Laccu' Itu Licin

Sebenarnya saya agak malas menulis dua hari terakhir karena kesehatan saya agak terganggu. Tapi karena terpicu oleh informasi dari Daeng Khrisna Pabichara bahwa Rumah Kata Bogor melaksanakan Lomba Menulis di Blog Pribadi: Berhadiah! sebagai rangkaian acara perayaan Bulan Bahasa 2011, maka saya bangkit dari pembaringan lalu menyalakan notebook untuk membuat catatan baru di blog untuk diikutkan pada lomba di maksud.

Begitu saya duduk di depan notebook, putri saya yang baru berusia dua tahun sebelas bulan langsung ikut duduk di pangkuan saya. Sebagaimana biasa, Cinta, demikian saya menyapanya, merengek minta diputarkan film animasi kesukaannya.
“Tetta[1], nonton kodok...”, pintanya.
“Tetta mau menulis nak. Nanti setelah tulisan tetta selesai, Cinta boleh nonton.”
“Nonton kodok, tetta...”, wah, dia mulai memaksa.

“Cinta..., tetta pinjam sebentar ya, tetta mau menulis Nak!” Saya mulai tegas sambil mulai membuka lembaran baru Microsoft Word. Putri saya yang bernama lengkap Qonitah Wafiyah Tenri Bilang itu belum turun dari pangkuan, mukanya cemberut, sesekali jemari mungilnya menekan-nekan tuts notebook.

Melihat saya serius menulis, Cinta sepertinya mengalah,
“Menulisy apa tetta?” Dia masih melafalkan ‘s’ dengan ‘sy’, lengannya melingkar bergelayutan di leher saya.
“Tetta mau membuat tulisan untuk di blog nak...”

“Kenapa menulisy tetta?” Waduh, kata favoritnya sudah mulai muncul, ‘kenapa’.
Dalam setiap kesempatan saya bercengkrama dengan Cinta, terkadang kata ‘kenapa’ dia gunakan berulang kali, lumayan membuat saya kelabakan untuk menjelaskan dengan bahasa sederhana yang bisa dia fahami dengan mudah.

“Tetta, mau ikut lomba, Cinta.”
“Kenapa lomba tetta?”
“Tetta mau membuat tulisan tentang Penerapan Bahasa Indonesia dalam Berkomunikasi, nak. Ini untuk lomba menulis sebagai rangkaian Gempita Bulan Bahasa yang disponsori oleh Indosat, powered by Indosat”, jelasku panjang lebar. Cinta seperti tidak terlalu peduli dengan penjelasan saya.

“Kenapa lomba tetta?” Kembali dia menanyakan hal yang sama, sambil mempermainkan kancing baju yang saya pakai.

“Cinta, coba ulangi; Gempita Bulan Bahasa powered by Indosat”, ujar saya kemudian, mencoba mengalihkan perhatiannya.
“Gempita bulan bahasya”, seru Cinta, putri saya dengan mantap.
“Powered by Indosat”, ujar saya lagi.
“Powwed bai Indosyak”, Cinta mengulangi kalimat saya.
“Ulangi nak; powered by Indosat.”
“Powwed bai Indosyak...., kenapa tetta?” Dia kembali mengingat kata saktinya, ‘kenapa’.

“Bukan Indosyak, nak. Coba ulangi, Indosat!” Ucap saya tegas.
“Indosyap.... Aaaah... Nonton kodok tetta.” Cinta mengingat lagi tujuan awalnya; menonton.
“Cinta, tetta mau menulis dulu, nak. Setelah itu, Cinta boleh menonton ya.” Saya kembali mencoba meyakinkannya untuk tidak menonton dulu. Butuh waktu hampir setengah jam menyakinkannya untuk mengizinkan saya menulis dan lahirlah catatan ini.

Dalam keluarga kecil saya, penggunaan bahasa Indonesia dalam komunikasi sehari-hari, memang terasa unik. Saya tumbuh dan besar dalam bahasa Bugis sebagai bahasa ibu, sementara istri saya penutur bahasa Makassar, sehingga bahasa Indonesia menjadi pilihan dalam komunikasi sehari-hari. Meskipun demikian, kadang kami masih saja menggunakan istilah dari bahasa ibu masing-masing.

Kami berkomunikasi dengan putri kami, Cinta, dengan bahasa Indonesia. Namun kami juga berkomitmen bahwa dia harus menguasai bahasa ibu kami berdua, maka sesekali kami mengajari dia sepatah-dua patah kata dari bahasa Bugis atau Makassar. Seperti penggunaan panggilan ‘tetta’ untuk menyapa saya.

Pernah di suatu hari, Cinta terpeleset di lantai yang licin karena baru saja dipel oleh ibunya. Spontan dia berteriak,
“Mama, laccu’ mama...”
“Kan mama sudah bilang nak, pelan-pelan,” tanggap ibunya spontan.
“Kenapa laccu’ mama?” Tanya Cinta sambil menepuk bagian belakang celananya yang basah.

“Lantainya licin Cinta.” Mamanya coba mengingatkan.
“Laccu’ mama, basyah!” Cinta melafadzkan ‘basah’ dengan ‘basyah’.
“Memang basah, mama baru saja mengepel lantainya, jadi licin. Laccu’ itu bahasa Makassarnya, licin bahasa Indonesianya”, jelas mamanya telaten.
“Licin mama?”
“Iya nak, licin. Kalau laccu’ itu bahasa Makassar.”
“Licin mama, hehehehe...”, tanggap Cinta.

Percakapan seperti ini, hampir tiap hari terjadi. Kata-kata dari bahasa makassar seperti reppe’ (pecah), mattung (jatuh), tabe’ (permisi, maaf), bambang (panas), dan cipuru’ (lapar), adalah sebahagian kosakata bahasa Makassar yang kadang terselip dalam komunikasi kami sehari-hari.

Kondisi ini membuat kami berperan sedikit lebih serius dalam berkomunikasi, kami senantiasa berusaha memberikan pemahaman kepada putri kami terhadap kosakata yang digunakannya. Kami menjelaskan mana kata dari bahasa Indonesia, bahasa Bugis, ataupun Makassar.

Kami sadar bahwa penggunaan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dalam keluarga kami adalah hal yang penting, disamping bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan dan bahasa resmi negara, secara teknis ini juga kami butuhkan untuk mempermudah komunikasi kami yang berasal dari latar bahasa yang berbeda, saya berbahasa Bugis dan istri saya berbahasa Makassar.

Kami percaya bahwa kehadiran kosakata bahasa lokal di sela-sela percakapan kami yang menggunakan bahasa Indoensia telah memberi nuansa. Hal ini juga akan membuat bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu menjadi kian kaya.


[1] Tetta, kata dari bahasa Makassar yang berarti ayah.

6 Komentar

  1. ingin segera merasakan punya anak,,,,ehhmmm

    BalasHapus
  2. wah, keluarga yang menarik sekali :)

    bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu jadi lebih terasa ya :)

    BalasHapus
  3. Pringadi, insya Allah berusaha tanpa pernah lelah :)

    Pipit, iyah hehehehe.....

    BalasHapus
  4. Anonim2:10 PM

    subhanalloh.. qonitah macca ladde'..
    bahasa indonesianya????

    masih kepikiran dan membayangkan alotnya perebutan notebook dan pamungkasnya gimana.. hm...

    BalasHapus
  5. Anonim9:41 AM

    bagus di selipin bahasa daerah,biar bahasa daerah g punah, tpi gimana dg Bhasa indonesia di selipin + asing?

    BalasHapus
  6. terima kasih komentarnya..

    dalam komuikasi kami di rumah, bahasa daerah terselip di sana-sini :)
    bahasa daerah memang harus tetap diajarkan kepada anak, agar mereka tak kehilangan akar kultural...

    perebutan notebook terus saja terjadi, tanpa henti.
    setiap saya membuka notebook, Qonitah langsung menghampiri dan minta diputarkan film animasi, atau video lagu anak Islami, hehehehe...

    saya lebih banyak mengalah mendampinginan menonton satu dua episode filmnya atau dua tiga lagu favoritnya :)

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama