Ramadhan Yang Kesepian

[28.08.2011] Ramadhan sudah senja, bilangan puasa pun tinggal sedikit, namun nuansa kebeningannya sudah hilang entah kemana. Ketika Muhammad saw, nabi mulia tersebut mencontohkan ummatnya untuk lebih banyak tafakkur dan i’tikaf, berdiam diri di masjid-masjid dan memperbanyak ibadah kepadaNya, sebagian besar ummat malah membiarkan rumah-rumah Allah melompong dan memilih untuk berdesak-desakan, berjejal-jejal, berimpitan di mall-mall, supermarket, trade center, dan plaza.

Iming-iming akan adanya sebuah malam yang lebih mulia dari seribu bulan –layl al qadr, khair min alf syahr, tidaklah cukup ampuh untuk menjadi daya tarik bagi ummat untuk kembali memakmurkan masjid. Mereka lebih memilih memenuhi seruan big sale, midnight sale, great sale, aneka diskon dan obral dari berbagai pusat perbelanjaan. Seruan adzan menjadi sekedar formalitas yang dikumandangkan dari menara-menara mesjid yang kian kesepian.

Mengapa aura ramadhan yang penuh berkah, rahmah dan maghfirah begitu cepat menguap dari memori ummat, malah berlalu sebelum ramadhan benar-benar pergi? Lalu mengapa hanya sedikit bagian dari ummat yang merasakan hal ini sebagai masalah? Apa yang salah? Apakah para muballig yang kurang memberikan pencerahan pada ummat? Atau malah memang ummat saja yang demikian bebal?

Tentu kita tidak boleh gegabah dan langsung menuduh bahwa muballig atau ummat yang bermasalah, karena sesungguhnya ada struktur sosial kultural yang melingkupi kedua komponen ini. Sebuah struktur sosial kultural yang bekerja diatas prinsip dan mekanisme yang beraroma materialistik, yang dihadapan serbuannya, puasa sebagai mekanisme perlawanan terhadapnya terkesan tak berdaya dan harus bertekuk lutut.

Digitalisasi Ramadhan
Sekilas, tak ada masalah dengan fenomena ramadhan sehari-hari, semua berjalan sudah dalam koridor yang semestinya. Televisi bertaburan dengan berbagai tayangan sinetron bernuansa religius, ceramah singkat teman bersantap sahur dan menanti waktu berbuka. Berbagai pusat perbelanjaan memberikan tawaran diskon untuk memberikan kemudahan kepada ummat yang ingin berbelanja.

Namun tanpa disadari bersama, di tengah kita sedang berlangsung sebuah proses ‘pencurian’ atas substansi ramadhan kita. Berkah ramadhan yang mulia ini dikemas dalam berbagai format digital, kemudian re-distribusikan secara massal kepada ummat melalui berbagai media elektronik dan virtual.

Telah terjadi proses komodifikasi atas makna ramadhan kita oleh kaum pemodal. Dengan licik, spiritualitas ramadhan direngkuh dalam pangkuan modal, kemudian dikemas ulang pasca dilakukan penyelewengan makna, setelah itu dikembalikan ke tengah-tengah ummat. Tentu dengan makna baru yang lebih jinak dan dikendalikan oleh mekanisme pasar yang kapitalistik.

Puasa yang seharusnya mampu memerdekakan kita dari kesenangan material, membuat kita mandiri dalam mengatur diri dari pola ‘makan’ dan jenis konsumsi, tak lagi terasa. Puasa yang merupakan upaya pembebasan manusia dari berbagai kungkungan dan alienasi oleh dunia, ternyata sudah mandul. Ramadhan yang merupakan madrasah untuk mengasah kepedulian pada sesama juga menguap.

Ramadhan dan puasa telah berganti makna menjadi berarti hingar bingar pesta musik religius, tayangan sinetron yang islami, selebriti yang ramai-ramai memakai kerudung dan baju koko, pusat perbelanjaan dihias bak di padang pasir, dan diskon besar-besaran. Keduanya telah kehilangan otentisitas, kita digiring ke dunia yang mengagungkan kulit, trivial pursuit!

Ramadhan dan puasa telah menjadi realitas lain, yang dibahasakan oleh Jean Baudrillard sebagai hyper-reality, bangunan model-model realitas yang tidak memiliki asal-usul. Inilah hasil digitalisasi yang kapitalistik itu, ummat merasa bahwa mereka memasuki sebuah ruang realitas yang dirasa nyata dan lebih baik padahal sesungguhnya ruang realitas itu hanyalah citra dan khayalan semu semata.

Ummat terjebak di dalam sebuah dunia parody, dunia tanpa asal usul, dunia yang tidak lagi mementingkan orisinalitas dan keaslian. Lihatlah berbagai realitas semu itu, ummat berjubel belanja di mall, meskipun mungkin baju yang dimilikinya sudah bertumpuk, mereka tetap belanja entah untuk apa, sekedar memuaskan nafsu belanja.

Atau yang lagi mendapatkan sorotan adalah sahur on the road, yang pada awalnya dilakukan dengan niatan tulus untuk membantu mereka yang hendak bersahur, namun karena berbagai kendala tidak mendapatkan makanan untuk itu. Sekarang ini, sahur on the road sekedar menjadi ajang sosialisasi diri bagi para politisi atau mereka yang krisis kepercayaan diri.

Kapitalisasi Islam
Salah satu unsur yang sangat berperan dalam proses komodifikasi ini adalah media massa, baik cetak, elektronik atau media online. Mereka berlomba-lomba dalam melakukan diseminasi sosial makna puasa yang telah disabotase, dijinakkan! Menurut Yasraf Amir Piliang, proses diseminasi sosial merupakan proses pelipatgandaan dan penyebaran secara sosial, tanda, citra, informasi dan tanda-tanda komoditas yang berkembangbiak secara seketika (instanta neousness), mengikuti model pertumbuhan kode genetika (genetic code).

Puasa terjebak dalam dunia simulakra, dunia yang terbangun dalam simulasi diseminasi sosial (social dissemination). Dunia dimana terjadi penjungkirbalikan dan pendangkalan makna. Puasa menjadi sekedar kulit tanpa daging legit, ritual tanpa spirit, dan tradisi tanpa isi. Ramadhan begitu eksis di jejaring sosial, komunitas maya, pusat perbelanjaan dan rumah-rumah makan, tapi gagal hadir di langgar, mushalla, masjid-masjid, bahkan hati kita!

Puasa dikomodifikasi menjadi produk yang dikemas dan dijajakan di pusat-pusat perbelanjaan. Ramadhan yang pada hakikatnya akan syahdu bila dijalani secara komunal, malah kemudian dibalikkan menjadi ajang membina semangat indivisualisme umat. Umat menjadi lebih peduli pada merek baju koko yang mereka siapkan untuk momentum ied al fitr dari pada peduli pada tetangganya yang tak memiliki makanan sekalipun sekedar untuk berbuka sebentar malam dan bersantap sahur esoknya.

Di dua pertiga terakhir ramadhan, umat menjadi lebih ingat dan dengan khusyu’ melaksanakan ritual ‘zakat mall’ daripada mempersiapkan pelunasan zakat mal yang mereka miliki. Umat terjebak pada belukar belanja, belanja, dan belanja. Mereka beraksi menumpuk-numpuk harta hanya untuk memenuhi keinginan dan bukan kebutuhan.

Masyarakat seperti ini menurut Sigmund Freud, adalah masyarakat yang sakit, masyarakat yang tidak berkembang secara sempurna, masyarakat yang gagal menjadi dewasa, masayarakat yang berhenti pada fase perkembangan oral yang mendapatkan kepuasan dengan mengkonsumsi, atau paling banter fase anal yang akan merasa gembira bila menumpuk-numpuk harta lalu memamerkannya.

Celakanya, umat Islam bermetamorfosis menjadi umat yang sakit dan umat yang gagal menjadi dewasa justru pada bulan ramadhan, bulan yang pada hakekatnya bertolakbelakangan dengan semua itu. Bulan yang bukannya mendorong pemanjaan konsumsi dan penumpukan harta, melainkan bulan yang mendorong proses pendisiplinan dan pengontrolan diri dari konsumsi dan hasrat yang berlebih.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama