Lesung pipi,
Rindu yang bersahaja
Rindu dalam kesunyian yang dalam
Lesung pipi,
Cinta yang sederhana
Cinta dalam kesenyapan yang diam
Lesung pipi
Rindu dan cinta bisu
--28
Juli 2004--
14 Juni 2003
Kau mengerti tentang
senyuman kanda? Tanyamu.
Senyum adalah
sebentuk penyikapan atas hidup. Tanggapmu terhadap Tuhan, alam dan manusia
sesama. Senyum adalah ekspresi jiwamu pada segala. Terutama padaku.
Tentu kau yang
paling mengerti tentang senyummu dinda. Tapi bagiku, senyum tetaplah senyum
yang bermakna harmoni. Dengan tersenyumnya dirimu padaku, itu berarti bahwa kau
mengajakku berbagi harmoni. Entah itu harmoni rasa, entah itu harmoni jiwa.
Kau begitu
pandai tersenyum. Sampai-sampai aku berfikir bahwa senyum telah menjadi seluruh
asamu. Sungguh kau sangat lihai mengukir senyuman. Apakah memang kau terlahir
dengan senyuman, atau kau terlahir sebagai senyuman? Atau bagaimana bila aku
memanggilmu dewi senyuman dinda?
Tapi tampaknya
kau memang begitu mengerti tentang arti sebuah senyuman dinda. Kau begitu faham
bahwa begitu banyak hal, bahkan mungkin semua, dapat diluruskan dengan sedikit
lengkungan di sudut bibirmu.
Aku mulai
belajar tersenyum dari dirimu dinda.
Meski bibirku
tak seindah bibirmu. Meski senyumkku tak semanis senyummu.
Maukah kau
mengajariku tersenyum?
17 Juni 2003
Kau mengerti
tentang keikhlasan kanda? Tanyamu lagi.
Ternyata
keikhlasan bermuara pada satu titik, dimana ego diri dan keangkuhan tidak lagi
memiliki eksistensi.
Tentu engkau
meragu dan sangsi akan hal ini.
Tapi aku sangat
yakin dengan hal ini. Bila ego dirimu merontokkan sayap hak milik dan klaim
kebenarannya, bila keangkuhanmu menanggalkan jubah kesombongan dan
kecongkakannya, maka kau akan hadir dengan telanjang di hadapan diri-Nya dalam kesendirian,
kesunyian, kebisuan dan keheningan wujud-Nya.
Kau faham
dengan maksudku, dinda? Kalau tidak, maka ambillah cermin dan tataplah lekat
pada senyum yang kau ukir, di sana terpatri keikhlasan.
Apakah kau
sadar, dinda?
Senyummu telah
meluluhlantakkan ego diri dan keangkuhan.
19 Juni 2003
Kau bertanya
tentang keheningan dinda?
Kau menganggap
aku mengerti tentang semua in? Tidak, aku hanya belajar dari senyummu. Senyummu
mengabarkan padaku bahwa keheningan tidak terdapat pada situasi dan suasana alam
yang harmonis dan dunia yang tanpa suara.
Keheningan
terhampar pada padang kebeningan jiwa yang dipenuhi hijaunya rumput keikhlasan
dan keteduhan pohon kerelaan. Semilir sejuk angin kekhusyukan dan gemericik air
pengorbanan menjadi musik yang berdenting lirih di pangkuan-Nya.
Tapi dinda,
sungguh sulit membedakan suara suara hati nurani yang hening dan bening dengan
bisik nafsu yang ramai, ribut dan meracau tanpa ujung pangkal. Namun lagi-lagi
aku belajar dari senyummu, bahwa suara hati nurani akan terdengar jernih bila
kita dapat menyusup ke dalam taman kesunyian dan lolos dari pelukan dan dekapan
tangan-tangan nafsu yang kekar.
20 Juni 2003
Dinda . . . . .
Dalam suratku
kali ini aku cuma mau menyampaikan satu hal. Senyummu manis sekali hari ini.
Lebih manis dari sebelumnya. Kau tahu kenapa? Itu karena hari ini, wajahmu
tidak hanya dihiasi senyum, tapi wajahmu dilengkapi dengan sepasang lesung
pipi.
Ternyata kau
menyimpan khasanah keindahan lain dari wajahmu dinda. Mungkin sebuah anugerah
buatku, bisa mencandra lesung pipimu. Ini diakibatkan oleh penampilanmu yang
berbeda. Jilbab yang membalut kepalamu lebih bersahaja kali ini, sehingga
wajahmu ibarat purnama.
Kau tahu? Kau
menjadi makin manis karenanya.
Dinda, aku
berharap dapat melihatmu terus memakai jilbab itu.
10 Juli 2003
Dinda . . . . .
Jangan bertanya
apapun padaku hari ini. Aku sedang berusaha mengosongkan jiwaku dari ego diri
dan keangkuhan. Semua ini kulakukan agar aku bisa memahami, mengerti dan
mencintai orang lain.
Aku ingin
kembali pada hakekat diri yang pemalu.
Bukankah rasa
malu merupakan sabuk pengaman bagi sebuah silaturahmi?
01 Desember 2003
Bagaimana
senyummu dinda?
Sekarang aku
yang balik bertanya padamu, setelah sekian lama aku tidak menghubungimu, tentu
senyummu masih seindah dulu kan? Oh ya, bolehkan aku meminta sesuatu padamu?
Aku penasaran dengan wajahmu bila cemberut. Apa mungkin kau akan lebih manis
bila cemberut? Apa mungkin kau akan lebih menarik bila merajuk?
Terkadang aku
merasa, kau begitu manja hingga aku menjadi kaget dalam bersikap terhadapmu.
Jangan memaksaku menunjukkan bahwa antara kita ada jejaring rasa yang tersulam
diam-diam dalam hening dan beningnya hati, bahwa antara kita ada rajutan emosi
yang mulai mengkristal dan memintal menjadi temali kukuh dan mengikat jiwa.
Aku takut
dengan jejaring dan rajutan itu, ini mungkin sebongkah kebodohan. Tapi bagiku,
ini penting untuk kusampaikan sebagai sebentuk keberanian untuk mengakui
kekeliruan --kalau ini memang kekeliruan--,
terutama pada diri sendiri.
Dinda, aku
takut kehilangan senyummu.
13 Desember 2003
Dinda . . . . .
Seribu langkah
menuju cinta tidak akan terasa. Karena cinta akan mengimpaskannya.
30 Desember 2003
Kau mulai
bertanya lagi padaku dinda?
Apa? Kau
bertanya tentang kedalaman makna padaku?
Baiklah
dengarkan baik-baik.
Kedalaman makna
akan kau gapai bila kau menjalani hidup dengan sederhana. Karena kesederhanaan
adalah cermin yang begitu bening.
Karena kesederhanaan
adalah ruang yang begitu hening.
23 Oktober 2004
Lama aku baru
menulis surat untukmu lagi dinda.
Terus terang
aku sengaja melakukannya, aku takut pada diriku sendiri. Seperti yang pernah
kukatakan sebelumnya. Bahwa ada jejaring dan rajutan yang mempertautkan kita.
Aku sadar, jejaring dan rajutan itu adalah sebongkah cinta. Tetapi jejaring itu
telah menjeratku begitu kuat, rajutan itu menyeretku begitu jauh, memaksaku
untuk memilikimu.
Bukankah cinta
tidaklah berarti harus memiliki?
Bukankah cinta
tidaklah sebuah janji untuk saling mengikat?
Bukankah cinta
tidaklah sebuah akad untuk saling memiliki?
Tapi aku rasa
tak bisa melepaskan diri. Makanya aku tak menghubungimu lagi dan tidak membalas
surat-suratmu.
24 Oktober 2004
Dinda, aku
menghubungimu lagi secepat ini.
Hari ini aku
begitu gelisah, dalam tidur siangku aku bermimpi tentangmu. Kau hadir dengan
senyummu yang termanis dalam balutan jilbabmu yang bersahaja sehingga lesung
pipimu tercandra, begitu indah.
Tapi sungguh,
semua itu membuat aku sakit. Senyum dan lesung pipi itu bukan untukku,
melainkan untuk yang lain.
Aku kehilangan segalanya,
bahkan akupun mulai kehilangan kata. Mungkin surat ini adalah surat terakhir
yang kutulis diam-diam untukmu, diantara sekian banyak surat sebelumnya yang
tak pernah berhasil kukirimkan dan tersampaikan padamu.
Maaf dindaku,
aku merindui kamu.
Tags:
Cerita Pendek