"Alhamdulillah ya Allah, akhirnya kau dekatkan jodoh anakku. Tabbukka'ni kasi' parekkusenna anakku'..." Gumam Daeng Parani usai menerima kedatangan utusan seorang pemuda yang datang mammanu'-manu', melakukan pembicaraan pendahuluan sebelum melakukan acara lamaran secara resmi.
"Jangan
senang dulu, prosesnya masih panjang." Tanggap istrinya, Daeng Malebbi
dengan masygul sambil membereskan cangkir-cangkir dan piring penganan.
"Insyaallah,
semoga prosesnya lancar."
"Bukan
begitu, Daeng."
"Untuk
hal-hal yang baik, tentu Allah akan memperlancar." Daeng Parani mengelus
punggung istrinya.
"Saya
khawatir, bukankah I Sitti punya..."
"Jangan
terlalu banyak pikiran, apalagi untuk hal-hal yang tidak pasti."
"Kita
juga belum menanyakan kesiapan I Sitti mengenai hal ini, Daeng. Takutnya ia
akan kecewa."
"Nanti
kita ajak dia bicara kalau dia pulang, setelah makan malam." Daeng Parani
beranjak masuk ke kamar, sepertinya akan bersalin baju, azan duhur sebentar
lagi berkumandang.
*
Pagi,
hujan mengguyur deras. Meski demikian, keramaian di rumah Daeng Parani seakan
tak terpengaruh. Ibu-ibu sibuk di dapur menyiapkan penganan tradisional: barongko,
beppa pute, doko-doko utti, doko-doko cangkuli, dan banyak lagi yang lain.
Sementara gadis remaja berjibaku merias ruang tamu dengan berbagai rangkaian
pita berwarna cerah. Tak lupa, meja kursi disingkirkan ke kolong rumah. Di
kampung itu, mayoritas rumah warga memanglah rumah panggung, termasuk rumah
Daeng Parani, sehingga kolong rumah bisa dimanfaatkan untuk menerima tamu.
Seperti keadaan rumah Daeng Parani pagi itu.
Saat
orang tuanya yang dibantu para tetangga sibuk menyiapkan penyambutan tamu, I
Sitti mematut-matut diri di cermin, sudah beberapa lembar jilbab yang dia coba,
belum ada yang warnanya klop dengan warna pakaian pesta yang disewa ibunya. Ia
memutuskan menggunakan jilbabnya sendiri, jilbab dari persewaan dirasanya
terlalu mencolok, dia kurang suka warna terang.
"Selamat
ya Sitti, akhirnya masa lajangmu akan segera berakhir, jangan lupa doakan saya
agar segera menyusul ya." Halimah yang menemaninya berdandan, merajuk
manja sambil menarik-narik ujung gaun I Sitti.
"Ini
juga baru mau mappettu ada, Halimah. Baru lamaran." I Sitti
berkilah, tetapi senyum bahagia mengembang di sudut bibirnya.
"Iya,
tapi ini sudah selangkah lebih maju dibanding kami, ya kan Zaenab?"
Halimah mencari dukungan dari Zaenab. Mereka bertiga memang sahabat dekat sejak
sekolah dasar.
"Tapi
bukannya I Rahing dekat dengan I Ramellah, sepupumu?"
"Iya,
dan bukankah kamu yang membantu hubungan mereka?"
"Apa
kamu tak takut menjadi pagar makan tanaman?"
"Kamu
lupa dengan petuah orang tua? Teng masiri kajompie, tania taro jelle', na
iyya makkalu."
"Hai,
apa artinya itu?"
"Sungguh
tak punya malu si kacang panjang, bukan dia yang memasang ajir, dia yang
menjalar dan melilit."
"Jadi,
maksud kalian, saya ini seperti kajompi? Kacang panjang?" Mata I
Sitti pura-pura mendelik. Halimah dan Zaenab terbahak melihat respon
sahabatnya.
"Putri
Kacang Panjang."
"Bukan,
Putri Kajompi lebih keren. Hahahaha...."
Halimah
dan Zaenab tak berhenti berkomentar menggoda sahabatnya yang sibuk
mematut-matut diri di depan cermin. Hujan juga masih terus turun, jam dinding
sudah menunjukkan pukul 08.30 pagi. Setengah jam lagi, rombongan keluarga I
Rahing akan bertandang. Keluarga I Sitti sudah memenuhi setengah ruang tamu
dengan pakaian gemerlap. Hari itu, menjadi hari penentu apakah I Rahing
berhasil mempersunting I Sitti, atau kisah mereka akan berakhir dengan
sepenggal kalimat pintas, lamaran ditolak! Sebab toh, mereka memang bukan
sepasang kekasih, sesuatu yang tabu di kampung mereka. Bila mencintai, buktikan
dengan lamaran.
Rombongan
I Rahing tiba dengan tiga mobil angkot, pete'-pete' carteran. Anak-anak
tetangga yang sudah disiagakan dengan payung di tangan masing-masing, dengan
lincah bergerak memayungi para tamu. Sebentar saja, ruang tamu telah penuh,
sebagian rombongan memilih mengisi kursi di kolong rumah, toh mereka juga hanya
ikut meramaikan saja, yang akan berbicara dalam acara lamaran telah duduk
dengan tenang di ruang tamu. Meski cuaca di luar lumayan dingin, tetapi suasana
menjadi sedikit tegang. Tetamu dan penyambut tamu hanya saling melirik dalam
diam.
"Enre'ki
ri bola, teng jali teng tappere, mamuare' mase-mase. Selamat Datang Nak
Rahing dan keluarga di rumah kami yang sederhana, semoga penyambutan kami bisa
dirasa hangat di hari, meski hari ini hujan demikian deras." Daeng
Manyonri, salah satu paman I Sitti yang ditunjuk menjadi juru bicara keluarga,
mencoba memecahkan suasana. Para hadirin menarik nafas panjang, berusaha
mengurai ketegangan di wajah. Sebab memang, proses lamaran dalam tradisi Bugis,
tak ubahnya dengan perang urat syaraf melalui negosiasi nan panjang dan
melelahkan.
Daeng
Manyonri melanjutkan, "Ayo dicicipi teh dan kopi panasnya, tainungngi
kopitta' Puang, biar kita bisa lebih hangat dan perbincangan kita nanti
akan lebih cair dan tidak memberatkan salah satu pihak."
"Terima
kasih atas sambutan keluarga Nak Sitti. Insyaallah, sebagai pihak yang datang,
kami akan berusaha menyesuaikan diri untuk memenuhi permintaan dari tuan rumah.
Toh memang kami yang berada dalam posisi datang untuk meminta, Tabe'
Puang..." Daeng Matteru, juru bicara keluarga I Rahing juga mulai
bersuara, sambil mengelus-elus kumis dan janggutnya. Pandangannya berusaha
menyapu seluruh wajah para hadirin, terutama rombongan keluarga I Sitti, samar
terlihat mulutnya merapal mantra, mungkin untuk melunakkan hati.
"Madecenni
kapang narekko ripammulai bicarae, Puang. Alangkah baiknya bila kita mulai
saja pembicaraan. Apa gerangan yang membawa Nak Rahing dan keluarga jauh dari
kampung sebelah bertandang ke mukim kami yang sederhana ini." Daeng
Manyonri memancing pembicaraan.
"Tiada
lain tujuan kami adalah kebaikan, Puang. Deceng mi ri akkatta."
Timpal Daeng Matteru. Lanjutnya, "Kami berniat memperkuat hubungan
silaturahmi dan kekerabatan antara dua keluarga dengan menyampaikan niat untuk
melamar I Sitti untuk diperistri oleh anak kemenakan kami, I Rahing."
"Bila
niat Nak Rahing memang tulus, kami akan sambut dengan tangan terbuka. Tapi
tentu kami juga perlu meminta tanggapan dari anak kemenakan kami, I
Sitti."
Setelah
I Sitti mengiyakan pertanyaan pamannya, pembicaraan antara dua keluarga yang
diwakili oleh Daeng Manyonri dan Daeng Matteru, berlanjut. Pembahasan soal
jumlah doi pappenre', menyita waktu paling lama. Sebab ini menjadi
pertaruhan harga diri sebuah keluarga, baik bagi si perempuan, maupun keluarga
laki-laki. Meski sesungguhnya ini bukan berarti bahwa kualitas seorang
perempuan dihargai dengan senilai uang. Justru karena seorang perempuan tak
ternilai, maka dia layak dinilai setinggi-tingginya. Di samping itu, Ini juga
menjadi batu uji bagi keseriusan seorang lelaki dalam meminang gadis pujaannya.
"Jangan
khawatir Puang, selain doi pappenre', kami keluarga I Rahing juga akan
menyertakan dua pikul beras dan seekor sapi." Terang Daeng Matteru.
"Alhamdulillah,
terima kasih. Bagaimana dengan sompa?"
"Sudah
disiapkan sepetak sawah ri attang salo, di selatan sungai Walanae. Ini
belum termasuk hadiah yang disiapkan oleh calon mertua dan ipar-iparnya nanti
bila dia datang marola, sowan ke keluarga suaminya."
Pembahasan
merambat dari penentuan jenis leko', antaran pengantin yang harus
dibawa, penentuan hari pernikahan, serta siapa yang harus menanggung biaya
penyewaan baju pengantin. semua berlangsung dengan alot, bahkan pembicaraan
baru berakhir ketika jarum jam telah menunjuk angka sebelas.
Ketika
Daeng Manyonri sebagai tuan rumah akan mengakhiri pembicaraan dan menyilakan
para tamunya untuk bersantap siang, tiba-tiba Daeng Mallongi, kakak lelaki dari
ibunya I Sitti angkat suara.
"Sabbara'ki'
Daeng. Sabarlah, tunggu sebentar."
"Ada
apa?" Daeng Manyonri mewakili hadiri yang bertanya-tanya.
"Saya
ingin menambahkan syarat, dan ini tak bisa ditawar-tawar."
"Aja'
mupakasirika', aja'to muappakasiri'. Jangan membuatku malu, jangan pula
mempermalukan, Longi. Semua telah kita sepakati." Suara Daeng Manyonri
meninggi. Keluarga I Rahing ikut menegang.
"Bukan
begitu, Daeng."
"Bukan
begitu bagaimana?"
"Saya
mendapatkan informasi kalau I Rahing ini patula, berpotensi mencelakai. Natulai
matu' bainena. Dia akan celakai siapa yang menjadi istrinya."
"Jangan
bicara sembarangan! Mupakasirika'! Kau mempermalukanku!?" Daeng
Matteru bangkit dari duduknya, berlutut sambil memegang hulu badiknya.
"Dia
punya tahi lalat di tengkuknya!" Daeng Mallongi menunjuk I Rahing.
Mendengar
itu, seluruh yang hadir tertunduk lesu. terdengan kasak-kusuk bisikan
berseliweran. Masyarakat Bugis memang meyakini bahwa seseorang yang mempunyai
tahi lalat di tengkuknya, berpotensi besar mencelakai pasangannya.
"Benar,
demikian Rahing?" Tanya Daeng Matteru ke I Rahing.
"Iyye'
Puang. Memang ada tahi lalat di tengkukku."
*
Malam
sebelumnya, di rumah Daeng Mallongi.
"Etta,
bagaimana ini?" Rajuk I Ramellah pada ayahnya, Daeng Mallongi.
"Bagaimana
apa?"
"I
Sitti sudah mau menikah."
"Harusnya
kamu bersyukur, sepupumu telah ketemu jodohnya."
"Tapi
saya lebih tua, Etta."
"Jodoh
itu urusan Tuhan, Nak. Kita tak berhak turut campur."
"Saya
malu selalu diledek, makkunrai nasorosi pasa. Perempuan yang tak
laku-laku."
"Jadi,
apa maumu? Haruskah aku segera mencarikanmu calon suami?"
"Bukan
begitu maksudku."
"Jadi?"
"Pernikahan
ini harus dibatalkan, Etta!"
"Apa
hak kita? Apalagi I Sitti itu sepupumu."
"Saya
tak mau tahu, apalagi I Sitti akan menikah dengan I Rahing, saya tak
rela."
"Apa
buruknya I Rahing? Rajin bekerja dan beribadah, juga dari keluarga
baik-baik."
"I
Rahing bukan lelaki yang baik!"
"Eh...?"
"I
Rahing pernah mendekatiku, tapi tiba-tiba ia berpaling ke I Sitti. Dia tak
setia."
Mendengar
penjelasan anaknya, Daeng Mallongi berpikir keras.
"Apa
kamu tega membuat I Sitti kecewa?"
"Dia
pantas kecewa telah merebut I Rahing dariku, mereka berdua layak
menderita." Giginya gemeretak menahan amarah.
"I
Rahing itu orowane patula, lelaki yang berpotensi mencelakai."
"Maksudmu?"
"Dia
punya tahi lalat di tengkuknya."
"Kalau
begitu ia juga tak cocok untukmu, apa kamu tak takut? Natulako matu'.
Dia akan mencelakaimu."
"Bisa
dioperasi kalau dia mau."
*
Dengan
langkah tergesa, Daeng Matteru mendaki tangga rumah Daeng Parani. Setelah
disilakan duduk oleh tuan rumah, tanpa basa-basi ia menyampaikan warita
penting.
"I
Rahing..." Ujar Daeng Matteru tercekat.
"Ada
apa? Kenapa dengan I Rahing?" Buru Daeng Parani.
"I
Rahing..."
"Silakan
diminum dulu, Puang." I Sitti muncul dari dalam, menyodorkan segelas air
putih.
Setelah
minum dan mengatur nafasnya, Daeng Matteru memandang wajah Daeng Parani dan I
Sitti secara bergantian. Wajah Daeng Malebbi yang menyusul I Sitti dari dalam,
memucat.
"Mallimbangngi
ri majeng I Rahing. Dia telah mendahului kita semua, menemui penciptanya."
Seperti palu godam, penjelasan Daeng Matteru meremukkan mozaik harapan yang
mulai terangkai di hati I Sitti, juga Daeng Parani.
"Apa
yang terjadi?" Suara Daeng Parani bergetar.
"Semalam,
ia menjalani operasi untuk mengangkat tahi lalat di tengkuknya. Tak tahunya...
"Daeng..."
Daeng Malebbi jatuh bersimpuh di samping suaminya. I Sitti berlari ke kamarnya
sambil membekap mulut, mencegah tangisnya membuncah. Daeng Matteru pamit dengan
mata sembab.
"Kita
tak bisa menolak takdir, kita tinggal menjalani. Pura nappattentu
Puangnge." Daeng Parani menenangkan istrinya.
Lamat-lamat
terdengar isak tertahan dari kamar. Kesedihan menguar.
"Sabarkan
anakmu." Lanjutnya.
Daeng
Malebbi segera berdiri menyeka bulir kening di sudut matanya, beranjak ke kamar
anaknya, meninggalkan suaminya yang termangu dengan wajah sendu. Di kamar, I
Sitti mencanguk di sudut tilam, menghadap ke jendela, memeluk guling. Rambut
panjangnya terurai nenutupi sebagian wajahnya. Jilbabnya tergeletak di lantai
kamar.
Perlahan
Daeng Malebbi melangkah masuk lalu menutup pintu. Dipungutnya jilbab dari
lantai, disampirkan di terali ranjang. I Sitti tak mengacuhkan ibunya yang
berdiri tepat di belakang punggungnya, iya tetap larut dengan denga kesedihan
yang membelasah kalbunya. Mulutnya sesenggukan. Daeng Malebbi menggigit
bibirnya, berjuang menahan pedih, tak ingin larut dalam perih yang ditanggung
anaknya.
"Sitti..."
Serunya, I Sitti bergeming.
"Sitti..."
I Sitti tetap mematung.
Daeng
Malebbi berjalan ke depan anaknya, memunggungi jendela. Diangkatnya kepala I
Sitti, berusaha ditatapnya wajah anaknya. Berusaha mengalirkan semangat melalui
kontak mata, tatapan I Sitti demikian sayu. Daeng Malebbi kian maju,
disandarkannya kepala I Sitti di dadanya. Tangan kirinya merangkul bahu
anaknya. Jemari tangan kanannya menyusur di sela rambut I Sitti. Mulutnya
mendendangkan galigo pintas dengan suara berat.
iyya teppaja usappa
paccolli' lolo engngi
aju marakkkoe*
Tangan
Daeng Malebbi berhenti tepat di tengkuk anaknya, di sana terdapat tahi lalat
yang selalu menjadi beban pikirannya.
*
iya yang tak henti kucari adalah iya yang mampu membuat kayu kering bertunas
kembali
** ilustrasi dari PEXELS/Anastasiya Lobanovskaya