“Mendung turun,
merayap menyusur punggung gunung, merangkul kedukaan. Sepengal jiwa melayang,
sepotong nyawa meregang, sekarat, pekat, tuntas. Jazad teronggok kaku diiringi
tangis beribu butiran air mata, menganak sungai, bagitu mengharukan”.
Aku mengakhiri
kisah yang kubaca.
Kuakhiri dengan perlahan dan suara bergetar.
Sepenggal kisah
yang kutulis sendiri.
Mendengar tuturku, seisi ruang pertunjukan hening, bening, hanya berisi isak
tangis yang mengiringi.
Aku terduduk, lidahku
kelu, leherku
kaku.
Aku terasa gagu
dan bisu.
Akhirnya….
* * *
Aku dilahirkan
oleh sepasang orang tua yang entah, aku tak pernah mengenalnya. Yang kutahu
namaku adalah La Tenribali[1],
sebuah nama yang bernuansa etnik. Aku seorang pembaca cerita dalam ruang-ruang
pertunjukan cerita, bahasa kerennya seorang pendongeng.
Bagi
orang-orang yang menggemari pertunjukanku, mereka menggelariku La Capila[2],
lagi-lagi sebuah nuansa etnik mencuat, tapi bagus juga. Umurku mungkin baru
20-an tahun, tapi orang-orang pikir aku sudah begitu dewasa, mungkin karena
wajahku yang kelihatan kusut masai dan tidak terlalu terurus sehingga aku
brewok.
Aku tak peduli
semua itu, yang pasti aku bisa mengungkapkan khayalanku pada orang-orang.
Dengan menceritakan khayalanku, aku merasa terbebas dari beban pikiran yang
begitu mengimpit dan menjepit.
Satu
kelebihanku, ceritaku begitu hidup, kata mereka.
* * *
Hari ini,
kahyalanku begitu menumpuk, membludak dan mendesak untuk diceritakan, namun
hari ini tak ada pertunjukan, ruang pertunjukanku sunyi senyap. Aku tak tahu
harus kuceritakan kemana, pada siapa, kapan dan di mana khayalan ini. Semua
seakan menjadi tuli atau pura-pura tuli? Aku tak tahu. Jadilah khayalan ini
kusemburkan kehalaman lembar-lembar diari yang menjadi pendengar setia ketika
semua telinga menjadi tersumbat oleh keangkuhan dan keengganan untuk mendengar
bualanku.
“Berhenti kau
menghayal keparat, kau hanya mampu bercerita dan tak mampu menghasilkan apa-apa
untukku!” Gertak seorang lelaki yang mengaku ambo’ku[3].
“Aku bisa apa,
kalau aku tidak menghayal. Aku hanya bisa itu, tidak yang lain. Dan bagiku,
semua hanyalah khayalan, bahkan untuk mengenalmupun, aku harus berkhayal. Kau
hanya memberiku kesempatan untuk berkhayal, kau hanya memberiku khayalan. Hidup
ini sekedar khayalan, Hidupku, hidupmu, dan hidup yang lain, itu hanyalah
sepenggal khayalan dalam ingatan Tuhan. Itu hanya impian kosong yang akan
segera berlalu dalam lipatan waktu yang kian membusuk.” Jawabku dengan muka
sinis.
“Tapi anakku,”
sergah perempuan tua, indo’ku[4],
“Kau adalah
harapan kami. Apa jadinya kalau kau hanya bisa menghayal, kau mau makan apa?
Apa kau mau makan khayalan?” Dia menyerangku dengan sorot matanya yang tajam.
Aku terdiam tapi khayalanku tetap mengalir, deras dan menggenang dalam ingatan
yang mengembang, memuai, membesar dan meledak dalam kata dan kalimat.
“Indo’, tidak sia-sia aku digelari La Capila, biarkan aku terus bicara,
meminjam kicau burung dan lolongan anjing yang akan kurangkai menjadi madah
indah dalam sulaman khayalan yang harum semerbak dan mewangi, segar menebar
pesona di setiap telinga yang mendengar tuturku. Indo, aku penghayal yang
hebat, mereka semua terdiam dan terpaku mendengar kisahku, meskipun itu semua
hanyalah semburan kata-kata khayal tanpa makna dan kalimat-kalimat membuai
tanpa realita. Sungguh tepat kalian berdua menamaiku La Tenribali, tak ada seorangpun yang berani membantah khayalanku”.
“Seharusnya, ambo’ dan indo’pun tidak boleh membantahku, karena bantahan itu akan
mengugurkan makna dari nama La Tenribali
yang kalian pilih sendiri untukku.” Ucapku dengan ketus.
“Anak
durhaka!!!” Suara ambo’ dan indo’ menggelegar serempak mencaciku
ibarat serempaknya petir dan kilat yang menyambar kala menjelang hujan lebat
dan badai. Mereka memang sedang mengundang badai dari khayalku. Hampir saja
khayalan kemarahan memenuhi ubun-ubun kesadaranku, untung aku bisa bersabar
walau sebatas khayal.
“Ambo’ dan indo’, tolong hargai aku, kalau tidak, aku akan menghilangkan
kalian berdua dari hidupku, aku akan mematikan kalian, bahkan dalam khayal dan
imajinasiku sekalipun. Jangan kira aku takut melakukannya. Aku berani, tak ada
yang bisa menahanku dalam dunia khayal ini, ini adalah duniaku, dunia kebebasan
dan tempat aku bertahta dalam kerajaanku!”
Aku marah, aku
teriak, aku protes, suaraku serak memekakkan telinga.
“Anak keparat!
Mau melawan orang tua ya!?”
Aku di pukul,
dicakar, di tendang, rambutku dijambak, kepalaku dibenturkan kedinding-dinding
kemungkinan khayali, aku nanar, duka berpendar, sakit berbinar, darah memancar
dari luka yang tersebar di sekujur tubuh yang memar.
Kuraba
kepalaku,
“Darah… darah…
oh……… darah…….. mengapa kau tumpah dan begitu deras membuncah…” Aku kalap,
penglihatanku gelap, terlelap.
Saat kusadar,
kuraba sebujur tubuh, kuelus seluruh penjuru kulit, kususur sekujur lekuk
badan. Tak ada darah membuncah, tak ada luka yang menganga, tak ada angkara
yang membara, tak ada ambo’ dan indo’ yang marah dan murka. Yang ada
hanya catatan harian yang siap mendengarkan tutur khayalku tanpa keluh kesah,
sebatang pena yang sedia menuturkan semua kata yang tercipta dala lautan
khayali.
Kudapati diriku
terpaku, aku telungkup, aku menghayal, semua hanya khayal.
Ternyata…
* * *
Ya…
Lesu-lusuh jiwaku
Tapi,
Asa ‘kan kujaga selalu
Ya…
Lemah-letih ragaku
Tapi,
Etos ‘kan kubina syahdu
Ya…
Semua berlalu
Tapi,
Pasti meninggalkan rindu
Ya…
Aku terpaku
Tapi,
Mimpi enggan membeku
Kembali ketika
khayalanku kupaparkan, setiap mata menatap kagum, tepukan gemuruh mengusung
pujian dan sanjungan. Menganak sungai aliran kata memuja, semua bagaikan
kelopak bunga melati yang putih, suci dan mewangi. Aku hanya bisa menghayalkan
sebentuk keikhlasan gar tergambar senyum di bibir, walau sebenarnya aku
tersiksa, aku seakan tak turut merasakan dan menikmati manisnya sanjungan.
Bait-bait
puisi, tak mampu kunikmati lebih jauh kecuali hanya sebatas khayal, terbentur
limit angan, terjebak dalan ruang mimpi. Semua mengapung, berpendar, terlontar,
berputar dan mengalun di luar rasa sedih yang begitu suci. Aku tak tahu, tak
pernah tahu dan tak akan berussaha untuk tahu, apakah kumasih punya asa dan
etos yang tidak sebatas khayal?
Yang kutahu aku
hanya punya khayalan tentang rindu dan mimpi yang enggan membeku. Yah akulah
penguasa negeri khayal, akulah La Capila,
akulah La Tenribali dan aku sedang
menghayal, saat ini, disini, lewat cerpen ini.
[1] (Bahasa
Bugis) nama atau gelar yang diberikan pada seseorang yang secara harfiah
berarti tidak terbantahkan
[2] (Bahasa
Bugis) nama atau gelar yang diberikan pada seseorang yang secara harfiah
berarti banyak cerita atau banyak omong
Tags:
Cerita Pendek