Sebagai
manusia yang lahir dari rahim Bugis, konsep tau
bukan hal yang asing. Namun saat Dekan Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas
Cokroaminoto Makassar, Dr. Mohammad Sabri Ar. M.A. menjelaskan
konsep tau dan rupa tau dalam sebuah kesempatan, aku merasa menemukan sesuatu yang
menyegarkan.
Tau yang secara sederhana bermakna manusia, sesungguhnya merepresentasikan hakikat manusia, Sabri menyebutnya sebagai diri
yang asli, yang azali, yang fitrah, yang membuat sesorang layak disebut manusia.
Atau dalam terminologi Islam, tau ini mengacu pada konsep hafiz atau ruh.
Tentang
hafiz, mungkin kita seringkali mendengar kata ini disebut, terutama di bulan
ramadan. Hafiz digunakan untuk menggelari mereka yang menghafal al Quran. Hafiz
sejatinya bermakna penjaga, maka para penghafal al Quran itu dinamai hafiz
karena mereka menjaga al Quran dengan baik dalam ingatannya.
Dalam al
Quran, sebuah ayat menyebut soal hafiz, bunyinya begini, in kullu nafsin lammaa alaiihaa haafiz (Q.S. 86 : 4). Ayat ini
diterjemahkan, pada setiap diri ada hafiz-nya. Menurut Sabri, bila menggunakan bahasa
yang lahir dari rahim kultural Bugis, maka bisa dikatakan begini, di dalam diri
setiap rupa tau itu, ada tau.
Dalam khasanah
tradisional, ada sepenggal pesan arkais yang menjadi pegangan manusia Bugis
dalam mengkonstruksi konsepsi kediriannya, ke-tau-annya. Paseng itu
berbunyi, Naiyya riasengngé tau, séddimi.
Rupa taué mitu maéga. Maknanya, Sesungguhnya, tau itu tunggal, hanya rupa
tau yang majemuk.
Apa hakikat
pernyataan bahwa tau itu sesungguhnya tunggal adanya? Dalam salah satu
ceramahnya di kanal youtube Voice Alauddin, Sabri membuka kemungkinan ruang
interpretasi dengan mendaku bahwa dalam agama dan tradisi lokal nusantara yang jumlahnya
ratusan, bisa ditemukan sesuatu yang ilahi sifatnya.
Jejak ilahi
dalam agama dan tradisi lokal nusantara –termasuk
tradisi Bugis– pun sejalan dengan pendakuan Sabri bahwa sesungguhnya tau adalah konsep yang ilahiah. Bila tau itu tunggal dan ilahiah, maka tentu
ianya terpaut dengan sesuatu yang tunggal dan ilahiah pula, tak mungkin
beranjak dari yang jamak dan profan.
Sabri
lalu mengingatkan pada ayat 29 surah al Hijr (15) dari al Quran, Fa idzaa sawwaituhuu wa nafakhtu fiihi min ruuhi
faqo’u lahuu saajidin. Maknanya, Maka apabila Aku telah menyempurnakan
(kejadian)nya, dan Aku telah meniupkan ruhKu kepadanya. Ruh itulah tau, jejak ilahi pada setiap diri,
setiap rupa tau.
Mungkin
bila disepadankan dengan bahasan hermeneutika fenomenologi ala Heidegger, kita
bisa menyelaraskan bahwa tau mengacu
kepada Ada otentik, sementara rupa tau
adalah adaan-adaan yang melekat dan dikendarai oleh Ada otentik. Rupa tau adalah wadah bagi tau untuk menjalani alam dunia.
Sayangnya,
seperti simpulan Heidegger, manusia modern mengalami derita eksistensial
dengan hanya mengenal adaan, lantas melupakan Ada otentik. Sabri juga
menyimpulkan bahwa persoalan mendasar yang dihadapi manusia hari ini adalah problem
otentisitas atau problem keaslian diri.
Dalam penghampiran
ke-Bugis-an, bisa dikatakan bahwa manusia Bugis yang gandrung menilai sesamanya
dengan ukuran-ukuran material dan perangkat-perangkat wadak semata, sesungguhnya
terjebak pada rupa tau, mereka
orang-orang yang melupakan kodratnya yang ilahi, melalaikan fitrah, hafiz, atau
tau-nya.
“Apa
jadinya ketika setiap pribadi gagal menemukan dirinya yang asli?” Tanya Sabri
di suatu kesempatan. Apa jadinya bila manusia Bugis melupakan tau-nya? Mereka tak
akan mampu mewujudkan sipakatau,
mereka hanya sipakarupatau. Siapakatau bagi Sabri, saat kita saling
menghormati karena ada jejak ilahi dalam diri kita.
Untuk
menemukan kembali diri kita yang otentik, untuk mengintimi yang ilahi atau merengkuh
tau, kita harus bisa belajar
mengabaikan dan menyingkirkan yang rupa
tau. Sebelum menempa, pandai emas akan membakar biji emasnya dalam panas
tertentu untuk memisahkan emas dengan anasir-anasir lain yang mencermari.
Ramadan
hadir membantu kita menemukan diri yang otentik dengan membakar diri kita yang rupa tau. Ramadan sejatinya memang
bermakna pembakaran, kata yang merupakan bentuk masdar (infinitive) dari kata ramidha atau yarmadhu yang berarti membakar, menyengat karena terik, atau sangat
panas.
Seseorang
yang benar-benar menjalankan ibadah ramadan dengan berdasarkan imaanan wa ihtisaaban, tentu tak akan
lagi terjebak pada hisan dunia yang melenakan –belo-belona lino, mereka yang menemukan diri otentiknya, mereka
yang kembali kepada fitrah.
Mereka inilah
yang di akhir ramadan, berhak untuk ber-aidil fitri –merayakan kembalinya ke fitrah, dan mereka inilah yang mampu
mengimplementasikan ajaran siapakatau. Hanya mereka pulalah yang mampu bersilaturrahim
berlandaskan prinsip silessureng,
tanpa memandang harta, pangkat, jabatan, dan kedudukan.
Mengapa prinsip silessureng? Sebab dalam prinsip ini kita menyadari bahwa kita lessu dari pintu yang sama sebagai bayi dalam keadaan polos, saat kita masih tau yang minim embel-embel rupa tau.
Ilustrasi pinjam dari blog http://subhan-makkuaseng.blogspot.com/2013/01/dari-rupa-tau-menjadi-tau-bugis-selalu.html
15 Ramadan 1439 H / 30 Mei 2018 H
Ilustrasi pinjam dari blog http://subhan-makkuaseng.blogspot.com/2013/01/dari-rupa-tau-menjadi-tau-bugis-selalu.html
Tags:
Budaya