Melawan Israel, Melawan AS

Meski hanya bersenjatakan roket Katyusha, pejuang Hizbullah yang dipimpin Hassan Nasrallah, tetap percaya diri. Bahkan mengancam menyerbu Tel Aviv jika Israel menghantam Beirut. Lebanon. Sementara Israel terus membombardir wilayah Lebanon menggunakan pesawat F-16I Soufa, tanpa peduli korban pihak sipil.


Israel yang didukung persenjataan penuh terus melancarkan serangan membabi buta terhadap Lebanon selatan yang mereka tengarai sebagai tempat persembunyian pejuang Hizbullah.

Perundingan dan tawaran perdamaian memang terus muncul. Berbagai pertemuan internasional digelar mencari solusi yang tepat bagi penyelesaian konflik di Lebanon. Sungguh tepat ungkapan Arthur Adamov yang menggambarkan situasi sekarang dengan meneriakkan, Personne n'entend personne! (tak siapapun mendengar siapapun).

Seruan perdamaian diteriakkan dengan lantang tapi peluru dan rudal juga tetap menyalak nyalang. Semua seperti tak peduli dengan mereka yang terluka dan mati tanpa pernah tahu kenapa mereka harus jadi korban.

Perbuatan Israel terjadi tanpa halangan berarti dari dunia internasional, karena Israel mendapat dukungan penuh dari Amerika Serikat (AS). Perlawanan sengit justru muncul dari kekuatan-kekuatan umat Islam di seluruh penjuru dunia.

Gelombang demonstrasi sampai pada persiapan pengiriman relawan jihad menjadi pemandangan sehari-hari di negara-negara berpenduduk Muslim, termasuk Indonesia.

Islam vs AS
Dukungan AS dan mandulnya PBB memicu menguatnya arus radikalisme pada beberapa kelompok Islam. Menurut Fawaz A Gerges (1999) radikalisme yang muncul di dunia Islam adalah hasil kepedihan sosial-ekonomi dan politik karena, pertama, dukungan tanpa syarat AS bagi Israel.
Kedua, sejarah panjang intervensi ekonomi dan militer AS di kawasan ini, secara khusus, masalah Israel menciptakan beban emosional dan historis yang berat bagi dunia Muslim.

AS yang selama ini dikenal sebagai pejuang penegakan HAM dan senantiasa mendorong proses demokratisasi di berbagai kawasan dunia, ternyata tidak berdaya menghadapi agrsi Israel terhadap Lebanon dan Palestina.
Amerika seperti kerbau yang dicucuk hidungnya di hadapan kaum Zionis. Bukan hanya mengiyakan apapun yang dilakukan Israel tetapi juga aktif memberi dukungan politik dan persenjataan.

AS rela melupakan ungkapan berapi-api Presiden Jimmy Carter, tahun 1979, bahwa Demokratisasi dan HAM akan menjadi salah satu bagian tak terpisahkan dari politik luar negeri negara adidaya ini.

Semua itu seakan menguap ketika berhadapan dengan kebengalan Israel dan kekuatan Yahudi internasional. HAM dan demokratisasi AS menjadi tidak berarti apa-apa di hadapan merka.

Ini bukan pertama kalinya AS bersikap demikian. Sejak upaya pendirian negara Israel di tanah Palestina, AS bersama Inggris sudah memperlihatkan keberpihakan yang sangat nyata terhadap keberadaan negara Zionis ini. Mereka rela melakukan apapun demi keberadaan negara Zionis ini.

Kondisi ini membuat frustasi berkepanjangan di tubuh umat Islam di seluruh dunia, terutama di Timur Tengah karena merasa disepelekan dan diperlakukan tidak adil dalam kasus ini.

Di mata negara-negara Muslim, HAM bukan lagi Hak Azasi Manusia melainkan Hak Amerika (dan sekutunya) menyerang siapa saja yang dianggap menghalangi kepentingan mereka.

Respons umat Islam dan negara-negara Muslim dicap sebagai radikalisme dan teror yang harus dihadapi bersama. Stigma negatif dilekatkan pada umat Islam yang berusaha menuntut hak. Inilah yang dialami kelompok Islam di dunia, termasuk Hamas di Palestina dan Hizbullah di Lebanon selatan.

Bagi AS, apapun yang dilakukan Israel merupakan upaya melawan radikalisme dan terorisme, meskipun itu merampas hak negara lain. Tapi apapun yang dilakukan kelompok Islam dianggap terorisme, meskipun itu untuk mempertahankan hak dan kemerdekaannya. Sebuah standar ganda menyakitkan yang menjadi ciri khas kebijakan AS.

Menghadapi kelompok Islam, menurut Fawaz A Gerges (1999), AS sering bersikap dualis. Pertama, AS tidak ingin terlihat tak bersahabat bagi negara-negara Islam. Kedua, AS ragu-ragu secara terbuka mendukung kelompok Islam manapun, kecuali juka menguntungkan kepentingan regionalnya atau sekutunya.

Ketiga, dalam lingkaran para pembuat kebijakan luar negeri AS, terdapat sebentuk keyakinan tentang kemungkinan terjadinya hubungan baik antara negara Islam dan demokrasi.

Kita bisa melihat bagaimana AS memiliki hubungan yang dengan para petinggi rezim despotik Islam di Timur Tengah, namun pada saat yang sama memberikan dukungan penuh atas segala kepentingan Israel yang menjadi musuh bersama negara-negara Arab.
Mereka senantiasa mendorong agar negara-negara Muslim melakukan demokratisasi, namun itu dilakukan apabila bisa mendukung kepentingannya untuk tetap mempunyai pengaruh besar bagi penguasaan minyak yang menjadi sumber energi utama dunia.

AS sepertinya sudah bebal dan tidak peduli lagi meskipun mereka harus melanggar HAM dan menjadi tidak demokratis apabila itu terkait dengan kebutuhan penguasaan energi dunia serta kepentingan sekutu dan anak emasnya di Timur Tengah, Israel.

Mungkin Bush sudah lupa fatwa Jimmy Carter sehingga harus diingatkan dengan bom. Tampaknya apa yang ditulis Antonin Artaud dalam sebuah surat yang dikirim untuk sahabatnya, Andre Breton, tahun 1947, pas untuk kembali kita renungkan.

Artaud menuliskan, Aku menyadari kalau cukuplah sudah kata-kata, cukup sudah teriakan-teriakan, dan yang seharusnya ada, adalah sejumlah bom, yang tak kumiliki di genggaman, maupun di saku bajuku.

Yahudi Amerika
Perlindungan dan dukungan penuh AS terhadap tindak-tanduk Israel, termasuk agresinya terhadap Lebanon selatan merupakan tindakan yang bukan tanpa alasan. Ini ditengarai sebagai akibat tergantungnya elite AS terhadap kekuatan lobi Yahudi internasional.

Inilah yang membuat pemerintah AS tak punya pilihan selain mendukung Israel sebagai representasi negara Yahudi di Palestina sebagai tanah yang dijanjikan.

Padahal, jauh sebelumnya, Benjamin Franklin telah mengingatkan AS agar waspada terhadap kekuatan lobi Yahudi ini dalam pernyataannya tentang imigrasi Yahudi berkenaan dengan UU 1789, Benjamin Franklin (Jurnal Charles Pinsky, South Caroline.Teks aslinya bisa dilihat di Franklin Institute Philadelphia, Pensysvania) mengungkapkan, Di sana ada bahaya besar yang mengancam Amerika. Bahaya itu adalah orang-orang Yahudi.

Ternyata apa yang ditakutkan Benjamin Franklin ratusan tahun lalu telah menjadi kenyataan pada hari ini. Amerika menjadi budak Yahudi dan pelayan setia Israel.

Melihat dukungan penuh AS terhadap agresi Israel atas Palestina dan Lebanon selatan menjadi pantas jika reaksi dunia Islam dan negara-negara Muslim tidak hanya mengutuk dan menghujat Israel (Yahudi) melainkan juga melawan AS. Perlawanan ini sudah menjadi ideologis dan magis, jihad fi sabilillah, sebagaimana dipraktikkan Hizbullah.

Bahkan semangat perlawanan putra-putra Lebanon mendapat pembenaran dari Kahlil Gibran, Sang Nabi dari Lebanon, dengan mengatakan, Dan jika bangsaku melawan raja lalim dan penindas hingga gugur sebagai pemberontak, aku telah berkata. Mati demi kemerdekaan lebih mulia daripada hidup dalam bayangan kemenyerahan yang lemah, karena dia yang memeluk kematian dengan pedang kebenaran di tangannya, akan mengabadi bersama keabadian kebenaran, karena kehidupan lebih lemah daripada kematian dan kematian lebih lemah daripada kebenaran.

Melawan Israel sama dengan melawan Yahudi, melawan Israel juga berarti melawan AS. Tampaknya patriotisme dan semangat jihad yang berkobar di dada setiap Muslim dan siapapun yang tidak sepakat dengan agresi Israel yang di dukung penuh AS terhadap tanah Palestina dan Lebanon selatan merupakan upaya untuk menyongsong kematian demi kemerdekaan yang mulia.

Itu takkan sia-sia karena, memeluk kematian dengan pedang kebenaran di tangannya, akan mengabadi bersama keabadian kebenaran. (*)

Tulisan ini dimuat di Harian Tribun Timur Makassar edisi Senin, 21 Agustus 2006.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama