Efektivitas Pengawasan Netralitas ASN Di Pemilu


Beberapa waktu lalu, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), merilis Provinsi dengan Indeks Kerawanan Pemilu Tertinggi. Dalam rilis tersebut, Bawaslu mengungkap terdapat 22 provinsi dengan potensi kerawanan netralitas aparatur sipil negara (ASN) pada Pemilu 2024. Dari jumlah tersebut, setidaknya ada 10 provinsi dengan kerawanan netralitas ASN tinggi yang perlu mendapatkan perhatian, Sulsel salah satu di antaranya.

Provinsi Maluku Utara menduduki posisi pertama dengan skor maksimal, 100 poin. Disusul Sulawesi Utara (55,87 poin), Banten (22,98 poin), Sulawesi Selatan (21,93 poin), Nusa Tenggara Timur (9,4 poin), Kalimantan Timur (6,01 poin), Jawa Barat (5,48 poin), Sumatera Barat (4,96 poin), serta Gorontalo dan Lampung mendapatkan poin yang sama, 3,9 poin.

Menurut Bawaslu, pelanggaran netralitas ASN termasuk dalam salah satu dari empat isu kerawanan pemilihan umum (pemilu). Dalam konteks Sulsel, dengan poin 21,93 dan berada di urutan keempat secara nasional, hal ini patut mendapatkan perhatian dari pemangku kepentingan di Sulsel, baik Badan Kepegawaian Daerah, dan terutama Inspektorat Daerah yang menjadi ujung tombak pengawasan internal pemerintah.

Seakan membenarkan rilis Bawaslu soal tingginya potensi pelanggaran netralitas ASN di Sulsel, seorang Camat di Parepare dilaporkan ke Bawaslu karena diduga memberikan dukungan ke salah satu caleg DPRD Parepare. Bawaslu Makassar juga sementara menyelidiki dugaan keterlibatan ASN Pemprov. Sulsel dalam acara jalan sehat bersama salah satu Capres, di Makassar (25/11/2023).

Sayang, meski Pasal 93 huruf f Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2023 memberi kewenangan kepada Bawaslu untuk mengawasi netralitas ASN, Bawaslu tidak diberi kewenangan memberi sanksi, melainkan hanya meneruskan temuan dan laporan kepada instansi lain yang berwenang, terutama ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).

Asas Netralitas ASN

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara dalam Pasal 2 menyebutkan bahwa salah satu asas penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN adalah netralitas. Asas netralitas ini bermakna bahwa setiap pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan lain di luar kepentingan bangsa dan negara. 

Dalam konteks pelaksanaan pemilu, larangan berpihak bagi ASN diatur lebih detail dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil bahwa seorang PNS dilarang memberikan dukungan kepada calon presiden/wakil presiden, calon kepala daerah/wakil kepala daerah, calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat, calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah, calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dengan ancaman hukuman disiplin sedang sampai berat.

Larangan tersebut mencakup larangan ikut kampanye dengan menggunakan atribut partai atau atribut PNS, mengerahkan PNS lain, atau menggunakan fasilitas negara. Lebih dari itu, PNS juga dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan serta mengadakan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye. Apalagi memberikan surat dukungan disertai fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau Surat Keterangan Tanda Penduduk.

Bahkan, Surat Keputusan Besar (SKB) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Netralitas Pegawai Aparatur Sipil Negara dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum dan Pemilihan, mengatur sampai pada larangan membuat posting, comment, share, like, follow dalam grup/akun pemenangan bakal calon peserta pemilu, termasuk mem-posting pada media sosial/media lain yang bisa diakses publik.

Keseriusan pemerintah dalam melakukan pembinaan dan pengawasan netralitas ASN dalam pemilu didasari oleh fakta, betapa masih tingginya pelanggaran netralitas ini. Laporan Kinerja BKN Tahun 2020, mengungkap bahwa 1.005 orang ASN yang terbukti melanggar netralitas pada Pilkada Serentak tahun 2020. Tak jauh berbeda, KASN mencatat ada 1.678 pelanggaran netralitas ASN pada periode 2020 —2022 dalam berbagai bentuk, yang terjadi di lingkungan birokrasi dan ASN kementerian/lembaga/daerah. 

Ikhtiar Mengawasi Netralitas ASN

Tingginya pelanggaran netralitas ASN selama ini merupakan tantangan bagi pembina dan pengawasa untuk meminimalisir jumlah tersebut melalui berbagai upaya pembinaan, pengawasan, dan penegakan hukum (terutama sanksi administratif) yang dilakukan secara transparansi dan akuntabel atas pelanggaran netralitas ASN, terutama sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye. 

Salah satu domain pelanggaran netralitas ASN yang paling sering dilakukan adalah membuat posting-an (termasuk comment, share, like, follow) di media sosial. Data KASN menunjukkan bahwa pada Pilkada Serentak tahun 2020, pelanggaran kampanye di media sosial mencapai 30,4% dari seluruh pelanggaran netrallitas ASN yang terjadi pada kurun waktu yang sama.

Fakta ini, membutuhkan langkah pengawasan yang tidak biasa, senergitas dengan saling berbagi informasi dan data antara lembaga yang bertugas melakukan pengawasan terhadap pelanggaran netralitas ASN mutlak diperlukan. Sebagai langkah nyata, KASN menggandeng Dirjen Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika melalui Perjanjian Kerja Sama (PKS) terkait pengawasan netralitas ASN khususnya di media sosial.

Bawaslu bersama KASN juga perlu membangun sistem penanganan pelanggaran netralitas ASN yang terintegrasi, bersinergi dengan BKN, KemenPANRB, Kemendagri, LPSK, hingga Pemerintah Daerah khususnya Inspektorat Daerah, agar rekomendasi pemberian sanksi yang dikeluarkan terhadap ASN pelaku pelanggaran, dapat dipatuhi dan dilaksanakan demi tegaknya integritas ASN dan mewujudkan pemilu yang demokratis.

Selain itu, dibutuhkan whistle blowing system yang efektif dengan mekanisme proteksi yang kuat bagi pelapor dari internal ASN, serta melakukan sosialisasi luas kepada berbagai kelompok masyarakat dari berbagai latar belakang tentang perlunya mengawasi implementasi neralitas ASN, lalu memberi mereka kemudahan akses untuk melapor dengan keamanan dan perlindungan hukum yang jelas.

Terakhir, tak kalah pentingnya adalah penegakan etika politik oleh para penyelenggara negara dan pejabat publik agar pelanggaran yang merugikan kepentingan publik, termasuk pelanggaran netralitas ASN bisa diminimalisir. Etika dimaksud seperti kesadaran untuk tidak melibatkan ASN dalam berbagai keputusan dan/atau tindakan serta mengadakan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan calon tertentu.

Tulisan ini tayang di Harian Fajar Edisi 4 Desember 2023 dengan judul ASN dan Isu Kerawanan Pemilu

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama