Tahi Lalat Di Tengkuk I Rahing

PEXELS/Anastasiya Lobanovskaya

"Alhamdulillah ya Allah, akhirnya kau dekatkan jodoh anakku. Tabbukka'ni kasi' parekkusenna anakku'..." Gumam Daeng Parani usai menerima kedatangan utusan seorang pemuda yang datang mammanu'-manu', melakukan pembicaraan pendahuluan sebelum melakukan acara lamaran secara resmi.

"Jangan senang dulu, prosesnya masih panjang." Tanggap istrinya, Daeng Malebbi dengan masygul sambil membereskan cangkir-cangkir dan piring penganan.

"Insyaallah, semoga prosesnya lancar."

"Bukan begitu, Daeng."

"Untuk hal-hal yang baik, tentu Allah akan memperlancar." Daeng Parani mengelus punggung istrinya.

"Saya khawatir, bukankah I Sitti punya..."

"Jangan terlalu banyak pikiran, apalagi untuk hal-hal yang tidak pasti."

"Kita juga belum menanyakan kesiapan I Sitti mengenai hal ini, Daeng. Takutnya ia akan kecewa."

"Nanti kita ajak dia bicara kalau dia pulang, setelah makan malam." Daeng Parani beranjak masuk ke kamar, sepertinya akan bersalin baju, azan duhur sebentar lagi berkumandang.

*

Pagi, hujan mengguyur deras. Meski demikian, keramaian di rumah Daeng Parani seakan tak terpengaruh. Ibu-ibu sibuk di dapur menyiapkan penganan tradisional: barongko, beppa pute, doko-doko utti, doko-doko cangkuli, dan banyak lagi yang lain. Sementara gadis remaja berjibaku merias ruang tamu dengan berbagai rangkaian pita berwarna cerah. Tak lupa, meja kursi disingkirkan ke kolong rumah. Di kampung itu, mayoritas rumah warga memanglah rumah panggung, termasuk rumah Daeng Parani, sehingga kolong rumah bisa dimanfaatkan untuk menerima tamu. Seperti keadaan rumah Daeng Parani pagi itu.

Saat orang tuanya yang dibantu para tetangga sibuk menyiapkan penyambutan tamu, I Sitti mematut-matut diri di cermin, sudah beberapa lembar jilbab yang dia coba, belum ada yang warnanya klop dengan warna pakaian pesta yang disewa ibunya. Ia memutuskan menggunakan jilbabnya sendiri, jilbab dari persewaan dirasanya terlalu mencolok, dia kurang suka warna terang.

"Selamat ya Sitti, akhirnya masa lajangmu akan segera berakhir, jangan lupa doakan saya agar segera menyusul ya." Halimah yang menemaninya berdandan, merajuk manja sambil menarik-narik ujung gaun I Sitti.

"Ini juga baru mau mappettu ada, Halimah. Baru lamaran." I Sitti berkilah, tetapi senyum bahagia mengembang di sudut bibirnya.

"Iya, tapi ini sudah selangkah lebih maju dibanding kami, ya kan Zaenab?" Halimah mencari dukungan dari Zaenab. Mereka bertiga memang sahabat dekat sejak sekolah dasar.

"Tapi bukannya I Rahing dekat dengan I Ramellah, sepupumu?"

"Iya, dan bukankah kamu yang membantu hubungan mereka?"

"Apa kamu tak takut menjadi pagar makan tanaman?"

"Kamu lupa dengan petuah orang tua? Teng masiri kajompie, tania taro jelle', na iyya makkalu."

"Hai, apa artinya itu?"

"Sungguh tak punya malu si kacang panjang, bukan dia yang memasang ajir, dia yang menjalar dan melilit."

"Jadi, maksud kalian, saya ini seperti kajompi? Kacang panjang?" Mata I Sitti pura-pura mendelik. Halimah dan Zaenab terbahak melihat respon sahabatnya.

"Putri Kacang Panjang."

"Bukan, Putri Kajompi lebih keren. Hahahaha...."

Halimah dan Zaenab tak berhenti berkomentar menggoda sahabatnya yang sibuk mematut-matut diri di depan cermin. Hujan juga masih terus turun, jam dinding sudah menunjukkan pukul 08.30 pagi. Setengah jam lagi, rombongan keluarga I Rahing akan bertandang. Keluarga I Sitti sudah memenuhi setengah ruang tamu dengan pakaian gemerlap. Hari itu, menjadi hari penentu apakah I Rahing berhasil mempersunting I Sitti, atau kisah mereka akan berakhir dengan sepenggal kalimat pintas, lamaran ditolak! Sebab toh, mereka memang bukan sepasang kekasih, sesuatu yang tabu di kampung mereka. Bila mencintai, buktikan dengan lamaran.

Rombongan I Rahing tiba dengan tiga mobil angkot, pete'-pete' carteran. Anak-anak tetangga yang sudah disiagakan dengan payung di tangan masing-masing, dengan lincah bergerak memayungi para tamu. Sebentar saja, ruang tamu telah penuh, sebagian rombongan memilih mengisi kursi di kolong rumah, toh mereka juga hanya ikut meramaikan saja, yang akan berbicara dalam acara lamaran telah duduk dengan tenang di ruang tamu. Meski cuaca di luar lumayan dingin, tetapi suasana menjadi sedikit tegang. Tetamu dan penyambut tamu hanya saling melirik dalam diam.

"Enre'ki ri bola, teng jali teng tappere, mamuare' mase-mase. Selamat Datang Nak Rahing dan keluarga di rumah kami yang sederhana, semoga penyambutan kami bisa dirasa hangat di hari, meski hari ini hujan demikian deras." Daeng Manyonri, salah satu paman I Sitti yang ditunjuk menjadi juru bicara keluarga, mencoba memecahkan suasana. Para hadirin menarik nafas panjang, berusaha mengurai ketegangan di wajah. Sebab memang, proses lamaran dalam tradisi Bugis, tak ubahnya dengan perang urat syaraf melalui negosiasi nan panjang dan melelahkan.

Daeng Manyonri melanjutkan, "Ayo dicicipi teh dan kopi panasnya, tainungngi kopitta' Puang, biar kita bisa lebih hangat dan perbincangan kita nanti akan lebih cair dan tidak memberatkan salah satu pihak."

"Terima kasih atas sambutan keluarga Nak Sitti. Insyaallah, sebagai pihak yang datang, kami akan berusaha menyesuaikan diri untuk memenuhi permintaan dari tuan rumah. Toh memang kami yang berada dalam posisi datang untuk meminta, Tabe' Puang..." Daeng Matteru, juru bicara keluarga I Rahing juga mulai bersuara, sambil mengelus-elus kumis dan janggutnya. Pandangannya berusaha menyapu seluruh wajah para hadirin, terutama rombongan keluarga I Sitti, samar terlihat mulutnya merapal mantra, mungkin untuk melunakkan hati.

"Madecenni kapang narekko ripammulai bicarae, Puang. Alangkah baiknya bila kita mulai saja pembicaraan. Apa gerangan yang membawa Nak Rahing dan keluarga jauh dari kampung sebelah bertandang ke mukim kami yang sederhana ini." Daeng Manyonri memancing pembicaraan.

"Tiada lain tujuan kami adalah kebaikan, Puang. Deceng mi ri akkatta." Timpal Daeng Matteru. Lanjutnya, "Kami berniat memperkuat hubungan silaturahmi dan kekerabatan antara dua keluarga dengan menyampaikan niat untuk melamar I Sitti untuk diperistri oleh anak kemenakan kami, I Rahing."

"Bila niat Nak Rahing memang tulus, kami akan sambut dengan tangan terbuka. Tapi tentu kami juga perlu meminta tanggapan dari anak kemenakan kami, I Sitti."

Setelah I Sitti mengiyakan pertanyaan pamannya, pembicaraan antara dua keluarga yang diwakili oleh Daeng Manyonri dan Daeng Matteru, berlanjut. Pembahasan soal jumlah doi pappenre', menyita waktu paling lama. Sebab ini menjadi pertaruhan harga diri sebuah keluarga, baik bagi si perempuan, maupun keluarga laki-laki. Meski sesungguhnya ini bukan berarti bahwa kualitas seorang perempuan dihargai dengan senilai uang. Justru karena seorang perempuan tak ternilai, maka dia layak dinilai setinggi-tingginya. Di samping itu, Ini juga menjadi batu uji bagi keseriusan seorang lelaki dalam meminang gadis pujaannya.

"Jangan khawatir Puang, selain doi pappenre', kami keluarga I Rahing juga akan menyertakan dua pikul beras dan seekor sapi." Terang Daeng Matteru.

"Alhamdulillah, terima kasih. Bagaimana dengan sompa?"

"Sudah disiapkan sepetak sawah ri attang salo, di selatan sungai Walanae. Ini belum termasuk hadiah yang disiapkan oleh calon mertua dan ipar-iparnya nanti bila dia datang marola, sowan ke keluarga suaminya."

Pembahasan merambat dari penentuan jenis leko', antaran pengantin yang harus dibawa, penentuan hari pernikahan, serta siapa yang harus menanggung biaya penyewaan baju pengantin. semua berlangsung dengan alot, bahkan pembicaraan baru berakhir ketika jarum jam telah menunjuk angka sebelas.

Ketika Daeng Manyonri sebagai tuan rumah akan mengakhiri pembicaraan dan menyilakan para tamunya untuk bersantap siang, tiba-tiba Daeng Mallongi, kakak lelaki dari ibunya I Sitti angkat suara.

"Sabbara'ki' Daeng. Sabarlah, tunggu sebentar."

"Ada apa?" Daeng Manyonri mewakili hadiri yang bertanya-tanya.

"Saya ingin menambahkan syarat, dan ini tak bisa ditawar-tawar."

"Aja' mupakasirika', aja'to muappakasiri'. Jangan membuatku malu, jangan pula mempermalukan, Longi. Semua telah kita sepakati." Suara Daeng Manyonri meninggi. Keluarga I Rahing ikut menegang.

"Bukan begitu, Daeng."

"Bukan begitu bagaimana?"

"Saya mendapatkan informasi kalau I Rahing ini patula, berpotensi mencelakai. Natulai matu' bainena. Dia akan celakai siapa yang menjadi istrinya."

"Jangan bicara sembarangan! Mupakasirika'! Kau mempermalukanku!?" Daeng Matteru bangkit dari duduknya, berlutut sambil memegang hulu badiknya.

"Dia punya tahi lalat di tengkuknya!" Daeng Mallongi menunjuk I Rahing.

Mendengar itu, seluruh yang hadir tertunduk lesu. terdengan kasak-kusuk bisikan berseliweran. Masyarakat Bugis memang meyakini bahwa seseorang yang mempunyai tahi lalat di tengkuknya, berpotensi besar mencelakai pasangannya.

"Benar, demikian Rahing?" Tanya Daeng Matteru ke I Rahing.

"Iyye' Puang. Memang ada tahi lalat di tengkukku."

*

Malam sebelumnya, di rumah Daeng Mallongi.

"Etta, bagaimana ini?" Rajuk I Ramellah pada ayahnya, Daeng Mallongi.

"Bagaimana apa?"

"I Sitti sudah mau menikah."

"Harusnya kamu bersyukur, sepupumu telah ketemu jodohnya."

"Tapi saya lebih tua, Etta."

"Jodoh itu urusan Tuhan, Nak. Kita tak berhak turut campur."

"Saya malu selalu diledek, makkunrai nasorosi pasa. Perempuan yang tak laku-laku."

"Jadi, apa maumu? Haruskah aku segera mencarikanmu calon suami?"

"Bukan begitu maksudku."

"Jadi?"

"Pernikahan ini harus dibatalkan, Etta!"

"Apa hak kita? Apalagi I Sitti itu sepupumu."

"Saya tak mau tahu, apalagi I Sitti akan menikah dengan I Rahing, saya tak rela."

"Apa buruknya I Rahing? Rajin bekerja dan beribadah, juga dari keluarga baik-baik."

"I Rahing bukan lelaki yang baik!"

"Eh...?"

"I Rahing pernah mendekatiku, tapi tiba-tiba ia berpaling ke I Sitti. Dia tak setia."

Mendengar penjelasan anaknya, Daeng Mallongi berpikir keras.

"Apa kamu tega membuat I Sitti kecewa?"

"Dia pantas kecewa telah merebut I Rahing dariku, mereka berdua layak menderita." Giginya gemeretak menahan amarah.

"I Rahing itu orowane patula, lelaki yang berpotensi mencelakai."

"Maksudmu?"

"Dia punya tahi lalat di tengkuknya."

"Kalau begitu ia juga tak cocok untukmu, apa kamu tak takut? Natulako matu'. Dia akan mencelakaimu."

"Bisa dioperasi kalau dia mau."

*

Dengan langkah tergesa, Daeng Matteru mendaki tangga rumah Daeng Parani. Setelah disilakan duduk oleh tuan rumah, tanpa basa-basi ia menyampaikan warita penting.

"I Rahing..." Ujar Daeng Matteru tercekat.

"Ada apa? Kenapa dengan I Rahing?" Buru Daeng Parani.

"I Rahing..."

"Silakan diminum dulu, Puang." I Sitti muncul dari dalam, menyodorkan segelas air putih.

Setelah minum dan mengatur nafasnya, Daeng Matteru memandang wajah Daeng Parani dan I Sitti secara bergantian. Wajah Daeng Malebbi yang menyusul I Sitti dari dalam, memucat.

"Mallimbangngi ri majeng I Rahing. Dia telah mendahului kita semua, menemui penciptanya." Seperti palu godam, penjelasan Daeng Matteru meremukkan mozaik harapan yang mulai terangkai di hati I Sitti, juga Daeng Parani.

"Apa yang terjadi?" Suara Daeng Parani bergetar.

"Semalam, ia menjalani operasi untuk mengangkat tahi lalat di tengkuknya. Tak tahunya...

"Daeng..." Daeng Malebbi jatuh bersimpuh di samping suaminya. I Sitti berlari ke kamarnya sambil membekap mulut, mencegah tangisnya membuncah. Daeng Matteru pamit dengan mata sembab.

"Kita tak bisa menolak takdir, kita tinggal menjalani. Pura nappattentu Puangnge." Daeng Parani menenangkan istrinya.

Lamat-lamat terdengar isak tertahan dari kamar. Kesedihan menguar.

"Sabarkan anakmu." Lanjutnya.

Daeng Malebbi segera berdiri menyeka bulir kening di sudut matanya, beranjak ke kamar anaknya, meninggalkan suaminya yang termangu dengan wajah sendu. Di kamar, I Sitti mencanguk di sudut tilam, menghadap ke jendela, memeluk guling. Rambut panjangnya terurai nenutupi sebagian wajahnya. Jilbabnya tergeletak di lantai kamar.

Perlahan Daeng Malebbi melangkah masuk lalu menutup pintu. Dipungutnya jilbab dari lantai, disampirkan di terali ranjang. I Sitti tak mengacuhkan ibunya yang berdiri tepat di belakang punggungnya, iya tetap larut dengan denga kesedihan yang membelasah kalbunya. Mulutnya sesenggukan. Daeng Malebbi menggigit bibirnya, berjuang menahan pedih, tak ingin larut dalam perih yang ditanggung anaknya.

"Sitti..." Serunya, I Sitti bergeming.

"Sitti..." I Sitti tetap mematung.

Daeng Malebbi berjalan ke depan anaknya, memunggungi jendela. Diangkatnya kepala I Sitti, berusaha ditatapnya wajah anaknya. Berusaha mengalirkan semangat melalui kontak mata, tatapan I Sitti demikian sayu. Daeng Malebbi kian maju, disandarkannya kepala I Sitti di dadanya. Tangan kirinya merangkul bahu anaknya. Jemari tangan kanannya menyusur di sela rambut I Sitti. Mulutnya mendendangkan galigo pintas dengan suara berat.

iyya teppaja usappa

paccolli' lolo engngi

aju marakkkoe*

Tangan Daeng Malebbi berhenti tepat di tengkuk anaknya, di sana terdapat tahi lalat yang selalu menjadi beban pikirannya.

 

* iya yang tak henti kucari adalah iya yang mampu membuat kayu kering bertunas kembali

** ilustrasi dari PEXELS/Anastasiya Lobanovskaya 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama