Sudah lebih dari 60 tahun kita berbangsa, selama itu pula kita masih mencoba meraba dan menerka, seperti apa nasionalisme yang kita butuhkan untuk Indonesia. Kita telah menyaksikan berbagai macam era kepemimpinan bangsa ini melahirkan corak dan ragam nasionalisme yang berbeda menurut kadar rasanya masing-masing. Era Soekarno sampai hari ini di era Soesilo Bambang Yudhoyono kita menyaksikan berbagai macam tagsir nasionalisme eindonesiaan yang mengemuka.
Memang, nasionalisme sebagai sesuatu yang dinamis dan kontekstual, sah-sah saja bila mengalami pergeseran dan perubahan pemaknaan atasnya, yang menjadi persoalan kemudian adalah sejauhmana konsep nasionalisme yang terbangun mampu menjadi solusi atas persoalan kebangsaan yang dihadapi. Sebab buat apa kita menghimpun diri dalam sebuah ikatan nasionalisme kalau ternyata nasionalisme yang dimaksud tidak mampu memjawab kebutuhan masyarakatanya.
Pseudo Nasionalisme
Pada era kepemimpinan Soesilo Bambang Yudhoyono, bangsa ini kemabli diperhadapkan pada berbagai macam persoalan yang menimbulkan pertanyaan di lubuk hati masing-masing anak bangsa, apakah nasionalisme Indonesia yang selama ini dianut masih mampu menjadi perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia? Secara eksternal Indonesia diperhadapkan dengan era globalisasi yang mau tidak mau harus dihadapi, sementara itu pada saat yang sama secara internal, berbagai macam konflik dan benturan mewarnai keseharian kita.
Menghadapi era globalisasi ini Soesilo Bambang Yudhoyono menganjurkan agar kita tetap bisa memahami nasionalisme secara dinamis dan kontekstual, Yudhoyono mengungkapkan bahwa nasionalisme sekarang ini harus diejawantahkan dengan membangun negeri kita. “Mari dengan cerdas dan bijak berusaha mendapatkan peluang, bekerjasama dan memilih yang baik dari globalisasi” demikian Yudhoyono mendorong agar nasionalisme menjadi energi positif dalam merespon globalisasi secara sehat.
Namun ada satu hal yang penting untuk dicatat dalam konteks ini, bahwa nasionalisme selayaknya tidak lagi difahami hanya sebagai seuah semangat juang bela negara yang heroik, melainkan sejauh mana nasionalisme bertransformasi menjadi kesadaran untuk mencintai, melayani dan mensejahterakan anak bangsa. Kalau itu tidak ada, maka nasionalisme tentu hanya akan menjadi bumerang bagi kesejahteraan dan kemakmuran bersama.
Nasionalisme pada tataran birokrasi harus diwujudkan dalam sebuah wajah pemerintahan yang menelorkan kebijakan bagi terpenuhinya hajat hidup orang banyak. Disinilah corak nasionalisme Indonesia dibawah kepemimpinan Yudhoyono pantas untuk di uji. Sebab di satu sisi, kesejahteraan akan bergerak meningkat kalau perekonomian bisa bergerak dengan dinamis, ini tentu harus didukung oleh iklim investasi dalam negeri.
Untuk itu dibutuhkan lahirnya regulasi yang membuka peluang bagi tumbuh suburnya investasi baik dari para pemodal lokal maupun dari modal global. Namun seringkali regulasi di bidang inverstasi ini menimbulkan masalah pada persoalan perlindungan hak-hak masyarakat banyak. Inilah buah simalakama yang dihadapi oleh pemerintah. Kebijakan pemerintah ternyata dianggap lebih banyak menguntungkan pemilik modal yang hanya merupakan bagian kecil dari masyarakat (kalau bukan malah investor asing) dari pada masyarakat banyak.
Realitas ini terlihat pada kasus PT. Freeport Indonesia di Papua, PT. Newmont Nusa Tenggagara di Nusa Tenggara Timur dan yang paling akhir adalah penyerahan pengelolaan Blok Cepu pada Exon Mobile. Pilihan pemerintah ini telah mengakibatkan gejolak dalam masyarakat yang berujung pada aksi kekerasan yang memakan korban jiwa. Dalam konteks ini, pernyataan Yudhoyono tentang nasionalisme yang memihak pada pembangunan negeri harus dipertanyaan.
Naionalisme yang ditawarkan dalam regulasi yang ditetapkan pemerintah ternyata hanyalah semacam pseudo nasionalism. Secara konsepsional pemerintah menggembar-gemborkan nasionalisme yang memihak pada rakyat banyak, namun pada kenyataannya, regulasi yang dikeluarkan merupakan sebentuk proteksi dan perlakuan istimewa bagi kaum pemodal, terutama para pemodal asing. Regulasi ini bahkan cendrung diterapkan dengan mengedepankan paradigma yang militeristik, pihak keamanan negeri ini telah beralih fungsi menjadi pelindung masyarakat menjadi pengaman aset para pemodal.
Masyarakat Yang Sakit
Pseudo nasionalism tidak hanya berefek pada paradigma kekerasan yang menjadi paradigma kerja pemerintahan kita, pseudo nasionalisme juga telah menimbulkan masyarakat kita menderita sakit. Masyarakat kita disusun oleh individu-individu yang skizofrenik. Individu skizofrenik sebagaimana dijelaskan oleh Holzkamp-Osterkamp (1991), adalah individu yang menderita kepribadian pasif, rigid, kecemasan dan inferioritas tinggi.
Sakit yang diderita oleh masyarakat kita adalah sakit yang diakibatkan oleh berbagai macam problem berat yang mereka hadapi terasa sudah diluar batas kemampuan mereka untuk menampungnya. Masyarakat kita kehilangan kemampuan untuk melihat berbagai macam problem secara rasional, sehingga mereka menghadapihidu dengan sangat pasif. Kekerasan yang kemudian timbul dan dilakukan oleh masyarakat kita merupakan ekses dari penerapan berbagai macam regulasi yang membuat masyarakat menjadi mandul dan pasif.
Kekerasan menjadi semacam mekanisme pertahanan diri (defense mechanisme) dari masyarakat untuk mempertahankan eksistensinya. Regulasi yang diterapkan oleh pemerintah membuat masyarakat terjebak pada cara berfikir dengan pola interpretif yang ditandai dengan gagalnya masyarakat melihat pilihan kesempatan bagi dirinya untuk melakukan tindakan. Masyarakat menjadi frustasi atas hidupnya, ketika melihat berbagai macam aset yang merupakan hak dan harapan hidupnya terampas oleh pihak pemodal (asing) yang dijamin oleh regulasi pemerintah.
Masyarakat menjadi tidakpedulian dengan sesama, mereka menjalani hidup ini sebagai rutinitas tanpa makna, tanpa harapan, penuh dengan kebosanan, dan kehampaan masa depan. Rasionalitas masyarakat kita telah ditundukkan demi ketenangan emosional yang mendorong masyarakat kearah keputusasaan akut (hopelessness). Keputusasaan akut inilah yang membuat masyarakat kita siap secara psikologis menjadi brutal dan anarkhis. Sebagai contoh bagaimana demonstrasi yang terjadi di Abepura menimbulkan korban pada pihak keamanan yang dibunuh oleh masyarakat.
Karena rasa frustasi dan keputusasaan akut itulah maka tindakan kekerasan menjadi satu-satunya pilihan yang bisa dilakukan, ditambah lagi dengan keterbukaan dan kebebasan berekspresi yang diberikan oleh sistem demokrasi liberal seakan-akan melegitimasi masyarakat kita untuk bertindak yang kekerasan yang seolah-olah legal. Masyarakat kita merasa menemukan harapan dan eksistensi dirinya dalam peristiwa ‘amuk massa’ yang mereka lakukan bersama-sama.
Nasionalisme Kita
Nasionalisme ambigu yang diterapkan oleh pemerintahan Yudhoyono pada hari ini telah membuat kehidupan terjebak pada paradigma kekerasan dan mengejawantah spiral tindak kekerasan yang tak berujung pangkal. Kekerasan telah menjadi menu sehari-hari, baik bagi aparat keamanan maupun bagi masyarakat umum. Nasionalisme yang menjadi landasan kekerasan seperti ini adalah sebuah nasionalisme yang nekrofhilia, nasionalisme yang mengarahkan konsruksi kesadaran pada hal-hal yang berbau kekerasan dan berujung pada kematian.
Untuk menegakkan nasionalisme sebagaimana yang diserukan oleh Yudhoyono, sebagai nasionalisme yang diejawantahkan dengan membangun negeri, dibutuhkan upaya untuk menata kembali kebersamaan dan menumbuhkan etos keindonesiaan untuk menentukan positioning, bargaining, arah dasar penataan, pengembangan, pembangunan serta kepribadian bangsa. Etos ke-Indonesia-an inilah yang menjadi fondasi yang fundamental bagi kesatuan, persaudaraan dan rekonsiliasi sosial.
Langkah penyelamatan yang memungkinkan untuk diambil dalam membangun nasionalisme yang sehat harus dipikirkan bersama. Bangunan nasionalisme yang biofhilia atau nasionalisme yang mendorong harapan besar pada hal-hal yang berbau kehidupan dan kemakmuran serta kesejahteraan orang banyak perlu untuk diwujudkan. Beberapa hal penting untuk diperhatikan adalah bahwa nasionalisme yang sehat adalah pertama, nasionalisme yang lahir dari pola berfikir komprehensif, sebuah cara berfikir yang ditandai dengan keberanian masyarakat untuk bertindak dan melakukan perubahan dalam hidupnya.
Agar pola berfikir komprehensif pada masyarakat bisa terbangun, maka pada tataran pemerintahan, perlu didukung oleh regulasi yang memihak pada kepentingan rakyat dan bukannya memihak pada kaum pemodal (asing). Ini akan berimplikasi pada lahirnya kepercayaan positif dari masyarakat terhadap pemerintah. Regulasi yang memihak pada rakyat akan mengikis pelan-pelan paradigma kekerasan yang selama ini membelit. Bahkan aparat keamanan dan masyarakat tentu akan bahu-membahu dalam menegakkan regulasi tersebut.
Kedua, dalam konteks Indonesia yang terdiri dari beragam suku bangsa, maka nasionalisme yang sehat adalah nasionalisme yang tetap menghargai dan bahkan dibangun diatas fondasi kearifan nilai (local wisdom) dan keistimewaan lokal (local uniqueness). Dengan penguatan pada kapasitas lokal yang berbasis pada kearifan dan keistimewaan lokal, maka tentu nasionalisme yang lahir adalah nasionalisme yang membuka ruang selebar-lebarnya bagi partisipasi lokal.
Nasionalisme yang sehat adalah nasionalisme yang lahir dari rahim kesadaran kebangsaan yang dihayati dengan hati nurani. Nasionalisme ini adalah sebuah konsensus yang harus menjadi perekat dan paradigma yang dianut baik oleh para pengambil kebijakan maupun masyarakat umum. Dengan terbangunnya nasionalisme yang sehat maka ajakan presiden Yudhoyono untuk secara cerdas dan bijak berusaha mendapatkan peluang, bekerjasama dan memilih yang baik dari globalisasi akan dapat kita wujudkan bersama.
Memang, nasionalisme sebagai sesuatu yang dinamis dan kontekstual, sah-sah saja bila mengalami pergeseran dan perubahan pemaknaan atasnya, yang menjadi persoalan kemudian adalah sejauhmana konsep nasionalisme yang terbangun mampu menjadi solusi atas persoalan kebangsaan yang dihadapi. Sebab buat apa kita menghimpun diri dalam sebuah ikatan nasionalisme kalau ternyata nasionalisme yang dimaksud tidak mampu memjawab kebutuhan masyarakatanya.
Pseudo Nasionalisme
Pada era kepemimpinan Soesilo Bambang Yudhoyono, bangsa ini kemabli diperhadapkan pada berbagai macam persoalan yang menimbulkan pertanyaan di lubuk hati masing-masing anak bangsa, apakah nasionalisme Indonesia yang selama ini dianut masih mampu menjadi perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia? Secara eksternal Indonesia diperhadapkan dengan era globalisasi yang mau tidak mau harus dihadapi, sementara itu pada saat yang sama secara internal, berbagai macam konflik dan benturan mewarnai keseharian kita.
Menghadapi era globalisasi ini Soesilo Bambang Yudhoyono menganjurkan agar kita tetap bisa memahami nasionalisme secara dinamis dan kontekstual, Yudhoyono mengungkapkan bahwa nasionalisme sekarang ini harus diejawantahkan dengan membangun negeri kita. “Mari dengan cerdas dan bijak berusaha mendapatkan peluang, bekerjasama dan memilih yang baik dari globalisasi” demikian Yudhoyono mendorong agar nasionalisme menjadi energi positif dalam merespon globalisasi secara sehat.
Namun ada satu hal yang penting untuk dicatat dalam konteks ini, bahwa nasionalisme selayaknya tidak lagi difahami hanya sebagai seuah semangat juang bela negara yang heroik, melainkan sejauh mana nasionalisme bertransformasi menjadi kesadaran untuk mencintai, melayani dan mensejahterakan anak bangsa. Kalau itu tidak ada, maka nasionalisme tentu hanya akan menjadi bumerang bagi kesejahteraan dan kemakmuran bersama.
Nasionalisme pada tataran birokrasi harus diwujudkan dalam sebuah wajah pemerintahan yang menelorkan kebijakan bagi terpenuhinya hajat hidup orang banyak. Disinilah corak nasionalisme Indonesia dibawah kepemimpinan Yudhoyono pantas untuk di uji. Sebab di satu sisi, kesejahteraan akan bergerak meningkat kalau perekonomian bisa bergerak dengan dinamis, ini tentu harus didukung oleh iklim investasi dalam negeri.
Untuk itu dibutuhkan lahirnya regulasi yang membuka peluang bagi tumbuh suburnya investasi baik dari para pemodal lokal maupun dari modal global. Namun seringkali regulasi di bidang inverstasi ini menimbulkan masalah pada persoalan perlindungan hak-hak masyarakat banyak. Inilah buah simalakama yang dihadapi oleh pemerintah. Kebijakan pemerintah ternyata dianggap lebih banyak menguntungkan pemilik modal yang hanya merupakan bagian kecil dari masyarakat (kalau bukan malah investor asing) dari pada masyarakat banyak.
Realitas ini terlihat pada kasus PT. Freeport Indonesia di Papua, PT. Newmont Nusa Tenggagara di Nusa Tenggara Timur dan yang paling akhir adalah penyerahan pengelolaan Blok Cepu pada Exon Mobile. Pilihan pemerintah ini telah mengakibatkan gejolak dalam masyarakat yang berujung pada aksi kekerasan yang memakan korban jiwa. Dalam konteks ini, pernyataan Yudhoyono tentang nasionalisme yang memihak pada pembangunan negeri harus dipertanyaan.
Naionalisme yang ditawarkan dalam regulasi yang ditetapkan pemerintah ternyata hanyalah semacam pseudo nasionalism. Secara konsepsional pemerintah menggembar-gemborkan nasionalisme yang memihak pada rakyat banyak, namun pada kenyataannya, regulasi yang dikeluarkan merupakan sebentuk proteksi dan perlakuan istimewa bagi kaum pemodal, terutama para pemodal asing. Regulasi ini bahkan cendrung diterapkan dengan mengedepankan paradigma yang militeristik, pihak keamanan negeri ini telah beralih fungsi menjadi pelindung masyarakat menjadi pengaman aset para pemodal.
Masyarakat Yang Sakit
Pseudo nasionalism tidak hanya berefek pada paradigma kekerasan yang menjadi paradigma kerja pemerintahan kita, pseudo nasionalisme juga telah menimbulkan masyarakat kita menderita sakit. Masyarakat kita disusun oleh individu-individu yang skizofrenik. Individu skizofrenik sebagaimana dijelaskan oleh Holzkamp-Osterkamp (1991), adalah individu yang menderita kepribadian pasif, rigid, kecemasan dan inferioritas tinggi.
Sakit yang diderita oleh masyarakat kita adalah sakit yang diakibatkan oleh berbagai macam problem berat yang mereka hadapi terasa sudah diluar batas kemampuan mereka untuk menampungnya. Masyarakat kita kehilangan kemampuan untuk melihat berbagai macam problem secara rasional, sehingga mereka menghadapihidu dengan sangat pasif. Kekerasan yang kemudian timbul dan dilakukan oleh masyarakat kita merupakan ekses dari penerapan berbagai macam regulasi yang membuat masyarakat menjadi mandul dan pasif.
Kekerasan menjadi semacam mekanisme pertahanan diri (defense mechanisme) dari masyarakat untuk mempertahankan eksistensinya. Regulasi yang diterapkan oleh pemerintah membuat masyarakat terjebak pada cara berfikir dengan pola interpretif yang ditandai dengan gagalnya masyarakat melihat pilihan kesempatan bagi dirinya untuk melakukan tindakan. Masyarakat menjadi frustasi atas hidupnya, ketika melihat berbagai macam aset yang merupakan hak dan harapan hidupnya terampas oleh pihak pemodal (asing) yang dijamin oleh regulasi pemerintah.
Masyarakat menjadi tidakpedulian dengan sesama, mereka menjalani hidup ini sebagai rutinitas tanpa makna, tanpa harapan, penuh dengan kebosanan, dan kehampaan masa depan. Rasionalitas masyarakat kita telah ditundukkan demi ketenangan emosional yang mendorong masyarakat kearah keputusasaan akut (hopelessness). Keputusasaan akut inilah yang membuat masyarakat kita siap secara psikologis menjadi brutal dan anarkhis. Sebagai contoh bagaimana demonstrasi yang terjadi di Abepura menimbulkan korban pada pihak keamanan yang dibunuh oleh masyarakat.
Karena rasa frustasi dan keputusasaan akut itulah maka tindakan kekerasan menjadi satu-satunya pilihan yang bisa dilakukan, ditambah lagi dengan keterbukaan dan kebebasan berekspresi yang diberikan oleh sistem demokrasi liberal seakan-akan melegitimasi masyarakat kita untuk bertindak yang kekerasan yang seolah-olah legal. Masyarakat kita merasa menemukan harapan dan eksistensi dirinya dalam peristiwa ‘amuk massa’ yang mereka lakukan bersama-sama.
Nasionalisme Kita
Nasionalisme ambigu yang diterapkan oleh pemerintahan Yudhoyono pada hari ini telah membuat kehidupan terjebak pada paradigma kekerasan dan mengejawantah spiral tindak kekerasan yang tak berujung pangkal. Kekerasan telah menjadi menu sehari-hari, baik bagi aparat keamanan maupun bagi masyarakat umum. Nasionalisme yang menjadi landasan kekerasan seperti ini adalah sebuah nasionalisme yang nekrofhilia, nasionalisme yang mengarahkan konsruksi kesadaran pada hal-hal yang berbau kekerasan dan berujung pada kematian.
Untuk menegakkan nasionalisme sebagaimana yang diserukan oleh Yudhoyono, sebagai nasionalisme yang diejawantahkan dengan membangun negeri, dibutuhkan upaya untuk menata kembali kebersamaan dan menumbuhkan etos keindonesiaan untuk menentukan positioning, bargaining, arah dasar penataan, pengembangan, pembangunan serta kepribadian bangsa. Etos ke-Indonesia-an inilah yang menjadi fondasi yang fundamental bagi kesatuan, persaudaraan dan rekonsiliasi sosial.
Langkah penyelamatan yang memungkinkan untuk diambil dalam membangun nasionalisme yang sehat harus dipikirkan bersama. Bangunan nasionalisme yang biofhilia atau nasionalisme yang mendorong harapan besar pada hal-hal yang berbau kehidupan dan kemakmuran serta kesejahteraan orang banyak perlu untuk diwujudkan. Beberapa hal penting untuk diperhatikan adalah bahwa nasionalisme yang sehat adalah pertama, nasionalisme yang lahir dari pola berfikir komprehensif, sebuah cara berfikir yang ditandai dengan keberanian masyarakat untuk bertindak dan melakukan perubahan dalam hidupnya.
Agar pola berfikir komprehensif pada masyarakat bisa terbangun, maka pada tataran pemerintahan, perlu didukung oleh regulasi yang memihak pada kepentingan rakyat dan bukannya memihak pada kaum pemodal (asing). Ini akan berimplikasi pada lahirnya kepercayaan positif dari masyarakat terhadap pemerintah. Regulasi yang memihak pada rakyat akan mengikis pelan-pelan paradigma kekerasan yang selama ini membelit. Bahkan aparat keamanan dan masyarakat tentu akan bahu-membahu dalam menegakkan regulasi tersebut.
Kedua, dalam konteks Indonesia yang terdiri dari beragam suku bangsa, maka nasionalisme yang sehat adalah nasionalisme yang tetap menghargai dan bahkan dibangun diatas fondasi kearifan nilai (local wisdom) dan keistimewaan lokal (local uniqueness). Dengan penguatan pada kapasitas lokal yang berbasis pada kearifan dan keistimewaan lokal, maka tentu nasionalisme yang lahir adalah nasionalisme yang membuka ruang selebar-lebarnya bagi partisipasi lokal.
Nasionalisme yang sehat adalah nasionalisme yang lahir dari rahim kesadaran kebangsaan yang dihayati dengan hati nurani. Nasionalisme ini adalah sebuah konsensus yang harus menjadi perekat dan paradigma yang dianut baik oleh para pengambil kebijakan maupun masyarakat umum. Dengan terbangunnya nasionalisme yang sehat maka ajakan presiden Yudhoyono untuk secara cerdas dan bijak berusaha mendapatkan peluang, bekerjasama dan memilih yang baik dari globalisasi akan dapat kita wujudkan bersama.