Berburu Sweater ke Rindu Alam


Begitu jam dinding menunjukkan pukul 16.00 wib, dan widyaiswara menutup sesi belajar, kami semua berhamburan menuju kamar masing-masing. Tujuannya, ganti baju secepat mungkin, lalu berkumpul di lobby menunggu mobil carteran.

Tercatat empat belas orang yang ikut dalam rombongan untuk memanfaatkan keberadaan kami di Ciawi. Tujuannya tak lain dan tak bukan, Kawasan Wisata Puncak, tepatnya di Rindu Alam. Tepat pukul 16.30 wib, dengan menumpang dua buah mobil carteran, kami beranjak meninggalkan Gedung Pusdiklatwas BPKP dengan suasana hati yang cerah, secerah sore.

Sepanjang jalan, silih berganti kami berceloteh menuturkan berbagai kisah yang seakan tak pernah habis, maklum kami semua baru dua hari berkenalan. Di mobil kedua yang saya tumpangi, seorang kawan dari Kabupaten Donggala menjadi pusat perhatian. Sebagaimana orang Donggala lainnya, dialek berbahasa Indonesianya demikian khas.

Belum lagi lontaran humornya yang segar, dan situasional membuat suasana sumringah sehingga perjalanan selama kurang lebih satu jam di jalanan mendaki tak membuat lelah. Yang ada adalah derai tawa, canda dan banyolan, suasananya begitu meriah.

Begitu tiba di Rindu Alam, kami berloncatan dari mobil dan berlomba mencari tempat yang pas untuk berfhoto ria. Jepret sana, jepret sini, pakai kamera digital, pun memakai handphone, tak ada yang mau ketinggalan mengabadikan kesempatan langka; berada di Puncak. Dengan berlatar hamparan kebun teh dan bias sinar mentari sore membuat suasananya kian pas.

Tak ketinggalan tukang fhoto amatiran datang menawarkan jasa, ada fhoto rombongan, ada juga fhoto kalender, semuanya langsung jadi dalam sepuluh menit. Ukuran 10 r, dengan harga yang bervariasi, tergantung kelihaian tarik ulur tawaran dengan fhotografernya. Ada yang sukses dengan harga Rp 15.000,- namun ada juga yang harus merogoh kocek sampai Rp 20.000,- dengan fhoto yang sama.

Wow wow wow, yang ibu-ibu tak melupakan berbelanja sweater yang banyak di jajakan di kawasan tersebut. Dengan motif dan kualitas rajutan yang beragam, harga di banderol merata Rp. 30.000,-, jadi ada yang merasa beruntung mendapatkan sweater bagus, tak jarang ada juga yang bersungut-sungut merasa dirugikan. Tapi toh, semua tetap mengenakan sweater yang dibelinya, maklum cuaca cukup dingin.

Beberapa juga terlihat memilih-milih souvenir; beragam kalung berbahan bebatuan, gelang berukir dari bambu, serta gantungan kunci. Umumnya yang membeli, akan memborong jenis souvenir tertentu dengan alasan yang sama: oleh-oleh untuk teman kantor.

Saya sendiri hanya sempat membeli sebuah sweater sederhana untuk mengusir dingin yang mencengkeram. Saya berangkat tanpa membawa jaket karena terburu-buru, sweater yang terbeli menjadi penolong yang baik hati. Selebihnya, saya hanya menikmati hamparan kebun teh yang perlahan dipeluk oleh kabut yang muncul entah dari mana.

Begitu gelap merambat membalut udara, kami memutuskan beranjak pulang. Tak lupa kami bersepakat untuk singgah menikmati jagung bakar khas puncak. Tak tahunya, di lokasi makan jagung bakar, kembali kami diperhadapkan dengan tawaran menggiurkan dari pedagang-pedagang souvenir. Tak bisa menahan diri, kembali beberapa kawan memborong oleh-oleh.

2 Komentar

  1. wow,,,jadi inget,,jaman SD,,kan ada pelajaran mengarang dg tema "liburan"..bravo bro,,
    semoga masih ada kesempatan bagi peserta OPAD buat bertemu kembali..

    BalasHapus
  2. Hehehehe....

    saya memang senantiasa berusaha menjaga ingatan dengan menuliskannya. agar ada yang tersisa sebagai artefak yang bisa dikenang di kemudian hari...

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama