[20.04.2016] Pagi belum lagi tinggi, setelah mandi
kusempatkan menengok handphone, beberapa
pesan masuk menyapa, baik di group WhatsApp,
maupun broadcast di Blackberry Messenger. Sebagian cuma berisi tautan informasi di media
online, yang lain adalah cek kontak.
Ada sebuah pesan yang menarik perhatianku. Pesan dari
kawan lama, sejak sekolah menengah atas. Ketika kuliah, fakultas kami
bertetangga, namun jarang bersua. Kami memilih menjadi aktivis di organisasi
yang berbeda, namun dengan gairah yang sama: kepedulian pada sesama, terutama
mereka yang dipinggirkan.
Pesannya begini, “Taruhlah
kita semua gerilyawan… Maka eksistensi kita ditopang oleh serangan berkala meski
itu hanya sedikit bunyi-bunyian gaduh… Berdiam lama di hutan hanya akan membuat
kita hilang dalam tujuan dan menjadi pecandu sekte yang terbuang dari ingatan publik…”
Pesannya singkat, namun berhasil membuatku merenung
panjang. Kubayangkan lelaki itu, wajahnya yang tirus, perawakan ramping, dengan
rambut menjuntai sebahu. Setelah sekian kala berlalu, aku merasa irama hidupnya
tak berubah: berlawan! Kubayangkan dia berdiri kukuh, tangan kiri terkepal
tinggi, sebuah mata kalung bulat –entah metal
atau batu– berwarna hijau masih setia di lehernya.
Kawan itu –Ar Sony
namanya, mengingatkan tentang pentingnya keberpihakan dan bagaimana menjaga
diri untuk tak terjebak pada mitos, kebenaran beku, dan absolutisme idealis. Pengalamannya
malang melintang di dunia aktivisme seperti mengajarkan bahwa hanya dengan
berpijak kukuh pada dialektika sejarah-lah, yang membuat kita dicatat sebagai pelakon.
Sepertinya kawan yang satu ini sedang mendaras bahwa menjadi
pelakon sejarah, menjalani laku perlawanan –gerilyawan,
bukan perkara menang ataupun kalah. Lebih dari itu, ini adalah soal
keberpihakan, soal di pihak mana kita berdiri dan menabalkan baiat: bahwa kita
bersetia pada sisi kebenaran.
Namun, perlu dicatat di sini, kebenaran yang dimaksud,
bukanlah setumpuk dogma ideologis yang
meracuni kesadaran. Kebenaran dimaksud adalah hasil sekaligus proses
yang terakumulasi melalui dinamika sejarah yang penuh dialektika: kritik dan
otokritik yang jujur –serangan berkala meski
itu hanya sedikit bunyi-bunyian gaduh.
Melalui spiral dialektika yang menanjak, kesadaran kritis
dipahat agar kita terselamatkan dari tragedi sejarah yang mengagungkan kebenaran beku yang menjelma menjadi mitos bahkan utopia. Ar Sony menyebutkan sebagai situasi hilang dalam tujuan.
Proses ini juga akan mengamankan kita dari penjara minority complex, sebentuk kesadaran semu
dan palsu bahwa kita tak boleh berkecilhati, meski orang lain tak mengenal
kita, sebab kitalah pemanggul kebenaran. Bangunan psikologis sedemikan, oleh Ar Sony digelari sebagai semacam pecandu
sekte yang terbuang dari ingatan publik.
Perkara keberpihakan pada kebenaran ini, meskipun
mengetahui bahwa peluang menang begitu jauh, telah dicontohkan oleh para orang
besar dalam sejarah. Mereka yang demikian itulah yang pantas disebut sebagai
subyek politik –lebih jauh soal subyek politik,
silahkan ulik pemikiran Zlavoj Zizek dan Alan Badiou.
Zizek (2002 : 272) dengan mengamini Badiou mengusulkan
Lenin sebagai model, “Kebesaran Lenin adalah bahwa sekalipun ia kekurangan
aparatus konseptual yang memadai untuk memikirkan kedua tataran ini secara
bersamaan (ekonomi dan politik—peny),
ia sadar akan pentingnya berbuat demikian –tugas
yang perlu meski mustahil”.
Model lain yang bisa disebut adalah, Husain bin Ali ra.
Ketika perhitungan matematis dan kalkulasi pragmatis menunjukkan bahwa rombongannya
pasti kalah dari pasukan Ubaidillah bin Ziyad, Husain tak mundur, beliau tetap berlawan
dan memilih syahid di ujung pedang musuhnya.
Tindakan Lenin, terlebih sikap Husain, adalah contoh yang
tepat untuk mewakili pesan yang ingin disampaikan oleh Ar Sony melalui broadcast-nya tadi pagi. Mereka adalah subyek
yang memiliki kesetiaan dan keberpihakan, sebab mereka tak pernah kehilangan
hasrat akan kebenaran.
Mengenai teladan dari Husain dalam upayanya senantiasa
memberi harapan pada umat, bahwa masih ada yang bersetia berdiri di sisi
kebenaran, Che Guevara –seorang pelakon
perjuangan revolusioner, berseru-seru, “Kepada kaum revolusioner, agar
mengikuti revolusi yang dipimpin Husein yang agung dan melangkah di jalannya untuk
menghentikan penguasa zalim.”
Atau dalam perbincangan Cicak dan Semut pada kisah
dibakarnya nabi Ibrahim oleh raja Namrud –cerita
ini ada di Cicak, Semut dan Ibrahim, maka apa yang dicontohkan oleh Lenin
dan Husain, atau yang diimpikan sebagai gerilyawan oleh Ar Sony, adalah Semut.
sumber ilustrasi: facebook Ar Sony