TIDAK satupun di antara kita yang berani menafikan peran pemuda dalam kehidupan kebangsaan Indonesia. Sejak perang kemerdekaan sampai mengisi kemerdekaan, pemuda selalu berada di garda terdepan. Menjadi aktor sekaligus sutradara dari perubahan yang terjadi.
Sedikitnya terdapat tiga momen besar bangsa ini yang bisa menunjukkan peran kepeloporan pemuda. Pertama, pada momen 1908-1928, pemuda memainkan peran sebagai pemersatu. Pada fase ini pemuda mendirikan Budi Utomo dan mencetuskan Sumpah Pemuda.
Kedua, tahun 1945-1948, pemuda mengambil peran kepejuangan dengan menunjukkan patriotismenya pada bangsa dan negara, mereka menjadi pembela kemerdekaan negara yang gigih dan tangguh. Selanjutnya peran pemuda yang ketiga terjadi tahun 1966, 1974, dan 1998. Pada fase ini terlihat pemuda menjadi kekuatan pengontrol dan pendorong perubahan yang efektif. Hal ini terbukti pada gerakan reformasi 1998.
Pemuda sebagai sebuah entitas sosial dipahami sebagai anggota masyarakat, baik lelaki maupun perempuan yang memiliki batasan umur antara usia 15-35 tahun. Sebuah usia yang memang sarat dengan potensi dan energi positif. Namun demikian, kebesaran dan keharuman nama pemuda dalam untaian sejarah bangsa serta keanekaragaman potensi yang dimilikinya tidak membuat pemuda serta-merta lepas dari berbagai macam persoalan yang pelik dan rumit.
Belitan problem inilah yang membuat berbagai pihak menjadi risau dengan masa depan bangsa Indonesia, sebab generasi muda kinilah yang akan melanjutkan kepemimpinan bangsa ini kelak.
Beberapa problem mendasar yang dihadapi pemuda Indonesia hari ini sebagaimana diungkapkan Budi Setiawan dalam Profil Pemuda 2005 di antaranya masih rendahnya partisipasi aktif pemuda dalam pembangunan nasional karena tidak memiliki keterampilan hidup dan berdampak pada rendahnya daya saing menghadapi globalisasi.
Menurunnya wawasan kebangsaan pemuda serta meningkatnya penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang dan pergaulan bebas di kalangan pemuda. Meningkatnya kasus tidak kekerasan yang melibatkan pemuda dan masih tingginya angka putus sekolah.
Problem Dasar
Kalau diperhatikan secara seksama beberapa problem pemuda yang diajukan Budi Setiawan, terlihat jelas bahwa persoalan mendasarnya adalah pendidikan. Sejak pemerintah mencanangkan program wajib belajar sembilan tahun bagi seluruh warga negara usia sekolah, ditemukan bahwa program tersebut lebih banyak hanya menjangkau wilayah perkotaan, itupun tidak maksimal.
Dari Profil Pemuda 2005 ditemukan bahwa peserta didik di pedesaan, pemuda laki-laki hanya berhasil mengenyam pendidikan sampai 7,3 tahun. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan kasus yang sama di masyarakat perkotaan, setinggi 9,8 tahun.
Kasus yang sama juga terjadi pada pemuda perempuan di pedesaan hanya mencapai 7,9 tahun, kembali lebih rendah dari perempuan muda di perkotaan yang mencapai pendidikan rata-rata sampai 10,1 tahun. Kondisi rendahnya aplikasi program wajib belajar sembilan tahun ini ditemukan bahwa kira-kira 3-4 di antara 100 pemuda di pedesaan menderita buta huruf, sementara di perkotaan, angka buta hurufnya lebih rendah, hanya satu di antara 100 pemuda.
Bahkan pemuda yang telah bebas dari kondisi buta huruf pun belumlah menjanjikan masa depan yang menjanjikan bagi pemuda. Ini karena sebagian besar pemuda, terutama yang berdomisili di pedesaan, hanya berhasil mengenyam pendidikan di tingkat sekolah dasar. Di daerah pedesaan, pemuda yang berpendidikan SD mencapai 55,24 persen, SMP sebesar 28,15 persen, sementara yang sampai SMA hanya 16,61 persen.
Persentase pendidikan pemuda di perkotaan merupakan kebalikan dari gambaran pendidikan pemuda di pedesaan. Pemuda perkotaan yang berhenti dan hanya sampai jenjang SD cuma 26,32 persen, SMP 28,69 persen, sedang yang menyelesaikan pendidikannya sampai SMA 44,19 persen.
Dengan melihat angka-angka tersebut membuat mata kita terbuka bahwa pemerataan pendidikan belum terlaksana baik. Lalu bagaimana kita meningkatkan kualitas serta mengurangi berbagai macam problem kepemudaan yang dihadapi? Padahal, bila problem pemuda tidak terselesaikan akan berpengaruh pada sektor lain, sebab jumlah pemuda Indonesia mencapai 80,7 juta jiwa atau setara dengan 37,2 persem dari seluruh penduduk Indonesia.
Pengaruh negatif dari terbengkalainya pembangunan sumber daya pemuda akan lebih terasa di perkotaan karena dari keseluruhan penduduk Indonesai yang memenuhi kriteria sebagai pemuda, sekitar 43,3 juta jiwa atau sekitar 54 persen berdomisili di perkotaan, sementara di pedesaan hanya 37,3 juta jiwa atau 46 persen. Inilah yang menyebabkan jumlah pemuda pengangguran terbuka di perkotaan mencapai 12,96 persen lebih besar dari pedesaan yang berjumlah 10,68 persen.
Membangun Pemuda
Dari gambaran di atas, terlihat bahwa tanpa upaya serius membangun karakter dan kapasitas pemuda, Indonesia akan mengalami problem besar dalam mendorong kebangkitan nasionalnya kembali setelah terpuruk dihempas badai krisis multidimensi. Tentu hal yang paling mendasar yang harus dilakukan adalah membuka akses seluas-luasnya bagi aktualisasi dan pengembangan diri bagi pemuda.
Sebagai bahan evaluasi, patut dicatat bahwa sampai tahun 2005, pemuda Indonesia masih kekurangan akses terhadap ruang pendidikan dan pekerjaan. Sampai saat ini sekitar 2,4 persen pemuda buta huruf, 45 persen belum mendapatkan pendidikan dasar sembilan tahun. Kedua hal ini berkaitan pada ketersediaan akses pemuda terhadap ruang-ruang pendidikan. Sementara tingginya pengangguran pemuda yang mencapai 17,3 persen dan masih adanya 20 persen pemuda yang hidup di bawah garis kemiskinan menunjukkan masih kurangnya akses pemuda terhadap ruang pekerjaan dan penghidupan yang layak.
Di samping persoalan akses terhadap ruang pendidikan dan pekerjaan kemampuan untuk menetapkan sebuah kebijakan pendidikan yang relevan juga sangat menentukan kualitas pemuda yang ingin dilahirkan. Setidaknya, pendidikan yang patut diberikan kepada pemuda adalah yang bisa mendorong mereka menjadi lebih memahami nilai-nilai demokrasi. Ini terkait dengan kebutuhan bahwa para pemudalah yang akan melanjutkan kepemimpinan bangsa kedepan.
Selain itu, pemuda sebagai calon penerus cita-cita bangsa, pemuda juga tentu membutuhkan dorongan dan motivasi agar mereka lebih mampu mengembangkan wawasan kepemimpinan dan keteladanan yang berbasis pada kemampuan melihat kedepan (pemuda yang visioner dan berwawasan futuristik).
Setelah menetapkan sebuah kebijakan pendidikan yang relevan bagi kebutuhan untuk membagun dan mengembangkan kualitas sumber daya pemuda yang unggul, maka tak kalah pentingnya adalah menanamkan komitmen pada prinsip pendidikan yang universal sehingga tujuan pendidikan yang dicanangkan dapat tercapai.
Prinsip-prinsip pendidikan yang tidak boleh ditinggalkan adalah bahwa pendidikan tidak hanya sebagai learning to know, melainkan juga learning to learn, learning to do, learning to be, dan learning to live together.
Penekanan pada persoalan pendidikan dalam konteks penyelesaian problem kepemudaan yang di hadapi bangsa ini karena sebagaimana kita pahami bersama bahwa kebangkitan nasional tidak lepas dari inisiatif para generasi muda terdidik. Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa kebangkitan nasional tidak bisa dipisahkan dengan pendidikan.
Berkaitan dengan itu, momen bulan Mei 2006 di mana kita baru saja memperingati Hari Pendidikan Nasional (02 Mei 2006) dan menjelang peringatan Hari Kebangkitan Nasional (21 Mei 2006), tentu ini merupakan waktu yang tepat untuk secara serius membincang persoalan ini secara bersama-sama sehingga bangsa ini bisa kembali berjaya dan merebut supremasi sebagai bangsa yang besar dan patut dibanggakan.
Ini semua kembali kepada itikad baik semua pihak terkait, terutama pemerintah untuk menyelenggarakan sistem pendidikan nasional yang akan melahirkan pemuda yang menjadi motor penggerak kebangkitan nasional. Bukankah hak atas pendidikan merupakan salahsatu hak dasar yang diatur dalam konstitusi dasar negeri ini? (*)
Tulisan ini dimuat Harian Tribun Timur Makassar pada Kamis, 18 Mei 2006
Sedikitnya terdapat tiga momen besar bangsa ini yang bisa menunjukkan peran kepeloporan pemuda. Pertama, pada momen 1908-1928, pemuda memainkan peran sebagai pemersatu. Pada fase ini pemuda mendirikan Budi Utomo dan mencetuskan Sumpah Pemuda.
Kedua, tahun 1945-1948, pemuda mengambil peran kepejuangan dengan menunjukkan patriotismenya pada bangsa dan negara, mereka menjadi pembela kemerdekaan negara yang gigih dan tangguh. Selanjutnya peran pemuda yang ketiga terjadi tahun 1966, 1974, dan 1998. Pada fase ini terlihat pemuda menjadi kekuatan pengontrol dan pendorong perubahan yang efektif. Hal ini terbukti pada gerakan reformasi 1998.
Pemuda sebagai sebuah entitas sosial dipahami sebagai anggota masyarakat, baik lelaki maupun perempuan yang memiliki batasan umur antara usia 15-35 tahun. Sebuah usia yang memang sarat dengan potensi dan energi positif. Namun demikian, kebesaran dan keharuman nama pemuda dalam untaian sejarah bangsa serta keanekaragaman potensi yang dimilikinya tidak membuat pemuda serta-merta lepas dari berbagai macam persoalan yang pelik dan rumit.
Belitan problem inilah yang membuat berbagai pihak menjadi risau dengan masa depan bangsa Indonesia, sebab generasi muda kinilah yang akan melanjutkan kepemimpinan bangsa ini kelak.
Beberapa problem mendasar yang dihadapi pemuda Indonesia hari ini sebagaimana diungkapkan Budi Setiawan dalam Profil Pemuda 2005 di antaranya masih rendahnya partisipasi aktif pemuda dalam pembangunan nasional karena tidak memiliki keterampilan hidup dan berdampak pada rendahnya daya saing menghadapi globalisasi.
Menurunnya wawasan kebangsaan pemuda serta meningkatnya penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang dan pergaulan bebas di kalangan pemuda. Meningkatnya kasus tidak kekerasan yang melibatkan pemuda dan masih tingginya angka putus sekolah.
Problem Dasar
Kalau diperhatikan secara seksama beberapa problem pemuda yang diajukan Budi Setiawan, terlihat jelas bahwa persoalan mendasarnya adalah pendidikan. Sejak pemerintah mencanangkan program wajib belajar sembilan tahun bagi seluruh warga negara usia sekolah, ditemukan bahwa program tersebut lebih banyak hanya menjangkau wilayah perkotaan, itupun tidak maksimal.
Dari Profil Pemuda 2005 ditemukan bahwa peserta didik di pedesaan, pemuda laki-laki hanya berhasil mengenyam pendidikan sampai 7,3 tahun. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan kasus yang sama di masyarakat perkotaan, setinggi 9,8 tahun.
Kasus yang sama juga terjadi pada pemuda perempuan di pedesaan hanya mencapai 7,9 tahun, kembali lebih rendah dari perempuan muda di perkotaan yang mencapai pendidikan rata-rata sampai 10,1 tahun. Kondisi rendahnya aplikasi program wajib belajar sembilan tahun ini ditemukan bahwa kira-kira 3-4 di antara 100 pemuda di pedesaan menderita buta huruf, sementara di perkotaan, angka buta hurufnya lebih rendah, hanya satu di antara 100 pemuda.
Bahkan pemuda yang telah bebas dari kondisi buta huruf pun belumlah menjanjikan masa depan yang menjanjikan bagi pemuda. Ini karena sebagian besar pemuda, terutama yang berdomisili di pedesaan, hanya berhasil mengenyam pendidikan di tingkat sekolah dasar. Di daerah pedesaan, pemuda yang berpendidikan SD mencapai 55,24 persen, SMP sebesar 28,15 persen, sementara yang sampai SMA hanya 16,61 persen.
Persentase pendidikan pemuda di perkotaan merupakan kebalikan dari gambaran pendidikan pemuda di pedesaan. Pemuda perkotaan yang berhenti dan hanya sampai jenjang SD cuma 26,32 persen, SMP 28,69 persen, sedang yang menyelesaikan pendidikannya sampai SMA 44,19 persen.
Dengan melihat angka-angka tersebut membuat mata kita terbuka bahwa pemerataan pendidikan belum terlaksana baik. Lalu bagaimana kita meningkatkan kualitas serta mengurangi berbagai macam problem kepemudaan yang dihadapi? Padahal, bila problem pemuda tidak terselesaikan akan berpengaruh pada sektor lain, sebab jumlah pemuda Indonesia mencapai 80,7 juta jiwa atau setara dengan 37,2 persem dari seluruh penduduk Indonesia.
Pengaruh negatif dari terbengkalainya pembangunan sumber daya pemuda akan lebih terasa di perkotaan karena dari keseluruhan penduduk Indonesai yang memenuhi kriteria sebagai pemuda, sekitar 43,3 juta jiwa atau sekitar 54 persen berdomisili di perkotaan, sementara di pedesaan hanya 37,3 juta jiwa atau 46 persen. Inilah yang menyebabkan jumlah pemuda pengangguran terbuka di perkotaan mencapai 12,96 persen lebih besar dari pedesaan yang berjumlah 10,68 persen.
Membangun Pemuda
Dari gambaran di atas, terlihat bahwa tanpa upaya serius membangun karakter dan kapasitas pemuda, Indonesia akan mengalami problem besar dalam mendorong kebangkitan nasionalnya kembali setelah terpuruk dihempas badai krisis multidimensi. Tentu hal yang paling mendasar yang harus dilakukan adalah membuka akses seluas-luasnya bagi aktualisasi dan pengembangan diri bagi pemuda.
Sebagai bahan evaluasi, patut dicatat bahwa sampai tahun 2005, pemuda Indonesia masih kekurangan akses terhadap ruang pendidikan dan pekerjaan. Sampai saat ini sekitar 2,4 persen pemuda buta huruf, 45 persen belum mendapatkan pendidikan dasar sembilan tahun. Kedua hal ini berkaitan pada ketersediaan akses pemuda terhadap ruang-ruang pendidikan. Sementara tingginya pengangguran pemuda yang mencapai 17,3 persen dan masih adanya 20 persen pemuda yang hidup di bawah garis kemiskinan menunjukkan masih kurangnya akses pemuda terhadap ruang pekerjaan dan penghidupan yang layak.
Di samping persoalan akses terhadap ruang pendidikan dan pekerjaan kemampuan untuk menetapkan sebuah kebijakan pendidikan yang relevan juga sangat menentukan kualitas pemuda yang ingin dilahirkan. Setidaknya, pendidikan yang patut diberikan kepada pemuda adalah yang bisa mendorong mereka menjadi lebih memahami nilai-nilai demokrasi. Ini terkait dengan kebutuhan bahwa para pemudalah yang akan melanjutkan kepemimpinan bangsa kedepan.
Selain itu, pemuda sebagai calon penerus cita-cita bangsa, pemuda juga tentu membutuhkan dorongan dan motivasi agar mereka lebih mampu mengembangkan wawasan kepemimpinan dan keteladanan yang berbasis pada kemampuan melihat kedepan (pemuda yang visioner dan berwawasan futuristik).
Setelah menetapkan sebuah kebijakan pendidikan yang relevan bagi kebutuhan untuk membagun dan mengembangkan kualitas sumber daya pemuda yang unggul, maka tak kalah pentingnya adalah menanamkan komitmen pada prinsip pendidikan yang universal sehingga tujuan pendidikan yang dicanangkan dapat tercapai.
Prinsip-prinsip pendidikan yang tidak boleh ditinggalkan adalah bahwa pendidikan tidak hanya sebagai learning to know, melainkan juga learning to learn, learning to do, learning to be, dan learning to live together.
Penekanan pada persoalan pendidikan dalam konteks penyelesaian problem kepemudaan yang di hadapi bangsa ini karena sebagaimana kita pahami bersama bahwa kebangkitan nasional tidak lepas dari inisiatif para generasi muda terdidik. Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa kebangkitan nasional tidak bisa dipisahkan dengan pendidikan.
Berkaitan dengan itu, momen bulan Mei 2006 di mana kita baru saja memperingati Hari Pendidikan Nasional (02 Mei 2006) dan menjelang peringatan Hari Kebangkitan Nasional (21 Mei 2006), tentu ini merupakan waktu yang tepat untuk secara serius membincang persoalan ini secara bersama-sama sehingga bangsa ini bisa kembali berjaya dan merebut supremasi sebagai bangsa yang besar dan patut dibanggakan.
Ini semua kembali kepada itikad baik semua pihak terkait, terutama pemerintah untuk menyelenggarakan sistem pendidikan nasional yang akan melahirkan pemuda yang menjadi motor penggerak kebangkitan nasional. Bukankah hak atas pendidikan merupakan salahsatu hak dasar yang diatur dalam konstitusi dasar negeri ini? (*)
Tulisan ini dimuat Harian Tribun Timur Makassar pada Kamis, 18 Mei 2006