[16.07.2011] Dalam mengarungi hidup ini, kita selalu diperhadapkan dengan berbagai macam pilihan. Pilihan-pilihan itu, sebenarnya tidak ada yang lepas dari masalah, namun yang diinginkan adalah, kita melakukan pilihan dengan meminimalkan masalah yang di timbulkan dari pilihan itu.
Agar kita mampu memilah pilihan mana yang paling minimal resikonya, maka dibutuhkan kemampuan untuk mendefenisikan masalah. Kemampuan ini hanya dimiliki oleh orang yang tidak gila atau orang yang sadar akan potensi dirinya.
Defenisi orang yang tidak gila disini tidak mengacu pada pengertian medis, namun ini diartikan sebagai simbolis, sebagaimana salah satu riwayat Rasulullah SAW berikut ini.
Pada suatu hari, rasulullah saw melewati sekelompok orang yang sedang berkumpul. Beliau bertanya, ”Karena apa kalian berkumpul disini?” Sahabat menyawab, ”Ya Rasullullah, ini ada orang gila sedang mengamuk, karena itulah kami berkumpul disini.” Beliau bersabda, ”Orang ini bukan gila., Ia sedang mendapat musibah. Tahukah kalian gila yang benar-benar gila al-majnun haqqal majnun?” Para sahabat menjawab, “Tidak, Ya Rasulullah.”
Beliau menjelaskan, ”Orang gila ialah orang yang berjalan dengan sombong, yang memandang orang dengan pandangan yang merendahkan. Yang membusungkan dada, berharap akan surga Tuhan sambil berbuat maksiat kepada-Nya, yang kejelekannya membuat orang tidak aman dan kebaikannya tidak pernah diharapkan. Itulah orang gila yang sebenarnya. Adapun orang ini, dia hanya sedang mendapat musibah saya.”
Dari riwayat diatas dapat dilihat bahwa orang gila itu adalah orang yang tidak sadar posisi, fungsi dan perannya, sehingga dia tidak tahu mendefenisikan sesuatu, apakah itu masalah atau bukan bagi diri dan lingkungan dan lembaganya.
Ketidakmampuan mendefenisikan masalah biasanya muncul karena kita tidak mengetahui posisi, fungsi dan peran kita di tengah sebuah struktur sosial, dan juga adanya ketidakjelasan arah dan tujuan dari tindakan yang kita lakukan.
Seringkali hal ini juga dipengaruhi oleh tingginya subyektivitas kita dalam melihat dan menganalisis sesuatu, sehingga kadang, bahkan senantiasa kita menuntut agar orang lainlah yang harus mengerti dan memahami kedudukan kita, dan kita enggan untuk mencoba memahami orang lain.
Ini semua karena keengganan kita untuk membangun sebuah komunikasi yang intens dan lebih cendrung memilih diam dan terpaku serta memaki orang lain dalam hati. Kita membangun sebuah benteng pertahanan untuk mengantisipasi serangan yang sebenarnya hanya ada dalam angan-angan kita.
Seperti inilah orang-orang yang disinyalir oleh Rasulullah dalam haditsnya diatas, sebagai al-majnun haqqal majnun. Orang yang merasa diri lebih, karena itu menuntut hak-hak dan ingin diperlakukan secara istimewa, Bila sudah seperti ini, lalu apa bedanya kita dengan Iblis La’natullah Alaihi? (Lihat Q.S. 2 : 34)
Defenisi orang yang tidak gila disini tidak mengacu pada pengertian medis, namun ini diartikan sebagai simbolis, sebagaimana salah satu riwayat Rasulullah SAW berikut ini.
Pada suatu hari, rasulullah saw melewati sekelompok orang yang sedang berkumpul. Beliau bertanya, ”Karena apa kalian berkumpul disini?” Sahabat menyawab, ”Ya Rasullullah, ini ada orang gila sedang mengamuk, karena itulah kami berkumpul disini.” Beliau bersabda, ”Orang ini bukan gila., Ia sedang mendapat musibah. Tahukah kalian gila yang benar-benar gila al-majnun haqqal majnun?” Para sahabat menjawab, “Tidak, Ya Rasulullah.”
Beliau menjelaskan, ”Orang gila ialah orang yang berjalan dengan sombong, yang memandang orang dengan pandangan yang merendahkan. Yang membusungkan dada, berharap akan surga Tuhan sambil berbuat maksiat kepada-Nya, yang kejelekannya membuat orang tidak aman dan kebaikannya tidak pernah diharapkan. Itulah orang gila yang sebenarnya. Adapun orang ini, dia hanya sedang mendapat musibah saya.”
Dari riwayat diatas dapat dilihat bahwa orang gila itu adalah orang yang tidak sadar posisi, fungsi dan perannya, sehingga dia tidak tahu mendefenisikan sesuatu, apakah itu masalah atau bukan bagi diri dan lingkungan dan lembaganya.
Ketidakmampuan mendefenisikan masalah biasanya muncul karena kita tidak mengetahui posisi, fungsi dan peran kita di tengah sebuah struktur sosial, dan juga adanya ketidakjelasan arah dan tujuan dari tindakan yang kita lakukan.
Seringkali hal ini juga dipengaruhi oleh tingginya subyektivitas kita dalam melihat dan menganalisis sesuatu, sehingga kadang, bahkan senantiasa kita menuntut agar orang lainlah yang harus mengerti dan memahami kedudukan kita, dan kita enggan untuk mencoba memahami orang lain.
Ini semua karena keengganan kita untuk membangun sebuah komunikasi yang intens dan lebih cendrung memilih diam dan terpaku serta memaki orang lain dalam hati. Kita membangun sebuah benteng pertahanan untuk mengantisipasi serangan yang sebenarnya hanya ada dalam angan-angan kita.
Seperti inilah orang-orang yang disinyalir oleh Rasulullah dalam haditsnya diatas, sebagai al-majnun haqqal majnun. Orang yang merasa diri lebih, karena itu menuntut hak-hak dan ingin diperlakukan secara istimewa, Bila sudah seperti ini, lalu apa bedanya kita dengan Iblis La’natullah Alaihi? (Lihat Q.S. 2 : 34)
Tags:
Refleksi