“Aku mau mati saja, lepaskan aku, jangan halangi aku”. Seru Eva sambil
meronta dan mencakar, berusaha melepaskan cengkraman tangan Iman dan Sholeh.
“Tidak akan kulepaskan, takkan kubiarkan kau mengakhiri hidupmu secara
sia-sia begini, hidup begitu agung untuk kau sia-siakan”. Iman menasehati tanpa
melepaskan pegangannya pada pergelangan tangan Eva.
“Istighfar Eva, istighfar, Allah tidak akan mengampuni orang yang bunuh
diri”. Timpal Sholeh.
Mulut Eva menggeram
“Kalian enak bicara begitu, karena kalian tidak mengetahui apa yang sedang
kurasakan.” Sahutnya dengan pandangan mata jelalatan
memelototi Iman dan Sholeh secara bergantian.
“Bagaimana kami tahu kalau kamu tidak pernah mengkomunikasikannya kepada
kami?” Seru Sholeh.
“Ia, kamu selama ini tidak pernah menyampaikan masalahmu kepada kami,
padahal kita di asrama ini ‘kan seharusnya sudah seperti saudara sendiri,
masalah yang lain, masalah kita semua”. Lanjutnya.
Eva hanya sesenggukan,
“Sudahlah Eva, teguhkan dirimu, mari kita bicarakan baik-baik, ya?” Bujuk
Sholeh sambil menuntun tubuh Eva yang mulai lemas ke tempat tidur.
“Nah kalau begini ‘kan lebih enak”. Lanjutnya
“Ayo dong, kami akan melepaskanmu, tapi janji jangan berbuat macam-macam
lagi, ya?”
“Kalau ada apa-apa, kita juga semua yang akan susah”.
Iman mulai melepaskan tangannya seiring dengan makin lemasnya tubuh Eva
yang terbaring di tempat tidur.
“Baiklah, istirahat saja dulu. Setelah kau merasa tenang, kita akan bahas
masalahmu secara bersama-sama, okey?” Saran Sholeh.
“Tidak, akan kuceritakan segalanya sekarang, dengarkanlah!” Sahut Eva
sambil mengangkat kepalanya.
* * *
Eva dilahirkan 20 tahun yang lalu, tepatnya 23 September 1982. Di sebuah
desa dengan gemuruh ombak yang senantiasa mencumbu bibir pantai. Sebagaimana
penduduk desa yang lain, orang tua Eva pun bermata pencaharian sebagai nelayan
tradisional. Lahir ditengah keluarga yang sederhana, agamis, bersahaja, dan
penuh dengan cinta dan kasih sayang.
Eva melalui masa kecil sampai remaja dengan tidak ada masalah berarti.
Pendidikan ditempuhnya dengan prestasi yang lumayan. Sampai kemudian dia harus
berpisah dengan orang tuanya untuk melanjutkan pendidikannya di kota Makassar.
Jarak yang begitu jauh memisahkan Eva dengan orang tuanya, tidak membuat
kasih sayang mereka berkurang bahkan makin mengental. Namun bagi Eva itu
menjadi kendala karena walaupun bagaimana Eva membutuhkan teman untuk berbagi
masalah. Akhirnya Eva mengenal pemainan baru “cinta monyet”.
Tanpa sepengetahuan orang tuanya, Eva bermain cinta dan berpindah dari
satu lelaki ke lelaki lain. Hidup dalam keriangan pesta dan hura-hura.
Sampai suatu hari, Eva merasakan sesuatu yang aneh dalam dirinya. Hal ini
bermula ketika Eva pindah kost ke sebuah asrama. Dalam kost yang bernama “Green Black” tersebut, Eva merasakan
sebuah gairah hidup yang lain.
Eva mengenal seorang pemuda yang tinggal di asrama itu, pemuda itu
berwajah lumayan, namun cueknya terhadap perempuan minta ampun, tapi bagi Eva
itu malah merupakan tantangan baginya. Dengan modal pengalaman sebelumnya, Eva
kembali akan menjadikan pemuda itu sebagai korban petualangan cintanya.
Berbagai macam jurus asmara, rayuan, bujukan dan godaan telah dicobanya
untuk menggaet hati pemuda tersebut.
Tapi semua itu, menguap begitu saja tanpa hasil. Pemuda itu terlalu cool untuk sekedar menanggapi semua itu.
Tanggapan dingin pemuda itu makin membuat Eva merasa tertantang untuk
menaklukkan hati pemuda itu. Tapi tanpa disadarinya, dalam hati Eva telah
tumbuh benih cinta yang tulus kepada pemuda itu. Sebuah perasaan yang selama
ini tidak pernah ada ketika dia berhubungan dengan pemuda lain.
Hari demi hari Eva dengan gigih mendekati sang pemuda, tapi sang pemuda
seakan tak bergeming, bahkan tak sedikitpun menganggap Eva istimewa di samping
teman-teman seasrama lainnya. Karena sikap pemuda itu, Eva menjadi berubah.
Keseriusannya untuk mendekati pemuda itu tidak lagi dilatari oleh keinginan
untuk sekedar main-main demi sebuah kesenangan biasa, tapi Eva sudah
merasakannya sebagai kebutuhan. Setiap hari bayangan pemuda itu selalu
menghantuinya.
Suara lamat-lamat dari pemuda itu, seakan mengiris-iris hatinya. Ingin
rasanya menangis atas kecuekan pemuda itu terhadapnya. Api cemburu membakar
bila melihat pemuda itu lagi bicara dengan gadis lain. Eva, ada apa denganmu?
Ah, entahlah.
Harapan Eva pada pemuda itu seakan sia-sia, semua tanpa arti, Eva tidak
peduli dengan kasih sayang orangtuanya lagi. Harapannya cuma satu, cinta pemuda
itu.
Semua tak berarti, semua hanyalah mimpi, semua hanya ilusi. Hasrat yang
sia-sia. Eva menjadi kehilangan gairah hidup, bayangan pemuda itu seakan
mentertawainya, tertawa sinis atas kebodohannya. Sampai kemudian Eva memutuskan
untuk bunuh diri dengan jalan gantung diri di kamar asrama pada sebuah siang
yang sunyi. Akhir dari sebuah hidup yang sia-sia.
* * *
“Demikianlah kisahku sampai kemudian kalian berdua menghentikan usahaku
untuk bunuh diri”. Eva mengakhiri kisahnya.
Iman dan Sholeh menghela nafas panjang dan menggeleng-gelengkan kepala
seakan tak habis pikir tentang masalah yang dihadapi Eva.
“Tapi kenapa kamu sampai senekad itu Eva?” Tanya Sholeh memecah kesunyian
suasana di kamar Eva.
“Aku sudah putus asa dan menganggap semuanya sia-sia saja”. jawab Eva
singkat
“Kenapa kamu tidak berterus terang kepada pemuda itu, apalagi dia ‘kan
tinggal di asrama ini juga?” lacak Sholeh lebih lanjut.
“Aku sebenarnya sudah menyampaikan kepadanya, namun tidak ada reaksi
darinya, bahkan dia terkesan menghindar. Apa gunanya terlahir sebagai manusia
kalau hanya untuk menanggung gumpalan hasrat yang sia-sia?” Mendengar jawaban
Eva, semua terdiam.
“Itu sebuah bangunan pemikiran yang kurang tepat menurut saya, justru
hasrat yang sia-sialah yang mampu menjadikan manusia menjadi makhluk yang
berpengharapan, adakah dorongan hidup yang paling kuat selain dari harapan?”
jelas Iman dengan penuh kewibawaan.
“Tapi apakah itu bisa, bila harapan itu hanya di bangun diatas hasrat yang
sia-sia seperti saya ?” tanya Eva lirih.
“Ya bisa saja, dan memang seperti itulah adanya, semua harapan adalah
kesia-siaan, kecuali harapan akan perjumpaan dengan-Nya!” lanjut Iman.
Mendengar penjelasan Iman, Eva tertegun begitu dalam.
“Sebenarnya siapasih orangnya, yang kamu sukai itu Eva? Apakah Sholeh,
Andy, Jamal, Irfan, Aan atau Mamat?” tanya Iman penuh selidik.
“Ah, sudahlah aku tidak mau menjawabnya” jawab Eva
“Aku haus, Sholeh bisa tolong ambilkan air minum satu gelas di ruang
makan?” lanjutnya. Sholeh bergegas menuju ruang makan asrama mengambil air
minum untuk Eva.
Ketika Sholeh beranjak pergi, sambil memandang lekat-lekat wajah Iman, Eva
berguman,
“Kau mau tahu orang yang telah menyia-nyiakan hasratku?”
“Ya, kalau kau tidak keberatan menyampaikannya” jawab Iman pendek.
“Orang itu adalah kau, orang kejam itu bernama Iman!” Eva bicara sambil
menutup mukanya yang mulai dipenuhi bulir-bulir bening air matanya.
Suasana hening untuk beberapa saat, sampai kemudian Iman bersuara dengan
intonasi yang begitu berat dan tertekan.
“Jadi,... orang itu aku? Apakah hal itu ada hubungannya dengan kertas
ini?” Iman mengeluarkan secarik kertas lusuh dari saku celananya dengan tangan
yang gemetar.
“Ya, kertas itu adalah salah satu upayaku untuk menyampaikan perasaanku
padamu, tapi kamu begitu angkuh dan tak peduli dengan perasaanku.” Eva kembali
menangis.
“Tapi aku tak mengerti apa maksud dari kertas ini, dan dari mana asalnya,
aku cuma menemukannya di bawah daun pintu kamarku kemarin pagi”.
Iman salah tingkah. Suasana hening hanya sesenggukan Eva yang terdengar.
Situasi ini mereda ketika Sholeh datang dari ruang makan membawa segelas
air putih untuk Eva.
“Nih, air putihnya cepat minum supaya tenagamu pulih”. sahut Sholeh sambil
menyodorkan gelas kearah mulut Eva. Tanpa peduli dengan kehadiran Sholeh, Iman
mempertanyakan makna dari tulisan di kertas yang ditulis Eva untuknya.
“Terus terang aku tidak mengerti maksudmu dengan mengatakan ‘Aku Diam Dalam Ketakbermaknaan Hidup, Aku
Bicara Dalam Ketakmengertian Cinta’ kau tidak bisa mengatakan aku angkuh
hanya karena aku tidak mengerti kalimatmu ini” kata-kata Iman sedikit bergetar.
“Hai ada apa ini dan puisi siapa itu, lihat dong” cerocos Sholeh yang tiba-tiba masuk, tapi semua tak peduli.
“Lalu apa yang kau pahami dari kalimat itu, apakah kau tidak melihat
betapa aku menderita atas ketakbermaknaan hidup yang kurasakan karena
ketakmengetianmu terhadap cintaku?” Eva bangkit dari baringnya dan duduk
memeluk bantal di sudut tempat tidur.
“Jelas aku tidak mau disalahkan seperti itu, lagipula kenapa kita harus
menderita hanya karena ketakbermaknaan hidup, menurut saya ketakbermaknaan
hidup itu tidak pernah ada, yang ada hanyalah kebodohan kita untuk melihat
makna hidup, dan juga, bukankah ketakbermaknaan hidup itu sebenarnya merupakan
pemaknaan atas hidup”. Iman menjelaskan panjang lebar, kemudian dia
melanjutkan,
“Kau juga menuduhku tidak mengerti cinta, padahal justru karena aku
mengerti cinta, maka aku tidak mengerti maksud dari suratmu ini, karena dalam
pahaman saya cinta selamanya akan penuh dengan pengertian.”
Eva terdiam mendengarkan penjelasan panjang lebar tentang hidup dan cinta
dari Iman yang sedikit philosofis.
“Jadi menurutmu apa makna hidup sesungguhnya, dan apa pengertian cinta
yang hakiki ?” tanya Eva dengan memelas.
Menghela nafas panjang, Iman
menjelaskan
“Hidup adalah kumpulan pilihan-pilihan dimana kita diperhadapkan dan
diharuskan memilih. Jadi pilihanmu terhadap pemahaman bahwa hidup tidak
bermakna lagi adalah sebuah pilihan hidup dan ini berarti bahwa bagimu, makna
hidup adalah ketidakbermaknaan. Sementara itu bila kita berbicara tentang
cinta, sebenanya tidak terpisah dari hidup itu sendiri”.
Iman berhenti sejenak, lalu melanjutkan. . .
“Cinta yang hakiki adalah cinta yang bisa menuntun kita dalam melakukan
pilihan-pilihan hidup sehingga pilihan yang kita lakukan dan pemaknaan yang
kita fahami tidak melahirkan tindakan tanpa makna”.
Tags:
Cerita Pendek