuk mengembalikan pancasila pada hakekatnya sebagai ideologi terbuka. Ideologi yang senantiasa di konstruksi ulang oleh para penyokong dan pendukungnya. Untuk itu sungguh tepat anjuranAzyumardi Azra untuk menjadikan Pancasila sebagai wacana publik (public discourse).
Bila pancasila benar-benar dijadian sebagai wacana publik (public discourse), maka pancasila benar-benar bisa menjadi ruang bagi rakyat Indonesia mengkonstruksi diri untuk selanjutnya menemukan jatidiri sebagai orang Indonesia. Dan bukannya mengkonsumsi identitas dan jatidiri yang dipaksakan oleh penguasa sebagamana pada masa Soekarno maupun Soeharto.
Bangunan keindonesiaan sebagai hasil refleksi yang meresap dalam sanubari rakyat Indonesia tentu akan berimplikasi pada terumuskannya nilai-nilai sosial baru yang pada gilirannya merepresentasikan sebuah semangat nasionalisme dan patriotisme yang dihayati dan diperjuangkan. Selamat datang Pancasila Baru!
Tags:
Sosial Politik