“Menjadi dewasa
sama artinya dengan menjadi lebih baik, atau mungkin
lebih manis, lebih menyenangkan, lebih bermanfaat bagi orang lain”
--Ifa Avianty
[06.07.2011] Ketika kita mendengar istilah organisasi, maka yang
tergambar di batok kepala kita adalah sekumpulan orang yang bekerja bersama
untuk mewujudkan tujuan-tujuan mereka. Gambaran ini memberikan wajah tentang
sebuah komunitas yang penuh keseriusan, bahkan seringkali gambaran ini menjadi
berlebihan, karena keseriusan kadang diidentikkan dengan kekakuan dan tidak
adanya humor. Hal ini berimplikasi kepada animo seseorang untuk terlibat dalam
sebuah organisasi. Apakah memang berorganisasi melulu menuntut keseriusan yang
tanpa humor?
Terlebih ketika organisasi yang dimaksud adalah
birokrasi, terbayang dengan sekumpulan orang yang memakai seragam dan bekerja
ibarat robot, tanpa daya kritis, tanpa inovasi dan tanpa daya kreatif.
Terbayang sekumpulan orang yang bekerja hanya mengikuti perintah atasan,
mematuhi berbagai aturan yang sangat mengekang, tak ada ruang untuk sekedar
menjadi lebih manusiawi.
Apakah kondisi birokrasi memang harus kaku dan berisi
sekumpulan orang dengan pemikiran yang sudah membeku dan membatu? Jawabannya
tentu saja tidak! Olehnya itu, dibutuhkan sebuah pemikiran yang visioner untuk
membangun wajah birokrasi yang ramah, manusiawi, tidak kaku, lebih efektif dan
efisien tanpa melupakan susbtansi visi dan misi yang diusungnya.
Gede Prama ketika berbicara tentang hubungan antara
humor dan organisasi, mengatakan bahwa kedewasaan pemimpin dan organisasinya,
bisa dilihat dari keberaniannya mentertawakan diri sendiri. Artinya bahwa,
kedewasaan seorang pemimpin diukur dari rasa humornya. Dalam birokrasi, ini
diwakili oleh seorang atasan yang tidak melulu tegang dan pasang wibawa yang
kebablasan. Begitupun dengan kedewasaan organisasinya, birokrasi yang dewasa
bukanlah birokrasi yang tanpa tawa dan canda.
Sebuah organisasi yang dewasa, setidaknya harus bisa
menjadi ruang bagi tiga aktivitas besar manusia. Pertama, a place of
production, sebuah organisasi adalah komunitas yang produktif, aktif dan
kreatif dalam melakukan aktivitas dalam rangka mencapai tujuannya. Kalau sebuah
organisasi gagal menjadi tempat bagi berbiaknya produktivitas, alamat
organisasi tersebut akan ditinggalkan.
Kedua, a place of thinking, sebuah organisasi adalah
komunitas yang bekerja dengan arahan visi kolektivitas berupa keberanian
mempekerjakan pekerja-pekerja intelektual. Organisasi menjadi ruang diseminasi
ide dan gagasan-gagasan cemerlang. Bahkan organisasi harus mampu memberi tempat
bagi orang-orang yang berani berbeda dan mempertanyakan kemapanan-kemapanan
tradisi yang selama ini berkembang demi pembaharuan dan penyempurnaan tanpa
henti dalam kognisi kolektif organisasi.
Ketiga, a place for fun, sebuah organisasi adalah
komunitas yang mampu memberi kesenangan dan keriangan sehingga tidak
membosankan dan menegangkan. Bahkan organisasi harus mampu memfasilitasi para
anggotanya dalam menyalurkan rasa humor dan lelucon-lelucon mereka. Gede
Prama bahkan mengusulkan agar organisasi mempunyai program-program
seperti child day, program yang secara khusus memilih satu hari dalam
tiap bulan untuk digunakan oleh anggota organisasi untuk menyalurkan sifat
kekanak-kanakannya.
Sebagaimana difahami bersama bahwa aparatur pemerintah
adalah mereka yang dipercaya dan diberi mandat oleh Negara dan rakyat untuk
mengelola pemerintahan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan
demikian, efektivitasnya harus diukur berdasarkan sejauhmana aparat birokrasi
berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat yang dilakukan birokrasi, terejawantah dalam bentuk
pelayanan publik. Pelayanan publik yang berhasil dengan baik adalah
pelayanan publik yang dijalankan berdasarkan prinsip kepastian waktu, akurasi,
keamanan, tanggung jawab, kemudahan akses, kedisiplinan, keramahan, dan lain
sebagainya.
Aparat pemerintah yang akan berhasil memberikan pelayanan
publik secara ideal, adalah mereka yang didukung oleh bangunan organisasi
birokrasi yang mapan dan dewasa. Birokrasi akan mapan dan dewasa bila sudah
memenuhi ketiga unsur organisasi yang dewasa dalam perspektif Gede Prama,
sebagai tempat berfikir, bekerja, dan bergembira sambil mentertawakan kebodohan
diri sendiri.
Beranikah anda mentertawakan kebodohan anda sendiri?
Kedewasaan tidak diukur dari sejauhmana kita bisa jaim[1],
melainkan sejauhmana kita berani mentertawai kebodohan sendiri. Itulah tanda kedewasaan
seorang organisatoris, kedewasaan seorang birokrat, kedewasaan seorang Pegawai
Negeri Sipil.
Mendewasakan birokrasi menjadi seperti ini memang bukan
hal yang mudah dan langsung jadi dengan ucapan mantra sim salabim abra kadavra,
tapi tentu tak ada salahnya untuk di coba. Sebab apabila birokrasi yang berisi
sekumpulan aparatur pemerintah bisa menjelma menjadi a place of production,
a place of thinking, dan a
place for fun maka pelayanan publik yang menjadi sumbu gerak birokrasi bisa
terlaksana secara maksimal.
Kedewasaan dalam berlembaga adalah hal yang urgen, karena
menjadi dewasa --menurut Ifa Avianty-- sama
artinya dengan menjadi lebih baik, atau mungkin lebih manis, lebih
menyenangkan, lebih bermanfaat bagi orang lain. Lebih penuh cinta, lebih
peduli, dan lebih siap dalam menghadapi apapun dan siapapun.
Kalau anda siap dewasa, maka mari kita mentertawakan
kebodohan sendiri yang selama ini selalu merasa lebih hebat, lebih pintar, dan
lebih jaim. Padahal nyatanya, karena
kita selalu merasa lebih, malah membuat kita menjadi lebih lucu. Maaf, saya
mengakhiri tulisan ini dengan tertawa terbahak, hahaha...
[1] jaim adalah singkatan dari jaga image
yang berarti pasang wwibawa secara berlebihan, bahkan kebablasan.
Tags:
Motivasi