Membangun Tradisi Positif Warga Terkait Sampah

Ahad pagi, suasana lengang. Hanya beberapa anak lelaki yang hilir mudik bersepeda, menikmati hari libur. Aku memilih menyibukkan diri dengan menyapu dan mengepel lantai teras yang lumayan berdebu. Mungkin lelah, masih menunggang sepeda masing-masing, anak-anak lelaki itu kini memilih bergerombol di pinggir jalan, tepat di depan pintu gerbang rumahku. Kulihat, beberapa mereka memilih menikmati minuman dingin dalam kemasan gelas plastik.

Sempat kudengar perbincangan mereka, sekilas. Mereka berlabun-labun ihwal keseharian mereka di sekolah, meski perbualan itu didominasi dengan keluhan perihal gaya mengajar guru, atau perkara pekerjaan rumah yang lumayan pelik. Semula, aku tak ada niat untuk menyapa mereka. Namun ketika mereka mulai membubarkan diri dan beranjak pergi, kulihat gelas bekas minuman mereka berserak di depan pintu gerbangku. Seketika, aku berteriak lantang, "Tunggu!"

Mereka menghentikan kayuhan kaki di pedal sepeda, aku keluar menemui mereka dan menanyainya satu per satu.
"Siapa yang membuang gelas-gelas itu di sana?" Tanyaku pelan, namun bernada tegas.
"Bukan saya..." Mereka menjawab serentak setelah saling menatap beberapa jenak sebelumnya.
"Kok bisa gelas-gelas itu muncul sendiri di sana, bukannya kalian yang tadi menyedot habis isinya?" Kembali kutatap mereka satu-satu.
"Kau...!" Kali ini mereka saling tunjuk.
"Ayo dong, berani berbuat, harus berani bertanggungjawab. Sampahnya jangan dibuang sembarangan." Kataku lagi. Kembali mereka bersitatap dengan muka masam.

Tiba-tiba, seseorang di antara mereka mengambil inisiatif.
"Ayo deh, pungut gelas masing-masing." Ujarnya sambil beranjak memungut satu gelas terdekat dari kakinya. Tindakannya disusul dengan yang lain, meski dengan muka tetap merengus. Melihat itu, mataku berbinar dan dada penggah. Alhamdulillah, akhirnya mereka sadar juga akan kebersihan lingkungan, batinku. Senyum terukir di sudut bibirku, juga di hatiku.

"Terima kasih ya, Dik. Kalian anak muda hebat!" Pujiku melihat tingkah mereka. Dengan saksama kulihat mereka mengayuh sepeda beranjak pergi, di tangan masing-masing ada gelas plastik. Namun rasa riang itu tak lama. Begitu mereka tiba di tikungan, mataku membelalak menyaksikan mereka melempar gelas plastik di tangannya ke dalam selokan.
*     *     *

Sebuah mobil boks parkir di depan rumahku di suatu sore, seorang remaja tanggung turun dari pintu sisi kiri. Pikirku dia datang untuk mengantar barang kiriman. Rupanya bukan, dia singgah untuk belanja di kios sebelah rumah, sebab tak lama, kulihat dia berjalan ringan dengan tangan kiri memegang minuman dingin dalam kemasan gelas plastik. Tangan kanannya, menjepit sebatang rokok yang sementara tertancap di sela bibirnya.

Sepintas, dari perawakannya, lelaki muda itu kutaksir berusia 15an tahun. Dia menikmati minuman dinginnya melalui pipet, sesekali asap rokok dia keluarkan dari mulut dalam bentuk bulatan-bulatan dengan presisi yang pas. Dengan bersandar di sisi luar pintu mobil yang tertutup, topi merah menyala yang bertengger di atas kepalanya, ikut manggut-manggut seiring irama musik dangdut beraroma disko.

Saat rokoknya pungkas dan minumannya tandas, dengan santai, gelas plastik minumannya dia banting di samping ban mobil, menyusul puntung rokok yang telah lebih dulu mendarat, bahkan penyok digilas alas sandal jepit. Lalu dengan sigap dia buka pintu mobil, dan dia melompat masuk. Temannya yang duduk di belakang setir, sudah mencoba menyalakan mesin mobil, nampaknya mereka akan segera beranjak pergi.

Dengan tangkas, aku membuka pintu pagar, bergerak cepat ke samping mobilnya, untung pula mesin mobilnya belum berhasil menyala pada kesempatan pertama. Pintu mobil kuketuk dengan gagang parang yang sejatinya akan kugunakan untuk menggemburkan tanah di pot bunga depan rumah. Kepala lelaki muda itu melongok keluar dan bertanya, "Ada apa?" Kulihat dia agak terkesiap melihat parang tergenggam mantap di tangan kananku.

"Cuma mau mengingatkan, kalau isinya sudah habis, sampahnya jangan dibuang sembarangan!" Tegasku sambil menujuk gelas plastik bekas minumannya dengan ujung parang. Mendengar itu, dia menatapku selintas lalu menjawab,
"Maaf, Pak."
Dia lantas membuka pintu mobilnya, memungut gelas plastik itu, dan membawanya serta naik ke mobil.
Temannya yang memegang kemudi, lalu menjalankan mobil, melirik ke arahku sambil bersungut-sungut.

Kuiringi kepergiannya dengan senyum kemenangan, sambil menimang-nimang badan parang di tangan kiri. Dasar, tak memiliki kesadaran akan kebersihan lingkungan, batinku. Dan benar saja, belum jauh mobilnya melaju, gelas plastik itu kulihat melayang keluar jendela mobil dan jatuh di tengah jalan, pas depan rumah tetanggaku. Parang kuletakkan di sisi pot, lalu kuurut dadaku, meredakan kesal.
*     *     *

Kejadian ini menyentil kesadaranku untuk mengaitkannya dengan prestasi megah yang diraih kota ini. Makassar berhasil meraih Adipura, bukan hanya tingkat nasional, bahkan berhasil menggondol Adipura ASEAN dalam momentum Asean Environment Day 2017 untuk kategori Clean Land. Namun sayang, ketersediaan dan operasi pasukan Tangkasaki (Truk Angkutan Sampah Kita) di lorong-lorong kota, tak berbanding lurus dengan implementasi LiSA (Lihat Sampah, Ambil).

Nampaknya, sosialisasi LiSA melalui sticker, spanduk, baliho, belumlah cukup. Jangankan kesadaran untuk memungut sampah buangan orang lain di berbagai ruang publik, membuang sampah sendiri pada tempat pembuangan sampah, sulitnya setengah mati. Seperti dua kisah yang kunukil di awal tulisan, mereka belum menyadari bahwa membuang sampah sembarangan adalah perbuatan jorok dan tercela.

Dibutuhkan sinergi seluruh komponen dalam upaya mendorong terbangunnya literasi lingkungan di tengah warga kota. Pemerintah Kota Makassar perlu melibatkan berbagai elemen masyarakat dalam hal ini, seperti pengurus rumah ibadah, organisasi kepemudaan, lembaga pendidikan, serta komunitas-komunitas berbasis hobi. Lalu yang lebih penting, proses sosialisasi tradisi literasi hendaknya meminimalisir aktivitas yang melulu seremonial.

Bukankah akan elok bila sosialisasi kesadaran LiSA diselenggarakan oleh pengurus masjid yang mengintegralkan soal ini dalam kegiatan ibadah dan keagamaan lain yang digelar. Misalnya, masalah kebersihan harus disisipkan dalam setiap khutbah atau ceramah. Bisa pula diajurkan agar jamaah salat mempraktikkan LiSA setiap keluar dari masjid sepanjang jarak sampai ke rumah masing-masing, seusai salat berjamaah.

Perilaku memungut sampah bisa pula diinjeksikan pada berbagai aktivitas organisasi kepemudaan, lembaga pendidikan, serta komunitas-komunitas berbasis hobi. Tinggal membangun komitmen bersama untuk melakukan pembersihan seusai melaksanakan aktivitas lembaga dan komunitasnya masing-masing, atau menyiapkan tempat sampah pada setiap kegiatan. Tinggal bagaimana kita mencoba memulai, dan menjadikan ini sebagai tradisi positif pada lembaga dan komunitas kita. Sederhana bukan?

Dimuat di MakassarBicara.Com pada 18 Oktober 2017

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama