15. Ramadan dan Menemukan Kembali ‘Tau’

Sebagai manusia yang lahir dari rahim Bugis, konsep tau bukan hal yang asing. Namun saat Dekan Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Cokroaminoto Makassar, Dr. Mohammad Sabri Ar. M.A. menjelaskan konsep tau dan rupa tau dalam sebuah kesempatan, aku merasa menemukan sesuatu yang menyegarkan.

Tau yang secara sederhana bermakna manusia, sesungguhnya merepresentasikan hakikat manusia, Sabri menyebutnya sebagai diri yang asli, yang azali, yang fitrah, yang membuat sesorang layak disebut manusia. Atau dalam terminologi Islam, tau ini mengacu pada konsep hafiz atau ruh.

Tentang hafiz, mungkin kita seringkali mendengar kata ini disebut, terutama di bulan ramadan. Hafiz digunakan untuk menggelari mereka yang menghafal al Quran. Hafiz sejatinya bermakna penjaga, maka para penghafal al Quran itu dinamai hafiz karena mereka menjaga al Quran dengan baik dalam ingatannya.

Dalam al Quran, sebuah ayat menyebut soal hafiz, bunyinya begini, in kullu nafsin lammaa alaiihaa haafiz (Q.S. 86 : 4). Ayat ini diterjemahkan, pada setiap diri ada hafiz-nya. Menurut Sabri, bila menggunakan bahasa yang lahir dari rahim kultural Bugis, maka bisa dikatakan begini, di dalam diri setiap rupa tau itu, ada tau.

Dalam khasanah tradisional, ada sepenggal pesan arkais yang menjadi pegangan manusia Bugis dalam mengkonstruksi konsepsi kediriannya, ke-tau-annya. Paseng itu berbunyi, Naiyya riasengngé tau, séddimi. Rupa taué mitu maéga. Maknanya, Sesungguhnya, tau itu tunggal, hanya rupa tau yang majemuk.

Apa hakikat pernyataan bahwa tau itu sesungguhnya tunggal adanya? Dalam salah satu ceramahnya di kanal youtube Voice Alauddin, Sabri membuka kemungkinan ruang interpretasi dengan mendaku bahwa dalam agama dan tradisi lokal nusantara yang jumlahnya ratusan, bisa ditemukan sesuatu yang ilahi sifatnya.

Jejak ilahi dalam agama dan tradisi lokal nusantara –termasuk tradisi Bugis– pun sejalan dengan pendakuan Sabri bahwa sesungguhnya tau adalah konsep yang ilahiah. Bila tau itu tunggal dan ilahiah, maka tentu ianya terpaut dengan sesuatu yang tunggal dan ilahiah pula, tak mungkin beranjak dari yang jamak dan profan.

Sabri lalu mengingatkan pada ayat 29 surah al Hijr (15) dari al Quran, Fa idzaa sawwaituhuu wa nafakhtu fiihi min ruuhi faqo’u lahuu saajidin. Maknanya, Maka apabila Aku telah menyempurnakan (kejadian)nya, dan Aku telah meniupkan ruhKu kepadanya. Ruh itulah tau, jejak ilahi pada setiap diri, setiap rupa tau.

Mungkin bila disepadankan dengan bahasan hermeneutika fenomenologi ala Heidegger, kita bisa menyelaraskan bahwa tau mengacu kepada Ada otentik, sementara rupa tau adalah adaan-adaan yang melekat dan dikendarai oleh Ada otentik. Rupa tau adalah wadah bagi tau untuk menjalani alam dunia.

Sayangnya, seperti simpulan Heidegger, manusia modern mengalami derita eksistensial dengan hanya mengenal adaan, lantas melupakan Ada otentik. Sabri juga menyimpulkan bahwa persoalan mendasar yang dihadapi manusia hari ini adalah problem otentisitas atau problem keaslian diri.

Dalam penghampiran ke-Bugis-an, bisa dikatakan bahwa manusia Bugis yang gandrung menilai sesamanya dengan ukuran-ukuran material dan perangkat-perangkat wadak semata, sesungguhnya terjebak pada rupa tau, mereka orang-orang yang melupakan kodratnya yang ilahi, melalaikan fitrah, hafiz, atau tau-nya.

“Apa jadinya ketika setiap pribadi gagal menemukan dirinya yang asli?” Tanya Sabri di suatu kesempatan. Apa jadinya bila manusia Bugis melupakan tau-nya? Mereka tak akan mampu mewujudkan sipakatau, mereka hanya sipakarupatau. Siapakatau bagi Sabri, saat kita saling menghormati karena ada jejak ilahi dalam diri kita.

Untuk menemukan kembali diri kita yang otentik, untuk mengintimi yang ilahi atau merengkuh tau, kita harus bisa belajar mengabaikan dan menyingkirkan yang rupa tau. Sebelum menempa, pandai emas akan membakar biji emasnya dalam panas tertentu untuk memisahkan emas dengan anasir-anasir lain yang mencermari.

Ramadan hadir membantu kita menemukan diri yang otentik dengan membakar diri kita yang rupa tau. Ramadan sejatinya memang bermakna pembakaran, kata yang merupakan bentuk masdar (infinitive) dari kata ramidha atau yarmadhu yang berarti membakar, menyengat karena terik, atau sangat panas.

Seseorang yang benar-benar menjalankan ibadah ramadan dengan berdasarkan imaanan wa ihtisaaban, tentu tak akan lagi terjebak pada hisan dunia yang melenakan –belo-belona lino, mereka yang menemukan diri otentiknya, mereka yang kembali kepada fitrah.

Mereka inilah yang di akhir ramadan, berhak untuk ber-aidil fitri –merayakan kembalinya ke fitrah, dan mereka inilah yang mampu mengimplementasikan ajaran siapakatau. Hanya mereka pulalah yang mampu bersilaturrahim berlandaskan prinsip silessureng, tanpa memandang harta, pangkat, jabatan, dan kedudukan.

Mengapa prinsip silessureng? Sebab dalam prinsip ini kita menyadari bahwa kita lessu dari pintu yang sama sebagai bayi dalam keadaan polos, saat kita masih tau yang minim embel-embel rupa tau.

15 Ramadan 1439 H / 30 Mei 2018 H

Ilustrasi pinjam dari blog http://subhan-makkuaseng.blogspot.com/2013/01/dari-rupa-tau-menjadi-tau-bugis-selalu.html

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama