Salam Kepada Pembela Nalar!

[25.03.2010] Bagi mereka yang meng-agung-kan nalar, maka imajinasi, emosi, hasrat dan rasa adalah hal yang berbahaya dan patut di waspadai. Nalar menjadi sesuatu yang terpisah dan berdiri sendiri dari berbagai macam fakultas manusia yang lain semacam imajinasi, emosi, hasrat dan rasa. Nalar bagi “mereka” menjadi sebuah tanggung jawab kemanusiaan. Betulkah kemanusiaan begitu sempit sampai bisa di reduksi menjadi sekedar nalar dan tanggung jawab? Betulkah bahwa bernalar adalah paralel dengan berfikir? Betulkah manusia menentukan eksistensinya melalui nalar semata? Entahlah . . .

Dengan nalar mereka mencurigai bahwa para kaum fundamentalisme-skripturalis dan poststrukturalisme-dekonstruksionis terikat pada lautan emosi historis yang sama, yakni menentang kedigjayaan nalar. Dengan nalar mereka menuduh emosi dan imajinasi menghasut manusia untuk menunjukkan taring-taring kepongahan dan keserakahan. Dengan nalar mereka menvonis 'rasa' yang telah mengakibatkan lumatnya identitas obyek ke dalam kesatuan pengalaman subyektivitas. Dengan nalar mereka mengatakan bahwa imajinasi tidak mampu membedakan realitas dan fatamorgana.

Ujung-ujungnya orang-orang yang tidak berada dalam barisan orang yang bernalar sepertinya, di tuduh dan dikatakan tengelam dalam dunia ilusi-imajinatif, sebuah dunia yang tidak mengenal bagaimana kasarnya tanah, pahitnya air hujan, perihnya terik matahari, atau payahnya mengeluarkan keringat karena mereka selalu hidup dalam keserba-hadiran hal-hal yang di butuhkan.

Kalau secara serius kita menilik pemaparan diatas, akan muncul pertanyaan mendasar yang tampaknya akan menentukan apakah memang benar nalar bisa melakukan segalanya ataukah ternyata bahwa nalar yang mereka fahami, juga tidak lebih dari sekedar mitos ataukah ilusi purba kemanusiaan. Pertanyaan itu adalah, apakah nalar itu sebenarnya???

Bila kita coba mengacu kepada pemikiran Muhammad Abid Al Jabiri, dalam Kritik Nalar Arab-nya, beliau mendefenisikan bahwa “nalar” atau “akal” adalah kumpulan konsep dan prosedur yang menjadi struktur bawah sadar dari pengetahuan dalam fase sejarah tertentu. Lebih jauh beliau menekankan bahwa bahasa lain dari nalar adalah epistemologi yang diartikannya sebagai kumpulan kaidah berfikir yang siap di gunakan dalam berbagai kondisi kemasyarakatan.

Pengertian Al Jabiri tersebut mirip dengan apa yang apa yang di kemukakan oleh Hasan Hanafi dengan mengikut pada Foucault, beliau mengatakan bahwa episteme merupakan kerangka berfikir yang melahirkan pertanyaan, menjawabnya sendiri, kemudian membenar-kannya sekalian. Dan dalam pengertian seperti ini, maka tidak ada satupun manusia yang tidak memiliki nalar atau epistemologinya sendiri-sendiri.

Bila defenisi nalar seperti ini diterima, maka sebenarnya kaum fundamentalisme-skripturalis dan poststrukturalisme-dekonstruksionis bukanlah kaum yang terikat pada lautan emosi historis yang sama, yakni menentang kedigjayaan nalar an sich, melainkan mereka adalah kaum yang berbeda nalar dengan yang lain, tapi bukan orang yang menentang kedigjayaan nalar, melainkan menentang nalar tertentu. Bila demikian adanya maka apa bedanya mereka dengan anda yang mengaku pembela nalar?

Defenisi nalar dari Al Jabiri, Hanafi, maupun Foucault menggariskan dengan jelas kepada kita bahwa nalar tidak pernah bekerja secara netral. Setiap nalar di bentuk dan bekerja sebagai hasil konstruksi sosial-politik-ideologis bangunan masyarakat tertentu dimana nalar itutumbuh dan berkembang. Sekali lagi nalar bukanlah sesuatu yang netral melainkan sangat ideologis. Dan itu sangat mausiawi aku kira.

Mengacu pada defenisi ideologi Al Jabiri –kondisi sosial politik yang mempengaruhi arah pemikiran setiap tokoh pada masa dan tempat dia berada— atau defenisi ideologi menurut Karl Marx –kesadaran palsu atau kesadaran yang membeku—atau menurut Louis Althusser – representasi dari hubungan imajiner antara individu dengan kondisi eksistensi nyatanya-- maka makin jelas bahwa nalar bukanlah sesuatu yang netral.

Ketidak netralan nalar juga melanda nalar yang mereka agung-agungkan sebagai nalar yang bisa mengingatkan mereka untuk tetap menjalin dialog dan rendah hati, yang menghayati perbedaan ilusi, kenyataan dan keinginan, sadar ada subyek ada obyek dan menyadari benar mana yang real dan mana yang ilutif. Gimana nyambungnya sementara nalar itu sendiri bekerja diatas pondasi ilusi yang menggeliat dari wilayah “Id” (libido bawah sadar perspektif psikoanalisis Freud).

Nah, kritikan ini baru berbasis pada mereka semua (Al Jabiri, Hasan Hanafi, Foucault, Marx, Althusser dan Freud), belum lagi kalau kita mengacu pada penjelasan Bergson tentang intelek-intuisi. Nalar yang mereka ajukan sebenarnya tidak ada bedanya dengan intelek perspektif Bergson, yang memilah-milah, memecah-mecah realitas, mengklasifikasi dan mengobyektifikasinya.

Namun tampaknya mereka tidak konsisten juga, karena nalar yang cendrung seperti itu adalah nalar yang tidak berperasaan yang tidak mengenal bagaimana kasarnya tanah, pahitnya air hujan, perihnya terik matahari, atau payahnya mengeluarkan keringat karena mereka selalu hidup dalam keserba-hadiran hal-hal yang di butuhkan, hal ini karena nalar intelek seperti ini hanya mampu memahami dan bekerja dengan hukum dan prinsip Identitas, Keselarasan, Ketakterbatasan dan kausalitas.

Sementara itu, kalau nalar yang bekerja dengan hukum dan prinsip seperti ini yang diharapkan melahirkan dialog, dimana nyambungnya, apa yang mau di dialogkan sementara semua sudah pasti dalam kepastian, bahwa batu adalah batu tak mungki dia adalah air. Untuk menjalani hidup dengan bermodalkan nalar seperi ini, kita membutuhkan intuisi Bergson, karena dengan inilah kita akan merasakan betapa indahnya, betapa nikmatnya, betapa santunnya, betapa sopannya dan betapa-betapa yang lain.

Atau kalau kita mau melihat lebih jauh, nalar yang mereka tawarkan hanyalah sejenis Rasio Instrumental-nya Jurgen Habermas, dan untuk upaya penyelamatan, maka sangat di butuhkan lahirnya Rasio Komunikan. Dengan Rasio Komunikan, barulah kita akan mampu melahirkan nalar yang terlepas dari jeratan kesadaran yang membeku, karena Rasio Komunikan mengedepankan bangunan pengetahuan dan hasil pemikiran dalam bentuk Critical Knowledge.

Pengetahuan kritis ini dapat di peroleh melalui upaya secara terus menerus melakukan Refleksi –baik refleksi diri maupun refleksi kritis—serta Kritik Ideologi untuk senantiasa mempertanyakan kebenaran-kebenaran yang selama ini kita terima, karena semuanya –termasuk manusia dan kemanusiaannya-- bukanlah barang jadi yang telah “ada” melainkan potensi barang jadi yang sedang “menjadi”, sebagaimana dikemukakan oleh Erich Fromm.

Sadarlah saudaraku, nalar saja tidak cukup, ucapan Bochenski yang mengatakan bahwa ”Berani menjadi manusia artinya memilih hidp dengan nalar” belumlah cukup, justru ini bisa mereduksi kemanusiaan menjadi one dimensional man-nya Herbert Marcuse, atau manusia automaton-nya Erich Fromm.

Dalam salah satu kesempatan, Fromm mengatakan bahwa modal utama untuk menjadi manusia adalah “Cinta dan Nalar”, sekali lagi NALAR saja tidak cukup, kita masih butuh CINTA. Karena dalam cintalah kita memahami makna perhatian, tanggung jawab, penghargaan dan pemahaman yang merupakan elemen-elemen utama cinta. Dan yakinlah bahwa itu tak ada dalam nalarmu.

Aku mencoba memaparkan hasil pe”nalar”anku, karena aku mencintai-Mu !!!!!

4 Komentar

  1. Tidak bisa berkomentar. Takut salah.

    BalasHapus
  2. 谢谢楼主的分享,楼主真的太好人了。

    BalasHapus
  3. 我是不小心进来的,然后发现这里实在太棒了。

    BalasHapus
  4. Make yourself necessary to someone

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama