Akhir Kisah Dua Pejuang

Awal Oktober 1671, pihak Kompeni dibuat gelisah oleh rencana tokoh politik terbesar pengaruhnya di jazirah selatan Sulawesi, La Tenri Tatta Arung Palakka, yang akan menggelar upacara melepas nazar. Pasalnya, pelepasan nazar tersebut, dikhawatirkan bisa memicu konflik baru di kawasan yang belum stabil sejak ditandatanganinya Cappaya ri Bungaya, Perjanjian Bungaya pada 18 November 1667 yang mengakhiri perang besar di kawasan kala itu.
     “Aku tak punya alasan untuk tidak membayar nazarku, itu janjiku pada raja semesta, Déwata Séuwwaé.”
     “Tapi, Puang Tatta...” Speelman mencoba menyanggah.
     “Aku tak ingin kualat, Tuan Speelman!”
     “Tak bisakah pembayarannya diganti?”
     “Apa maksud Tuan?”
     “Bagaimana Puang Tatta hendak mengorbankan putra mahkota Gowa? Apakah itu tidak menimbulkan masalah baru?”
     “Saya sepakat dengan Tuan Speelman, Daéngku.” Todani turut menguatkan.
     “Jadi apa yang harus aku lakukan menurut kalian?”
     “Darah putra mahkota Gowa, kita bisa ganti dengan kerbau, Daéng.” Mendengar saran adik iparnya yang bergelar Arung Bakke itu, Arung Palakka termenung.
     “Apa yang disarankan oleh Arung Bakke lebih aman, Puang Tatta.” Speelman ikut menekan.
     “Kalau Daéngku sepakat, tentu Kumpeni dengan senang membantu menyiapkan kerbaunya, berapapun yang Daéngku butuhkan. Bagaimana Tuan Speelman?”
     “Baiklah, kalau menurut kalian itu lebih baik. Tolong Tuan Speelman siapkan tiga ratus ekor kerbau.”
     “Apa harus sebanyak itu, Puang Tatta?” Speelman kaget mendengar jumlahnya.
     “Seharga itulah kepala putra mahkota Gowa, Tuan.” Todani yang memberi jawaban.
*     *     *

25 Desember 1660, pagi baru memanjat hari di pantai timur Palletté, sebelum berlayar ke Buton, Arung Palakka dengan lantang mengucapkan sompung, sumpah keramat.
     Oooo Puakku Marajaé, pésabbi sompukku.
     Iyapa kutéppe'i wélua'ku,
     Narékko pura kupaccolo’ darana ana’ maddara takku’na Gowa1
Bersamaan dengan berakhirnya kalimat bertuah itu, Arung Palakka melangkahkan kaki menginjak tubir perahu yang diikuti oleh para pejuang pembebasan yang menyertai perjuangannya.

Saat perahu didorong ke laut, dengan didengarkan oleh para pengikutnya, sambil mengacungkan badik La Makkawa2 yang terhunus ke angkasa pagi yang cerah, Arung Palakka lanjut berjanji bahwa bila dia telah berhasil memerdekakan negerinya dan membebaskan rakyatnya dari perbudakan, dia akan mempersembahkan sokko’ pitu nrupa sittanré bulu Cempalagi3, bersama dengan siratu tédong cumara mattanru’ ulaweng4.
*     *     *

Setelah sepuluh tahun berbilang, Arung Palakka kembali ke bukit Cempalagi. Tepat 16 Oktober 1671, daerah Palletté disesaki sekira tiga puluh ribu tamu undangan. Mereka akan menyaksikan prosesi sakral, Arung Palakka menunaikan nazarnya. Hari itu, La Tenri Tatta Petta Malammpé’é Gemmenna, memotong rambut diikuti oleh para pengikutnya. Bukit Cempalagi tertutupi oleh sokko’ pitu nrupa, tiga ratus ekor kerbau disembelih sebagai pengganti darah putra mahkota kerajaan Gowa, ditambah seratus ekor lainnya dengan tanduk yang disepuh emas, sebagai bagian dari nazar Arung Palakka.

Semua orang bergembira, terutama Arung Palakka yang telah menunaikan nazarnya, begitupun Speelman yang berhasil meredam potensi konflik besar. Sambil menikmati penganan yang disajikan, Speelman melontar tanya.
     “Puang Tatta, bolehkah saya bertanya?”
     “Apa gerangan yang hendak engkau tanyakan, Tuan Speelman? Jangan ragu, engkau adalah sekutuku yang setia.”
     “Sewaktu Puang Tatta memulai gerakan perlawanan ini, apakah Puang Tatta yakin akan menang?”
     “Tak ada yang seperti itu, Tuan. Saat itu, tak ada yang bermimpi bisa menundukkan Karaeng Sombayya beserta pasukannya yang gagah berani. Persekutuan kita serta restu Déwata Séuwwaé-lah yang mewujudkan kemenangan ini.”
     “Lalu apa yang mendorong Daéngku berani mendeklarasikan perlawanan?” Todani ikut bertanya.
     “Adikku Todani, kita ini diberi amanah oleh rakyat sebagai arung untuk memimpin mereka. Aku menyadari, dalam kondisi terjajah dan dipoata, orang akan mencari pemimpinnya, bukan untuk memohon pertolongan, sebab mereka tahu bagaimana kondisi kita, tetapi mereka butuh harapan dan memerlukan orang yang konsistens bertanggung jawab atas nasib mereka. Siapa lagi yang akan memberi mereka pengharapan dan konsistensi kalau bukan kita?” Arung Palakka bicara dengan mata terpejam, menahan gemuruh yang menggumpal di pelupuk.
     “Betul apa yang Daéngku katakan, arung bukan semata soal gelar dan kedudukan, tapi lebih sebagai keberanian merengkuh tanggung jawab.” Timpal Todani.
     “Sekarang kita sudah meraih kekuasaan, kita harus bisa menjaga diri agar tidak dibutakan oleh kekuasaan, Adikku.”
     “Maksud Daéngku?”
     “Kita harus tetap saling mengingatkan, sebab bila kita dibutakan oleh kekuasaan, maka masa tua kita akan berakhir dengan keburukan. Bukankah itu seburuk-buruk keadaan, Adikku?”
     “Aku berharap engkau bisa tetap setia padaku hingga akhir, bisakah?” Lanjut Arung Palakka.
     “Saya Daéngku, Adikmu Arung Bakke tidak akan mengkhianatimu hingga akhir!”
     “Memang, engkau mungkin takkan mengkhianatiku, Adikku, tapi siapa yang bisa menjamin bahwa waktu tak akan mengkhianati kita.” Arung Palakka menatap jauh ke cakrawala, sekawanan burung melintas di angkasa yang bersih, pesta masih terus berlangsung.
*     *     *

Awal Oktober 1680, sejak hubungan mereka meregang, Todani yang sudah menjadi penguasa di sembilan kerajaan Ajattappareng mengunjungi Arung Palakka di Bontoala.
     “Daéngku, Adikmu Todani datang menghadap.” Seru Todani sambil berlutut di hadapan Arung Palakka.
     “Engkau tahu apa kesalahanmu, Todani?” Arung Palakka enggan menatap ke arah Todani.
     “Seperti nasehat Daéngku dahulu, saya mungkin telah dibutakan oleh kekuasaan.”
     “Ya, kau sudah berani menghadap langsung ke Rotterdam tanpa mappatabé’ padaku!”
     “Lalu mengapa kau masih berani menginjakkan kakimu di istanaku?” Sambung Arung Palakka menggelegar.
     “Saya mengharap kemurahan hati Daéngku, demi Wé Kacimpurang. Bukankah darah lebih kental dari air, Daéngku?”
     “Untuk apa kau membawa-bawa nama perempuan yang telah engkau ceraikan!? Lelaki macam apa kau ini!? Pergi dari hadapanku!” Arung Palakka menumpahkan kemurkaannya dengan menghentakkan kaki ke lantai istana sebelum meninggalkan Todani yang masih berlutut.
*     *     *

11 Februari 1681, Todani sang penguasa Sidenreng, Rappang, Sawitto, Alitta, Suppa, Citta, Galingkang, Pattojo, dan Bakke, ditahan di Pulau Salemo atas upaya pasukan Mandar, sekutu Arung Palakka. Ikhtiar Kumpeni menyelamatkan Todani tak membuahkan hasil. 13 Februari 1681, panglima pasukan Wajo, Tobutu menghadap ke Arung Palakka melaporkan bahwa Todani telah terbunuh di Pulau Salemo. Arung Palakka pun memerintahkan agar Todani dikuburkan di Salemo, sehingga bergelar Addatuang Matinroé Ri Salémo.

Catatan:
1.     Tuhan yang Maha Besar, saksikanlah sumpahku. Aku baru akan memotong rambutku, bila aku berhasil mengalirkan darah putera mahkota Kerajaan Gowa.
2.     Keris pusaka yang seluruh hulu dan sarungnya berlapis emas. Disebut juga Tappi Tatarapeng, dengan ketajaman serta bisa yang tepermanai. Dinamai La Makkawa karena selalu tepat sasaran
3.     Nasi ketan tujuh warna dibungkus dengan daun kelapa dalam potongan kecil, lalu ditumpuk setinggi bukit Cempalagi
4.     Seratus kerbau belang dengan tanduk disepuh emas

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama