Resensi: Silasa, Ujaran Etik Manusia Bugis

[14.01.2017] Indonesia adalah negara yang kaya dengan kearifan lokal (local wisdom) dan kecerdasan lokal (local genious). Ribuan pulau yang menyusun mozaik negeri zamrud khatulistiwa ini -sebagaimana dikutip dari Wikipedia, dihuni oleh sekira 1.340 suku bangsa dengan beragam budaya dan tradisi yang meruah dengan kearifan.

Salah satu suku bangsa yang mendiami negeri tropis nan indah ini adalah Bugis. Meski merupakan menduduk asli yang mendiami wilayah tengah, timur dan utara semenanjung selatan pulau sulawesi, namun diaspora etnik ini merambah hampir aeluruh negeri, bahkan manca negara, terutama Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam.

Meski tersebar di seantero asia selatan, namun masyarakat Bugis tetap tak kehilangan ciri khas dan karakternya, di manapun mereka menetap. Bahkan dengan bermodalkan karakter khasnya yang disarikan dari kearifan dan kecerdasan lokal warisan leluhurnya, tak sedikit keturunan Bugis yang menjadi pemimpin -baik sosial, ekonomi, maupun politik- di rantauan.

Khazanah kecerdasan lokal Bugis, dapat diperoleh dalam berbagai karya sastra Bugis klasik yang memuat beragam kearifan dan kecerdikan otentik manusia Bugis, serta masih relevan dengan kehidupan sekarang ini. Beberapa sumber kearifan lokal tersebut adalah Sure' Galigo, Lontara, Paseng to Riolo dan Elong. Di sana terdapat beragam warisan kearifan yang tak ternilai harganya.

Salah satu sumber yang layak dilirik untuk mengakses pelbagai kearifan dan kecerdasan masyarakat bugis adalah pustaka yang dianggit oleh Andi Hasan Machmud, seorang pensiunan anggota DPR RI kelahiran Sengkang, 23 Juli 1934. Buku ini berisi beragam pesan yang merefleksikan kekayaan perbendaharaan falsafah manusia Bugis.

Oleh Andi Hasan, karyanya diberi judul, 'Silasa I: Kumpulan Petuah-Petuah Bugis-Makassar'. Silasa yang dalam bahasa Bugis bermakna layak, patut, dan baik, seakan menjadi penanda bahwa dalam Silasa terdapat beragam petuah tentang kebajikan, tuturan akan kebijakan, dan paparan soal kebijaksanaan.

Maka tepatlah kiranya bila Silasa pantas didaku sebagai ujaran yang memuat ajaran etik masyarakat Bugis. Sebab dalam kumpulan ini, dengan telaten Andi Hasan menyulam nilai, norma, dan moral yang dirumuskan, diajarkan, dan diamalkan oleh sehimpun manusia dengan basis etnik tertentu, yakni Bugis.

Berbagai petuah yang ada dalam Silasa, dikompilasi dari kumpulan galigo, paseng, maupun elong yang dimiliki tokoh-tokoh Bugis, di antaranya: Andi Palloge Petta Nabba, Haji Andi Ninong, Andi Makkaraka Ranreng Bettempola, dan Andi Pabarangi. Sambutan dari Gubernur Sulsel kala itu, Achmad Lamo seakan menjadi garansi bagi kualitas buku yang terbit perdana pada tahun 1976.

177 pesan yang dirangkum, disimpul dalam 20 tema besar. Andi Hasan lalu mencoba membantu penghayatan dan penafsiran pembaca melalui penjelasan ringkas. Penerjamahan pun dilakukan dengan pemaknaan bebas sehingga membuka kemungkinan lahirnya pemaknaan yang lebih kontekstual dan sesuai perkembangan ruang dan waktu di mana pesan ini didaras.

Sebagaimana ciri khas sastra Bugis yang cenderung menyembunyikan makna sebenarnya dalam berlapis proses pemaknaan, beberapa pesan dalam Silala pun demikian. Mari kita coba menyimak pesan nomor 9 yang dinukil dari kumpulan Haji Andi Ninong, "Duwa laleng tempedding riola, iyanaritu lalenna passarie, enrengnge lalenna paggollae", artinya: Dua jalan yang tak boleh ditempuh, yaitu jalan para penyadap, dan jalan perajin gula merah.

Bila menilik pada terjemahannya, maka tanya akan mengusik pemahaman, apa yang menjadi soal pada jalannya para passari (penyadap) dan paggolla (perajin gula merah)? Maka untuk menyerap secara jernih makna dari pesan ini, pengetahuan secara detail perihal keseharian passari dan paggola, mutlak dimiliki. Sebab bila tidak, maka bisa saja pesan berharga ini menjadi seperti kalimat tanpa tuah.

Menurut Andi Hasan, seorang passari saat beranjak untuk menyadap enau di hutan, mereka akan menempuh jalan yang tak tentu. Mereka menerobos semak dan menerabas perdu untuk menjangkau pokok yang di tuju. Begitupun saat memanjat, mereka tak peduli dengan sisi pelepah enau yang tajam, ujung daunnya yang runcing. Ringkasnya, passari menghalalkan segala jalan untuk mencapai tujuan.

Sedangkan paggolla --menurut Andi Hasan, adalah pihak yang tak acuh pada kebersihan. Nira hasil sadapan, akan dimasak menjadi gula, tanpa peduli dalam nira terdapat beragam serangga yang terjebak, atau penggalan lidi enau yang ikut. Mereka tak peduli, sebab mereka berprinsip bahwa begitu jadi gula, konsumen tak akan teliti perihal itu.

Petitih lain dalam Silasa pun membutuhkan keseriusan dalam menangkap pesan yang ingin dibagi. Ini menjadi kekuatan dan daya tarik buku klasik ini. Sayang -meski tak mengurangi kedalaman makna, Silasa tak menyertakan teks dalam aksara lontara. Kalimat-kalimat berbahasa Bugis dituliskan dalam abjad latin.

Waima ini bukan kekurangan yang tak termaafkan, sebab pada sisi lain, pilihan ini membuat buku menjadi lebih ringkas, dan memudahkan pembaca -baik berlatar Bugis maupun bukan- yang tak akrab dengan penggunaan aksara khas Bugis-Makassar ini, untuk bisa tetap menikmati bahasa Bugis. Lagipula, ujaran etik ini layak dipedomani bukan hanya oleh manusia Bugis, melainkan mereka yang masih percaya pada tradisi luhur masa silam.

Mudah-mudahan, penerbit UD. Indah Jaya yang menerbitkan cetakan ketiga Silasa pada tahun 2001, berkenan mencetak ulangnya dengan perwajahan luar dan dalam yang lebih menarik, sehingga generasi muda lebih tertarik untuk mengaji kembali ajaran leluhurnya. Salama'.

Dimuat di MakassarBuku.Net

4 Komentar

  1. Aslkm. Dimana sy bisa beli buku Silasa di atas?
    Mohon bantuannya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waalaikum salam warahmatullah wabarakatuh...

      wah, sepertinya sudah tidak beredar ini buku, Pak.

      Hapus
  2. O iyye ... terima kasih palè maèga

    BalasHapus
  3. O iyye ... terima kasih palè maèga

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama