Firdaus


Usai salam, aku hanya berzikir minimalis. Mie bakso yang sementara kunikmati di Bakso Alam Indah, masih tersisa setengah, terpenggal azan magrib. Aku melangkah dari sudut kanan depan, menuju sudut kiri belakang, tempat pintu masjid yang kulewati masuk. Sekilas, mataku menyapu punggung jemaat yang masih khusyuk bermunajat. Suara anak yang berlarian, menjadi musik latar bagi tasbih, tahmid, dan takbir yang digumamkan.


Ketika tangan kiriku mulai menarik daun pintu, kaki kiriku kuangkat ke depan, tapi pada saat yang sama, kulihat sosok yang terasa karib, memunggungiku, duduk bersila di sudut kiri bagian depan ruang salat masjid Asy Syifa RSI Faisal. Kaki kiriku batal keluar dan menjejak teras masjid, menggantung di udara, seturut dengan kenanganku yang bergayut di reranting kalbu. Aku teringat seorang kawan dari masa silam.


Aku balik kanan, kembali melangkah masuk ke masjid, lalu duduk di bagian tengah. Mataku, tak pernah lepas dari punggung itu. Punggung yang tegak, di atas duduk bersila yang rapat. Punggung yang menyangga kepala nan ditekuk dalam, dengan rambut panjang tergerai menutupi punggung, dan juga muka. Aku yakin, pemilik punggung itu, larut dalam zikir yang syahdu.


Ini suasana yang ganjil, aku merasa begitu akrab dengan pemilik punggung itu. Tapi pada saat yang sama, aku mencegah diriku melangkah mendekatinya, meski untuk sekadar memastikan apa betul pemilik punggung itu adalah orang yang kumaksud. Aku takut, jangan sampai aku dibelasah kecewa bila kenyataannya jauh dari apa yang kubayangkan. Biarlah aku menikmati kenangan ini, sedikit lebih lama.


Melihat punggung itu, rambut panjang tergerai itu, duduk bersila itu, ingatanku melintas jauh sekira dua puluhan tahun silam, ke masjid kampus Unhas Tamalanrea. Kala itu, saban sore, bila ada yang ingin kita bincangkan, tak perlu janji, tinggal salat asar di masjid itu, dan kita akan berjumpa. Ah, bukan. Aku akan menemuimu di situ, di sudut kiri depan ruang salat, duduk bersila. Itu rutinitasmu, melipat waktu dengan untaian zikir. 


Tak ada kalimat panjang bila kita bersua. Kau menanggapi ucapku sekadarnya. Tapi justru itu yang membuatku menyukaimu, kau tak banyak cakap. Bila kita ada aktivitas bersama sebagai panitia pada suatu kegiatan, lebih banyak pekerjaan yang tuntas dari pada cerita yang kau ulas. Sifatmu yang tak letih mengabdi dan sikapmu yang tak jerih berhidmat, menjadi buhul kukuh yang kian mengeratkan pertautan hati kita.


Kau lelaki yang tangguh, meski tak pernah cerita, aku tahu berapa berat beban yang mesti kau pikul di pundakmu. Sesekali menghilang dari Makassar, seakan di tela bumi. Aku tahu, kau kembali ke kampung halamanmu di Selayar. Kembali untuk menjadi buruh petik di kebun kelapa, tukang kupas dan belah kelapa di pabrik pengolahan kopra. Atau sesekali kau ikut menarik jaring di tengah samudera pada malam yang menua.


Ya, semua itu kau lakukan untuk membuktikan pada diri sendiri bahwa kau bisa tetap kuliah dengan lancar, meski takdir seakan membelakangimu. Mungkin terkesan klise, tapi demikianlah adanya, kau berusaha mengubah nasib tanpa menggungatnya. Dan kau tak ingin dunia menuduhmu lelaki cengeng, maka tak pernah kau keluhkan segala ringtang yang kau temui. Kau hanya siap berdedah diri dalam munajat-munajatmu.


Tapi seperti yang pernah aku curi dengar di tengah malam saat kita tidur bersama di sebuah lokasi acara, kau bangkit dan menyucikan diri lalu tenggelam dalam ruku dan sujud. Gumammu lirih, kau tak berkesah, kau hanya minta kekuatan, perlindungan, dan petunjuk untuk mampu mengatasi segenap halang. Mungkin ini yang membuat punggungmu begitu tegap, seperti yang selalu kulihat bertahun-tahun lampau.


Setelah sekian lama, baru di awal malam ini, aku kembali menyaksikan punggung yang demikian tegap, punggung yang seakan bisa menyangga langit dan memacak daratan. Punggung yang menolak takluk, punggung yang selalu percaya bahwa tak ada seberat apapun beban yang tak sanggup dipikulnya. Punggung yang hanya mengizinkan kepala yang disangganya, tertunduk takzim saat melantunkan doa-doa.


Kusimpan ingatanku. Mie bakso yang tadi kutinggalkan di Bakso Alam Indah, tak lagi menarik. Kembali kutatap lekat sosok yang memunggungiku dan duduk bersila di sudut kiri bagian depan ruang salat masjid Asy Syifa RSI Faisal. Sudah berapa lama ia larut dalam muanajat dan aku berendam dalam genang kenangan? Lagi-lagi bimbang menghampiri, apakah kudekati untuk memastikan siapa gerangan dirinya, atau kubiarkan saja? Ah, kenapa ingatan ini selalu saja menyeruak dan memepas rindu?

 

Perlahan, sosok pemilik punggung itu berdiri, rambut gondrongnya tersibak, wajah tirusnya nampak. Aku terkesiap, ia bukan sosok yang kubayangkan dan lalu kurindukan. Ia seseorang dengan muka pias yang berbeda. Ia juga terkesiap, rupanya ada seseorang yang menatapnya dalam diam, aku. Aku ikut berdiri, menghampiri dan menyapanya. 

"Maaf, kamu mirip temanku." Kataku.

"Seberapa mirip?" Tanyanya.

"Sembilan puluh persen aku kira." Jawabku datar.

"Apa semirip itu?" Ia sangsi.

"Kalau dari belakang."

"Kalau dari depan?"

"Aku tak yakin."

"Ooo..." Ia melangkah menjauh.


"Tunggu!" Ujarku 

"Kenapa?" Ia berhenti dan berbalik menatapku.

"Kau mau membantuku?"

"Tergantung, bantuan apa yang kau butuhkan."

"Bisakah kau kembali duduk seperti tadi? Sebentar saja, lima menit cukup. Eh, tiga menit."

"Duduk seperti apa?"

"Kau bersedia membantuku?"

"Aku tak mengatakan begitu."

"Duduk bersila, punggung tegak, tapi kepala ditekuk kedepan, dengan rambut tergerai menutupi wajah."


Dia lalu kembali ke posisinya semula.

"Seperti ini?"

"Punggungmu kurang tegak."

"Bagaimana?"

"Kepalamu kurang ditekuk."

"Begini?"


Aku tak mampu menjawab, mataku tak bisa lepas dari punggungnya, ingatanku terperangkap pada kenangan tentangnya. Aku menangis. Pada genangan air mata di pelupuk, samar kulihat sepasang sayap berbulu putih tumbuh dari tulang belikatnya, menembus kaos oblongnya. Perlahan badannya mengapung, kian tinggi, menembus langit-langit, mengangkasa, jauh meninggalkanku yang menggapai-gapai sambil merapalkan namanya.

"Firdaus..."

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama