Menggagas Meritokrasi Pemuda

[29.10.2006] Francis Fukuyama (1992) memproklamirkan keyakinannya bahwa dari semua bentuk pemerintahan yang ada, baik monarki dan aristokrasi, negara teokrasi religius, hingga pemerintahan diktator fasis dan komunis abad ini, satu-satunya bentuk pemerintahan yang mampu bertahan utuh hingga akhir abad ke-20 adalah demokrasi liberal. Keyakinan Fukuyama ini menjadi makin kuat ketika beberapa waktu terakhir, proses demokratisasi memasuki era baru.

Jika memang demokrasi menjadi pilihan sistem kenegaraan yang akan diterapkan, maka pertanyaan selanjutnya adalah apakah demokrasi yang akan dijalankan adalah demokrasi yang mengadopsi demokrasi liberal yang menjunjung tinggi liberalisme di pelbagai aspek kehidupan atau memilih demokrasi sosial yang lebih berorientasi pada kesejahteraan bagi warga-bangsanya. 
Untuk menerapkan pilihan model demokrasi tersebut, apakah penerapannya akan berlangsung sepenuhnya ataukah dijalankan secara terbatas dibawah naungan monarki dan aristokrasi?


Yang pasti bahwa proses demokratisasi dan bangunan demokrasi itu sendiri tidak mungkin berjalan tanpa pemimpin. Karena sebuah proses demokrasi yang tidak memiliki pemimpin adalah proses demokrasi yang akan menuju anarki. Kepemimpinan yang harus ditegakkan dalam sebuah sistem demokrasi bukanlah sebuah kepemimpinan otoritarian yang secara nyata bertolakbelakang dengan hakikat demokrasi, kepemimpinan yang patut dibangun adalah sebuah kepemimpinan yang otoritatif dan kompatibel.

Kepemimpinan yang tetap ototritatif dan juga memiliki kompatibilitas dengan demokrasi tentu bukanlah kepemimpinan model aristokrasi yang mengandalkan jalur pewarisan kepemimpinan secara turun-temurun, pun bukan model kepemimpinan plutokrasi yang diperoleh seseorang karena kekayaan bawaan. Kepemimpinan yang paling kompatibel dengan demokrasi adalah kepemimpinan meritokrasi, kepemimpinan yang berdasarkan pada kompetensi dan pencapaian-pencapaian prestatif, tanpa memperhatikan aspek keturunan dan kekayaan bawaan yang dimiliki oleh seseorang.

Di tengah negara yang masih sesak dengan perilaku politik dan kepemimpinan yang berlumur korupsi, kolusi dan nepotisme, maka pilihannya tentu tak lain adalah meritokrasi. Pengalaman Inggris telah membuktikan. Sampai abad ke-18, Inggris masih terkenal sebagai sarang nepotisme yang dipelihara oleh feodalisme dalam naungan sistem monarki. Namun bangunan semangat berkompetisi (competitive spirit) yang terlahir karena tekanan eksternal sejak perang dunia pertama, mampu menggerus dan menggusur nepotisme dari panggung sejarahnya.

Kepemimpinan Pemuda
Secara potensial, untuk menegakkan bangunan model kepemimpinan meritokrasi dalam sebuah negara, maka konsep kepemimpinan pemuda adalah hal yang tidak bisa untuk disepelekan begitu saja. Hal ini karena pemuda merupakan bagian masyarakat yang memiliki kompetensi paling besar untuk menunjukkan pencapaian-pencapaian prestatif, tinggal bagaimana mereka diberi dorongan untuk itu. Salah satu faktor pendorong yang bisa dilecut adalah pembangunan karakter.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pemuda memang memiliki karakter mental yang labil apabila ditinjau dari sudut bangunan psikologisnya, namun bila pemuda mempunyai keyakinan teguh terhadap suatu bangunan nilai atau prinsip yang diyakininya benar dan positif, maka pemuda akan memperjuangkannya secara tulus ikhlas dan tanpa pamrih. Dalam kondisi ini, mereka mennjelma menjadi kekuatan yang luar biasa. Sungguh pantas Soekarno percaya dengan kapasiatas pemuda berkarakter seperti ini melalui ucapannya, “Beri aku sepuluh pemuda, dengan mereka aku mengguncang dunia”.

Tapi dalam konteks Indonesia hari ini, dibutuhkan kerja ekstra keras untuk mewujudkan model kepemimpinan meritokrasi dengan mendorong pemuda sebagai subyek utamanya, karena kualitas pemuda hari ini masih memprihatinkan. Sebesar 5,7 juta penganggur di Indonesia adalah mereka yang berusia antara 15-24 tahun, ini berarti pengangguran pemuda masih tinggi. Di samping itu, sebagai dampak dari arus globalisasi informasi dan gaya hidup, pemuda Indonesia tertulari gaya hidup yang mensahkan pergaulan bebas, bahkan diperkirakan sekira 6.000 pemuda Indonesia perhari mulai mencoba narkoba. Dan yang paling menggiriskan hati adalah makin meningkatnya persentase pemuda yang menjadi pelaku tindak kriminal.

Pendidikan Karakter
Tentu potensi besar yang dimiliki pemuda tidak bisa disia-siakan apabila demokrasi yang dijalankan di bawah model kepemimpinan meritokrasi masih menjadi pilihan bersama. Kelabilan 
karakter mental pemuda dari sudut psikologis harus bisa diatasi dengan mendorong proses pembangunan karakter yang kokoh pada generasi muda, dan kunci dari proses itu adalah pendidikan karakter. Pendidikan menjadi pilihan sebab pendidikan sebagaimana dikatakan oleh Pierre Bourdieu, “Memberikan bukan sekedar skemata bagi perbedaan kelas dan prinsip fundamental bagi kemapanan tertib sosial, tetapi juga menjadi katalis bagi perjuangan kuasa yang kompetitif.”


Adapun bangunan karakter yang penting untuk dibangun dalam generasi muda adalah pertama, semangat berkompetisi (competitive spirit). Semangat ini dibutuhkan untuk menstimulus pemuda agar mampu menunjukkan prestasi-prestasi positif. Semangat ini berupa keunggulan khas, dapat diandalkan, serta daya tahan dalam kesulitan dan persaingan; kedua, modal moralitas (moral capital). Hal ini menjadi penting untuk tetap menjaga agar jangan sampai semangat berkompetisi memberangus rasa tanggungjawab sosial dari pemuda. Moral capital yang paling mendasar adalah komitmen pada perjuangan untuk menegakkan nilai, keyakinan, tujuan dan amanat penderitaan rakyat.

Untuk membangun karakter seperti ini dalam generasi muda, maka pendidikan karakter harus meliputi kognisi (pikiran), emosi (perasaan) dan fisik (perilaku). Proses pendidikannya juga harus mengartikulasikan nilai-nilai dalam bentuk, mengetahui yang baik (knowing the good); merasakan yang baik (feeling the good); mencintai yang baik (loving the good); menginginkan yang baik (desiring the good); dan melakukan yang baik (acting the good).

Pendidikan yang seperti ini akan mendorong proses manifestasi karakter menjadi kebiasaan. Dari pendidikan karakter ini, akan lahir generasi yang memiliki kapasitas dan kompetensi untuk berprestasi dan berkompetisi secara sehat serta memperlihatkan karya nyata bagi kehidupan sosial yang lebih baik. Di samping itu, juga tetap memiliki rasa tanggungjawab sosial yang tinggi untuk memperjuangkan dan menegakkan nilai kebenaran dan keadilan serta perlindungan terhadap hak dan kepentingan orang banyak. Pemuda dengan kualitas seperti inilah yang akan menjadi tulang punggung dari model kepemimpinan meritokrasi yang demokratis.

Meritokrat Pemuda
Pemuda berkarakter yang menjadi harapan masa depan demokrasi, juga dituntut untuk mampu mengaktualisasikan kapasitas dan kompetensi serta karakter positif yang dimilikinya dalam dunia politik sebagai ranah kontestasi kekuasaan secara sosial politik dalam sebuah negara. Menurut Yudi Latif, pemuda berkarakter harus mampu memanifestasikan diri dalam bentuk meritokrat pemuda pada empat level kepemimpinan politik, yaitu: (1) basis moralitas; (2) tindakan politik; (3) keteladanan; dan (4) komunikasi politik.

Pada level pertama, basis moralitas. Di sini, komitmen seorang pemimpin pada perjuangan untuk menegakkan nilai, keyakinan, tujuan dan amanat penderitaan rakyat diuji. Realitas politik Indonesia hari ini memperlihatkan bahwa hanya sedikit politisi dan aparat pemerintah yang bisa lolos dari level ini. Hampir semua politisi bekerja untuk diri sendiri dan kelompoknya. Para legislator lebih nampak sebagai wakil partai dari pada sebagai wakil rakyat.

Kedua, tindakan politik. Pada level ini, seorang pemimpin diharapkan mampu untuk menerjemahkan bangunan nilai-nilai moralitasnya ke dalam perilaku, kebijakan dan keputusan politiknya. Ini tentu makin sulit, bagaimana mungkin mereka yang tidak memiliki komitmen moral dan kepekaan sosial akan peduli dengan bangunan perilaku, kebijakan dan keputusan politiknya. Mereka hanya peduli pada kepentingan diri sendiri, sehingga perilaku, kebijakan dan keputusan politiknya tentu merupakan pengejawantahan dari itu semua.

Ketiga, keteladanan. Kepercayaan komunitas politik dan konstituen akan tumbuh apabila mereka mampu melihat perilaku moral yang konkrit dan efektif dari para pemimpinnya sebagai suatu penerjemahan dari sebuah sikap moral yang memihak kepentingan mereka. Mereka juga akan melihat dan mencontoh perilaku moralitas dari pemimpinnya, karena keteladanan seorang pemimpin akan menularkan kesan otentik dari sebuah perilaku.

Terakhir, komunikasi politik. Seorang pemimpin dituntut untuk mampu mengkomunikasikan nilai-nilai moralitas menjadi bahasa politik yang bisa dipahami dan dimengerti oleh masyarakat, sehingga nilai-nilai moralitas tersebut menjadi efektif dan fungsional. Pemahaman yang baik akan anutan nilai moralitas pada masyarakat akan berimplikasi pada penguatan solidaritas sosial dan peningkatan kualitas moralitas masyarakat.

Artikulasi nilai-nilai moralitas berupa komitmen pada perjuangan untuk menegakkan nilai, keyakinan, tujuan dan amanat penderitaan rakyat sebagaimana yang harus diterjemahkan ke dalam empat level tersebut di atas, hanya bisa dilakukan oleh mereka yang menjadi pemimpin bukan karena warisan nenek moyang sebagaimana dalam sistem aristokrasi. Pun bukan mereka yang memimpin karena memiliki kekayaan bawaan sebagaimana kaum plutokrasi. Tapi mereka yang memimpin adalah mereka yang memiliki kompetensi serta pencapaian-pencapaian prestatif.


Ilustrasi: dicomot dari Deskgram

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama