Rasa Malu dan Negeri Yang Nyaman

[20.02.2016] Mungkin anda pernah mendengar, seorang pemuda harus berurusan dengan polisi karena terlibat perkelahian dengan alasan harga diri. 

Dia tersinggung dan merasa malu dikatai bujang lapuk, sebab sampai malam valentine day, dia belum punya pacar untuk diajak berkencan atau dibelikan coklat.

Bahkan, yang tak kalah memiriskan adalah tingkah seorang pemuda yang mencacah tubuhnya dengan benda tajam, hanya karena pernyataan cintanya ditolak oleh seorang perempuan. Sekali lagi, tindakannya dipicu oleh rasa malu yang tak tertahankan.

Apakah sedemikian sempit pemahaman akan rasa malu dari generasi muda kita? Hanya seputar percintaan ala roman picisan? Yang lebih parah lagi, karena model malu sedemikian dikait-hubungkan dengan konsep siri' dalam tradisi Bugis-Makassar. Padahal, konsep siri' tidaklah sedangkal dan sesempit itu.

Dalam sebuah kesempatan, Rasulullah Muhammad saw pernah bersabda tentang rasa malu, “Malulah kepada Allah dengan sebenar-benarnya rasa malu”, demikian beliau berkata. Mendengar nasihat nabi tersebut, para sahabat berlomba untuk bertanya lebih jauh, “Apakah sebenar-benarnya rasa malu itu?”

Rasulullah saw menjawab pertanyaan sahabat dengan sebuah tips singkat namun mengena, bahwa rasa malu yang tepat adalah rasa malu kepada Allah, dan rasa malu yang benar, berarti, “Menjaga kepala beserta isinya dan menjaga perut beserta isinya, serta mengingat kuburan dan kematian.”

Apa yang dipesankan oleh Rasulullah, kemudian diimplementasikan dengan baik oleh Tjokroaminoto kepada anak-anaknya, -baik anak biologis, maupun anak ideologisnya. Nasihat tokoh Syarikat Islam yang bergelar Jang Oetama ini kepada anak-anaknya, sejalan dengan pesan rasulullah.

Pertama, terkait dengan ikhtiar menjaga kepala beserta isinya, Tjokroaminoto menasehatkan agar anak-anaknya, generasi penerus perjuangan, dan para pemuda, menggunakan lima menit setiap malam buat membulatkan pikiran! Obyek membulatkan pikiran adalah ayat (tanda dari Allah) berupa penciptaan langit dan bumi, serta pergantian malam dan siang. Mereka yang mampu membulatkan pikiran ini, digelari oleh Allah sebagai ulul albab. (Q.S. 3:190)

 “....(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka” (Q.S. 3:191).

Kedua, perihal menjaga perut beserta isinya, Tjokro mewanti-wanti, berhentilah makan sebelum kenyang! Ini bermakna kewaspadaan, bahwa makanan tak hanya diukur dari kehalalannya, melainkan pun dinilai melalui ke-thoyyib-annya (Q.S. 2:168). Mengonsumsi makanan halal secara berlebih, bisa mengubah status makanan tersebut menjadi tidak thoyyib.

Tentang ke-thoyyib-an makanan, Ibn Katsir menyebut sebagai sesuatu yang tidak membahayakan tubuh dan akal pikiran. Imam Syafi’i menambahkan bahwa thoyyib sebagai sesuatu yang lezat. Sementara Imam Malik dan At Thabari mendefenisikan sebagai sesuatu yang suci, tidak najis, dan tidak diharamkan.

Ketiga, perkara mengingat kuburan dan kematian, dengan diplomatis, Tjokro melontar tanya, bagaimana caranya, supaya bisa bersih sebelum wudhu? Bagaimana kebersihan bisa berkait dengan ingatan pada kematian? Sebab salah satu kategori kemanusiaan yang amat dicintai Allah adalah menjaga kebersihan dirinya, baik lahir maupun batin (Q.S. 2:222). Kebersihan adalah indikator keimanan dan ketakwaan.

Bagi mereka yang bertakwa dengan sebenar-benarnya takwa, Allah menasehati agar senantiasa mawas diri, berjaga, dan waspada. Senantiasalah menimbang-nimbang, menghitung-hitung, menjaga kesucian diri, sebagai persiapan menyambut mati (Q.S. 59:18). Mereka inilah golongan yang oleh kaum arif dalam agama, sebagai insan yang mampu mati sebelum mati.

Mereka yang mengamalkan malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya malu, akan menjadi orang-orang yang menjalani hidupnya dengan kehidupan yang baik, hayatun thayyibah (Q.S. 16:97). Berangkat dari rasa malu yang benar, jalani hidup dengan thayyibah, menuju baldatun thayyibah, negeri yang baik (Q.S. 34:15).

Untuk mewujudkan baldah thayyibah wa rabbun ghofur, negeri yang nyaman dan tenteram, serta senantiasa mendapatkan ampunan Allah, maka kuatkan rasa malu, terutama di kalangan pemuda. Contohlah rasa malu yang dinasehatkan oleh rasulullah saw. dan dipraktikkan oleh pribadi-pribadi terbaik dari umat ini. Bukan rasa malu yang picik dan sempit dan malah menjauhkan diri dari rahmat Allah.



Tulisan ini dimuat di Harian Amanah, sabtu, 20 Februari 2016

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama