Dia naik dari
pintu dua kampus UMI. Dia naik bersama seorang temannya. Dari cara
berpakaiannya, menunjukkan mereka berdua merupakan mahasiswa pada perguruan
tinggi tersebut. Dia mengenakan jilbab warna biru tua, serasi dengan baju
kemeja ungu muda serta dipadu dengan rok yang juga biru tua seperti jilbabnya.
Sepatunya merah menyala.
Dalam dekapnya
terdapat sebuah buku tebal Sistem Informasi Akuntansi, nampaknya hasil kopian,
namun sudah dijilid luks dengan warna merah jambu yang menarik. Mengenai
temannya, tak perlu kuceritakan. Aku tak punya kepentingan dengan temannya, aku
hanya mau menceritakan dia.
Yang pertama
menarik perhatianku dari dia adalah di jari manisnya melingkar sebuah cincin
mungil berpermata berlian berkilau. Menatap tangan itu, aku jadi teringat
dengan pacarku semasa SMU dulu.
Jemari yang
terikat cincin tersebut mirip dengan jemari pacarku. Namanya Merlin. Memang dia
gadis keturunan, namun bagiku bukan masalah. Dia begitu cantik dan lembut.
Sebagaimana biasanya gadis keturunan, matanya sipit, hanya seperti celah yang
begitu tipis. Namunpun demikian, aku begitu suka dia. Dia tidak sombong dan
tertutup sebagaimana gadis keturunan lainnya. Merlin begitu pintar membuatku
tersenyum.
Suatu hari, dia
bertanya padaku dengan suaranya yang nyaris seperti desauan angin senja yang
sepoi.
“Kenapa kau
suka aku?”
Aku terdiam,
hanya menatapi jemarinya yang sensual. Lama, begitu lama baru kujawab tanya
itu,
“Kenapa kau
bertanya seperti itu Merlin?”
“Apa kau ragu
terhadapku?”
“Tidak, sama
sekali tidak!!!”
“Cuma aku
penasaran dengan caramu mencintaiku.”
“Maksudmu?”
“Sejak kita
pacaran setengah tahun yang lalu, kau tak pernah menciumku, menyentuhpun tidak,
lalu apa gunanya kau pacaran denganku?”
Aku hanya
tersenyum mendengar dia merajuk sore itu. Setelah diam sesaat, aku menjawab
tanyanya dengan pertanyaan pula.
“Apakah cinta
harus melulu biologis Merlin?”
Tatapanku tetap
menari dijari itu.
“Tidak, tapi
aku merasa aneh saja.”
“Kau mau tahu
kenapa aku menyukaimu?”
“Ya.”
“Sudah lama aku
memikirkan itu.”
“Hmmm.....
baiklah, aku begitu suka dengan jari manismu yang mengenakan cincin itu.”
“Aku suka
sekali melihatnya, begitu mungil dan menggemaskan.”
“Tapi kenapa
kau menyukai ini?” Dengan wajah keheranan, Merlin menatapku.
“Memangnya ada
apa?”
“Apakah ada
larangan untuk mencintai seseorang hanya karena mengagumi jari manisnya yang
sensual?”
“Tidak, tapi
tahukan kau?”
“Cincin inilah
yang akan memisahkan kita.” Ada keresahan disuaranya.
“Maksudmu?”
Tanyaku.
“Cincin ini
merupakan cincin dari pertunanganku sejak kecil.”
Aku hanya
terdiam mendengar pengakuannya, senja itu kami lewatkan dalam balutan diam,
hanya mataku yang tak bisa lepas dari jemari itu. Dan memang begitulah
akhirnya. Aku ditinggalkan oleh Merlin yang harus menikah dengan tunangannya.
Karena cincin di jari manis itu.
Aku terus
mengamati jari manis yang mengenakan cincin milik mahasiswi itu. Begitu mirip
dengan milik Merlin, tapi lain. Milik Merlin telah membuatku bersedih dan telah
kubekukan dalam kenangan, sementara jari manis mahasiswi itu begitu nyata di hadapanku.
Aku terus
memandanginya dengan lekat. Aku pikir tindakanku ini mungkin agak bodoh, bila
kupandangi terus, gadis itu bisa saja akan merasa risih. Untuk memastikan,
kulirik wajahnya. Tiba-tiba aku terkesiap, kaget. Wajah itu, wajahnya baru aku
perhatikan dengan seksama. Dia memakai kacamata yang indah. Wajah dengan
kacamata itu lagi-lagi mengungkit kenanganku.
Wajah mahasiswi
itu mengingatkanku pada tetanggaku yang cantik, namanya Monika. Aku malah
sempat mau dijodohkan dengannnya, tapi aku enggan. Bukan apa-apa, aku pernah
membuatnya marah besar, padahal sebenarnya dia anak yang baik, aku saja yang
ceroboh sehingga dia marah besar.
Suatu sore,
ketika di rumahku ada acara rujakan, Monika juga hadir, memang dia cukup dekat
dengan keluargaku, terutama dengan nenekku. Menurutnya, Monika merupakan tipe
calon istri yang ideal dalam pandangannya. Seorang gadis yang cerdas, patuh
pada orang tua, mandiri dan telaten dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Nenekku tahu betul itu, sebab Monika sering kerumah dan membantu nenekku
bekerja di dapur.
Saat acara
rujakan itu diadakan, aku baru tiba dari rumah seorang teman lama. Melihat hal
tersebut, aku langsung saja nimbrung di tengah-tengah keriangan pesta
kecil-kecilan tersebut. Aku langsung menghempaskan tubuh ke sofa di samping
Monika.
“Kraak . . .”
Suara apa itu?
Kuangkat badanku perlahan. Di sofa bekas dudukanku tergeletak kacamata Monika
yang sudah menjadi serpihan kaca dengan gagang yang bengkok tak karuan. Tanpa
sadar, Monika berdiri, tangisnya meledak. Sungguh aku hanya bisa terdiam dan
berdiri mematung ketika dia mulai memukuliku dengan kedua tangannya, menjambaki
rambutku dan mengoyak bajuku. Dia mengamuk seamuk-amuknya. Ibu, nenek dan
adikku hanya bisa terpaku melihat kejadian itu.
Bukan main
marah Monika sore itu,
“Kau tahu?”
“Kacamata itu
kuperoleh sebagai hadiah ulang tahunku yang kelimabelas.”
“Kau, kau taruh
dimana matamu?”
“Kenapa kau
mendudukinya?”
Monika berlari
pulang ke rumahnya tanpa menghiraukan nenek yang berusaha menenangkannya. Aku
masih tetap terpaku dengan rasa hati serba salah. Baru kali ini aku dimaki oleh
seorang gadis seperti ini. seandainya bukan Monika, ini takkan kubiarkan
terjadi. Disaat yang sama aku juga tertekan oleh rasa bersalah yang sangat
dalam. Memang pantas dia marah dan mengamuk. Aku telah merusak miliknya. Bukan
harga kacamata itu yang menjadi persoalanya, melainkan kenangan yang dibangun
oleh Monika atasnya. Aku tidak hanya menduduki kacamatanya, aku telah
meremukkan kenangannya.
Sejak itu aku
jarang ketemu Monika, bahkan sejak aku kuliah, dia pergi dari kampung. Dia ikut
kakaknya yang tinggal di Batam.
Tapi mahasiswi
ini mengingatkanku padanya, wajahnya yang berkacamata itu membawa ingatanku
pada Monika. Gadis tetangga yang benci padaku karena kacamata, padahal dengan
memakai kacamata itu dia menjadi begitu anggun.
Seperti gadis
di hadapanku ini, dia begitu anggun dengan kecamatanya, apalagi kalau melihat
caranya membetulkan letak kacamatanya yang agak melorot. Membuat mataku tak
berkedip menatapnya, menatap wajah dengan kacamatanya.
Lihat…!!
Dia mungkin
merasa aku perhatikan, mukanya agak merona ketika menyadari aku
memperhatikannya, pembicaraannya dengan temannya terhenti sejenak.
Perhatikan
mulutnya yang tiba-tiba berhenti berucap, bibirnya yang tipis dengan warna
merah yang begitu alami, seperti tertahan antara mengeluarkan suara atau diam.
Mukanya bersemu merah, aku juga jadi keki tertangkap basah menatap lekat
kearahnya. Tapi aku terlanjur suka menatapnya.
Menyadari itu,
dia kemudian meneruskan pembicaraan dengan temannya. Dia pura-pura tidak merasa
terkejut dengan tatapanku, namun dengan jelas dapat kutangkap isyaratnya. Dia
sadar bahwa sedang kuperhatikan, nampak nyata dari sudut mata di balik
kacamata, dia selalu melirik, mungkin untuk memastikan apakah aku benar-benar
menatapnya atau dia hanya terlalu merasa diperhatikan. Setelah dia menemukan
kesimpulan bahwa aku memang menatapnya lekat, dia menghentikan pembicaraan
dengan temannya dan lebih banyak diam. Aku suka caranya itu.
Tapi, yang
lebih aku suka adalah mulutnya yang mempunyai sepasang bibir tipis merah alami
itu. Bibir itu, bibir Melani. Ya, tidak salah lagi, bibir itu adalah bibir
Melani. Melani, kembali nama itu berkelebat dalam memoriku, setelah tertimbun
entah berapa dalam di bawah lapisan-lapisan kenangan yang mengalami
sedimentasi. Melani adalah teman mainku sewaktu kecil, ketika kami masih kelas
nol besar. Dengannya, aku sering main di taman samping rumahnya. Kebetulan
rumah kami berhadapan, jadi aku tidak terlalu kerepotan kalau aku lagi kangen
ingin main dengannya. Melani memiliki sesuatu yang begitu berkesan bagiku,
mulutnya.
Mulutnya tidak
mungkin pernah bisa kulupakan. Ingin rasanya aku memiliki mulut yang seperti
itu. Dengan mulut mungilnya, Melani selalu memanggil namaku kala sore dengan
ejaan yang lucu, soalnya dia anak yang cadel. Tapi karena itulah, aku begitu
senang kalau Melani melafadskan namaku. Bila diucapkan dari mulut Melani,
namaku menjadi kedengaran begitu khas.
Pernah aku
meminta mulutnya agar ditukar dengan mulutku, Melani sih sepakat-sepakat saja,
tapi kami tidak tahu cara menukarnya. Sungguh, aku begitu ingin memiliki mulut
itu, dan karena keinginan ini pulalah, aku harus rela kehilangan mulut Melani
selamanya. Jangankan mulutnya yang gagal kumiliki, melihat wajahnyapun tak
pernah lagi. Ini juga karena keberanian Melani untuk menukar mulutnya dengan
mulutku. Aku sungguh terharu bila mengingat kejadian itu di suatu sore di taman
samping rumah Melani.
“Betul kau
ingin menukar bibirmu dengan bibirku ini?”
“Ya.” Jawabku
singkat, namun tegas.
“Aku punya
cara.”
“Bagaimana
caranya?”
“Kau mau
mengiris bibirmu?”
“Tidak!”
“Jadi
bagaimana?”
“Jangan
membuatku bersedih Melani.”
“Aku serius,
aku punya cara.”
“Tapi kau harus
berani!”
“Memangnya
kenapa?”
“Soalnya cara
ini adalah cara orang dewasa, dan cara ini terlarang bagi anak sekecil kita.”
“Memangnya cara
seperti itu ada?”
“Ya, ada.”
“Kau mau
sekarang?”
“Tapi, Melani,
kau belum memberitahuku bagaimana caranya.”
“Baik, tapi
jangan bilang ke orang lain, aku kan malu.”
“Dengarkan.”
“Supaya bibirku
ini bisa menjadi milikmu, tinggal kau tempelkan saja bibirmu ke bibirku.”
“Apa
sesederhana itu?”
“Ya,
sesederhana itu.”
“Aku tidak
percaya.”
“Kalau kau
tidak percaya, mari kita coba.”
“Tapi . . . apa
ayahmu tidak marah? Apalagi katamu, cara ini dilarang dilakukan oleh anak
kecil.”
“Tidak apa-apa,
kita lakukan saja sembunyi-sembunyi.”
“Sekarang?”
“Ya, sekarang.”
“Di mana?”
“Di sini saja.”
“Aku takut!”
“Tidak ini
tidak akan apa-apa, kau mau memiliki bibirku kan? Kau mau mulutku ini bertukar
dengan mulutmu kan?”
“Ya, aku mau,
tapi . . .”
“Ayolah, selagi
ayahku tidur siang.”
“Baik.”
Berkali-kali
kucoba menempelkan mulutku kemulutnya dan mencoba menghisap bibirnya, tetap
saja tidak berubah, bibir itu tetap milik Melani.
“Aduh Melani,
tampaknya caramu ini tidak berhasil.”
“Jangan putus
asa begitu, coba saja lagi.”
“Atau mungkin
waktunya yang terlalu singkat ya?”
“Mungkin juga.”
“Baik kita coba
sekali lagi.”
Aku telah
mencoba menempelkan mulutku ke mulutnya dan menyedot bibirnya kuat-kuat,
ternyata belum juga menunjukkan hasil yang kuharapkan. Akhirnya aku dan Melani
terkapar kelelahan di rerumputan taman itu.
Kulihat mata
Melani berbinar indah.
“Kita coba lagi
besok, kau setuju?”
“Di mana?”
“Di taman ini
lagi.”
“Ayahmu?”
“Dia selalu
tidur siang.”
Sudah berapa
hari aku mencoba cara yag diusulkan Melani itu, namun tak juga membuahkan
hasil. Namun entah mengapa, kegagalan itu tidak membuatku terlalu kecewa, usaha
menukarkan bibir kami berdua telah menjadi rutinitas kami. Kami melakukannya
hampir tiap sore. Di taman itu. Kami juga sudah tidak terlalu peduli, apakah
cara itu berhasil atau tidak. Sekarang, kami lebih peduli bahwa aku harus
berusaha menempelkan mulutku ke mulut Melani dan menyedot bibirnya.
Sampai suatu
hari,
“Bangsat!!! Anak
bejad, masih kecil sudah berani ciuman. Awas, aku laporkan kau pada orang
tuamu. Melani, masuk!!! Pulang kau anak bangsat dan jangan datang lagi
kesini!!!”
Tiba-tiba ayah
Melani muncul dan mendapati aku menempelkan mulutku ke mulut Melani dan
menyedot bibirnya. Dia tidak melaporkan aku pada ayahku.
Itu tidak terlalu penting bagiku.
Namun sejak
sore itu, aku tak pernah lagi ketemu dengan Melani, menurut kabar yang
kudengar, dia dikirim untuk tinggal bersama neneknya di kampung dan sekolah di sana.
Sekarang aku rindu Melani, bukan lagi untuk memiliki bibirnya melainkan aku
begitu ingin menempelkan mulutku kemulut Melani dan menyedot bibirnya. Dan
mahasiswi ini mengingatkanku akan Melani dengan mulutnya yang memiliki sepasang
bibir tipis.
* * * * *
Kembali kutatap
lekat mahasiswi itu, aku tidak tahu, apakah aku memperhatikannya karena dia
mirip Merlin, Monika atau Melani. Aku juga bahkan ragu, apakah Merlin, Monika
dan Melani benar-benar pernah kukenal. Yang pasti, tidak begitu lama, mahasiswi
itu turun bersama temannya tanpa belum sempat aku mengenal siapa namanya dan di
mana alamatnya. Yang kutahu tentangnya hanyalah bahwa dia naik dari pintu dua
kampus UMI. Dia naik bersama seorang temannya.
Dari cara
berpakaiannya, menunjukkan mereka berdua merupakan mahasiswa pada perguruan
tinggi tersebut. Dia mengenakan jilbab warna biru tua, serasi dengan baju
kemeja biru muda serta dipadu dengan rok yang juga biru tua seperti jilbabnya.
Sepatunya merah menyala.
Dalam dekapnya
terdapat sebuah buku tebal Sistem Informasi Akuntansi, nampaknya hasil kopian,
namun sudah dijilid luks dengan warna merah jambu yang menarik.
Tags:
Cerita Pendek