Mem(p)erkarakan Tubuh

Ternyata benar bahwa nalar kita selalu bekerja hanya dengan cara memilah dan kemudian memilih dalam sebuah kerangka oposisi biner. Bahwa dunia hanyalah dua buah sisi yang berseberangan dan tak mungkin yang satu tanpa ada yang lain. Hal ini terlihat ketika isu tentang rencana pengesahan RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (APP) serta rencana terbitnya majalah Playboy versi Indonesia mengemuka, rencana ini ditenggarai akan mendorong pengarusutamaan wabah pornografi di tengah masyarakat Indonesia yang ketimuran dan konon religius.


Tulisan ini tidak berpretensi untuk terlibat dalam perdebatan antara pro dan kontra dengan pengesahan RUU APP dengan berbagai argumentasi yang melandasinya. Tulisan ini hanya berkepentingan untuk melakukan analisa dalam perspekti tentang tubuh, karena berbincang tentang pornografi pada dasarnya merupakan perbincangan tentang tubuh.

Dalam cara pandang logika pro kontra, ada sebuah pertanyaan besar yang sesungguhnya patut untuk di jawab dalam, terutama dalam ranah kebudayaan kita. Yaitu pertanyaan tentang siapa sesungguhnya yang menjadi penguasa tubuh. Kenapa demikian? Karena pro kontra terhadap kehadiran Playboy bermuara pada tubuh. Playboy dituduh menyebar pornografi karena memuat fhoto-fhoto yang mempertontonkan kemolekan tubuh (wanita).

Tubuh dan Kenikmatan
Kalau diperhatikan secara seksama, akan terlihat bahwa logika para pendukung RUU APP maupun yang kontra terhadapnya, memiliki cara pandang yang sama terhadap tubuh. Mereka memandang tubuh hanyalah sebatas obyek kesenangan (object of pleasure), tubuh adalah materi tanpa ruh, justru tubuh yang kotor adalah penjara bagi jiwa yang suci. Mereka punya defenisi tubuh yang sama, tapi mereka cuma berbeda dalam cara memperlakukannya.

Bagi kalangan yang anti dengan RUU APP mengedepankan pendekatan estetika atas tubuh bahwa tubuh adalah obyek kesenangan (object of pleasure), maka tentu tubuh menjadi sah untuk di eksplorasi dan dieksploitasi sedemikian rupa agar menghasilkan kesenangan dan kegembiraan. Tubuh menjadi obyek permainan pasif (passive playing object) dengan wujud tampilan fhoto-fhoto tubuh (perempuan) yang berpose erotis dan sensual yang merangsang dan membangkitkan ketegangan libidinal.

Kelompok yang memandang tubuh seperti ini akan menolak hadirnya UU APP dengan argumentasi untuk menghargai kebebasan pers, kepentingan pengembangan seni dan nilai-nilai estetika kehidupan, lalu mereka akan bersembunyi dibalik dunia fashion.

Sementara itu, bagi kalangan yang pro dengan kehadiran UU APP, mereka mengedepankan alasan-alasan etika, moral dan agama. Perspektif ini sepakat memandang tubuh sebagai obyek kesenangan (object of pleasure), tetapi aktualisasi eksplorasi atasnya harus dilakukan dalam koridor etik dan moralitas keagamaan. Tubuh mengandung potensialitas yang berbahaya, tubuh harus diwaspadai dan dikontrol karena bisa merusak iman, menciderai kesucian ruh dan memenjara jiwa dalam banalitas material.

Kaum etik, moralis, maupun agamawan memandang bahwa tubuh akan menjadi lebih dihargai apabila ditutup dan disembunyikan. Tapi justru hal ini makin memperkuat asumsi bahwa mereka cuma memandang tubuh hanyalah sebagai obyek kesenangan (object of pleasure). Sigmund Freud (Teori Seks) dengan gamblang mengatakan, "Tubuh yang tertutup, menuruti tuntutan peradaban masyarakat, akan selalu membangkitkan keingintahuan seksual dan berfungsi sebagai suplemen daya tarik objek seksual melalui tindak penyingkapan bagian-bagian tersembunyi".

Tubuh yang banal dan mengandung potensi berbahaya ini harus didisiplinkan agar tidak mengacaukan peradaban timur yang etis dan berbudaya dengan cara menerapkan regulasi, seperti pengetatan kebebasan pers, mendorong perecepatan pengesahan RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi serta berbagai mcacam regulasi lain dalam rangka mengekang tubuh demi agar tidak menciderai kebudayaan Indonesia yang religius.

Ini Tubuhku
Apakah memang tidak ada cara pandang lain tentang tubuh, sehingga perdebatan tentang RUU APP hanya berkutat pada wacana yang sesungguhnya sangat imperialis dalam memperlakukan tubuh? Ternyata cara pandang baru atas tubuh itu ada. Tubuh bukahlah sebentuk obyek kesenangan (object of pleasure) semata dan merupakan penjara bagi jiwa. Justru tubuh selayaknya dipandang sebagai totalitas dimana dia utuh menyatu dengan jiwa/ruh.

Cara pandang seperti inilah yang bisa membalikkan kesadaran kita tentang sesuatu yang dipandang porno. Sesuatu yang porno selalu diindikasikan negatif dan berkaitan dengan dekadensi dan kemerosotan etik dan moralitas keagamaan. Bila difahami bahwa tubuh merupakan totalitas yang utuh dengan jiwa, maka kita akan menyadari pula bahwa sesungguhnya pro kontra terhadap pornografi adalah pertarungan antar wacana tentang tubuh.

Ketika para pemilik tubuh (wanita) menyadari kekuatan yang tersembunyi dibalik tubuh, tentu akan terjadi keguncangan besar bagi peradaban manusia yang etis, moralis, religius dan juga patriarkhi. Apabila wacana tubuh dibiarkan menjadi liar dan tidak didisiplinkan dengan kuasa-wacana etika (sebagaimana keinginan kelompok yang pro atas RUU APP) dan maupn pendisiplinan kuasa-wacana estetika dengan alasan seni (sebagaimana keinginan kelompok yang kontra atas RUU APP) maka dominasi lelaki melalui regulasi etis maupun estetis atas tubuh (wanita) akan terjungkirbalik.

Dalam tubuh (wanita) tersembunyi sebuah kekuatan besar yang bernama kekuatan seduksi (bujuk rayu). Ini sesungguhnya yang paling ditakuti sehingga tubuh tidak boleh dibiarkan liar dan menjadi subyek. Dia (tubuh) harus tetap dibiarkan menjadi obyek kesenangan (object of pleasure), tidak penting apakah dia hadir dan dinikmati secara vulgar di ruang publik melalui --misalnya-- majalah atau situs "porno" dan sejenisnya ataukah dia harus ‘diintip’ dalam ruang privat setelah memenuhi prasyarat etis dan moralitas keagamaan semisal pernikahan.

Jean Baudrillard (Birahi) menuliskan, "menggoda artinya tanpak lemah. Menggoda adalah membuat lemah. Kita menggoda dengan kelemahan kita, tidak pernah dengan tanda-tanda atau kekuatan yang besar. Dalam godaan, kita mencipta kelemahan ini, dan inilah apa yang memberi kekuatan pada godaan". Dengan kelemah-gemulaian dan kemolekan tubuhnya, para wanita menggoda dan menundukkan para lelaki.

Apabila cara pandang ini yang digunakan untuk melihat kehadiran RUU APP, maka perdebatannya bukan pada persoalan boleh dan tidaknya disahkan di Indonesia, tapi pada sejauhmana kehadirannya akan membatasi medium kontestasi kekuatan wanita dalam memanfaatkan tubuhnya untuk melakukan resistenti atas ideologi patriarkhi. Jangan pernah berfikir bahwa padas aat ada gambar porno maka para wanita pemilik tubuh itu yang menjadi korban, melainkan para lelaki yang tergodalah yang telah menjadi korban.

Bila ini tersadari oleh para wanita, maka kehadiran pornografi dan pornoaksi akan menjadi ajang pembangkangan atas pencisiplinan wacana atas tubuh. Tubuh yang selama ini diperlakukan hanya sebagai obyek kesenangan (object of pleasure) melalui pornografi, justru sekarang, pornografi menjadi alat yang mensubyekkan tubuh (wanita) untuk menundukkan para penikmat tubuh (lelaki) menjadi obyek yang terbujuk rayu.

Dengan cara pandang ini, maka tubuh (wanita) seporno apapun itu, tidak lagi menjadi milik publik (sekalipun ditonton oleh publik), melainkan menjadi milik pribadi. Melalui pornografi, tubuh (wanita) dimanipulasi, dipoles, dipermak sedemikian rupa kemudian mereka (wanita) jajakan tubuh mereka dalam kemasan apik untuk meningkatkan daya bujukannya. Tubuh dikemas dalam fashion untuk menjaga citra estetisnya sehingga kenikmatan akan diperoleh melalui sepenggal penyingkapan. Bukankan pendisiplinan atas tubuh lahir karena alasan hasrat akan kenikmatan seksual?

Tampaknya pendukung RUU APP (terutama yang patriarkhi) betul-betul menyadari bahwa tubuh (wanita) adalah obyek kesenangan (object of pleasure) yang harus diatur melalui seperangkat regulasi (baik regulasi etis maupun regulasi estetis) untuk meredam daya bujuk rayunya. Karena melalui kekuatan dari kelemahgemulaian tubuhnyalah para wanita punya kekuatan untuk menaklukkan laki-laki dan itu menakutkan. Bukankah sebagian besar anggota DPR yang menyiapkan RUU APP itu adalah legislator laki-laki?

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama