Suatu Senja Di Kereta Sore

Stasiun kota jam enam sore penuh dengan manusia yang berjejaljejal menanti datangnya kereta. Hiruk-pikuk kehidupan dengan denyut nadi ekonomi yang terkesan dipaksakan menambah riuh suasana senja.

Baru pertama aku menginjakkan kaki di stasiun ini sejak kedatanganku ke Jakarta tiga bulan yang lalu. Cukup lama, tapi aku betul-betul takut mendengar cerita kehidupan Jakarta yang keras dan tidak manusiawi ini. Terkadang aku menyesal juga, kenapa aku mau saja menuruti bujukan Iwan, temanku untuk mengadu nasib di Jakarta.

Keberadaanku di stasiun kota yang pertama kali inipun karena mengikuti ajakan Iwan. Sebenarnya ini hanya kebetulan, tadi siang kami menjenguk seorang kawan yang masuk rumah sakit, kena demam berdarah. Berangkatnya kami naik metromini, baliknya kami memilih naik kereta karena uang kami sudah tidak memungkinkan untuk naik metromini. Karena pilihan itulah maka kini aku dan Iwan terdampar ditengah lautan manusia di stasiun kota.

“Wah kereta menuju Bogor belum tiba nih… nampaknya kita harus menunggu Di.” Keluh Iwan padaku.
“Dengan orang sebanyak ini, Apa keretanya muat?” Timpalku.
“Tentu muat Ardi… sehari-harinya juga sudah begini.”
“Wah ini tidak manusiawi banget Wan.” Aku menyeka keringat di muka.
“Ha… ha… ha… kayak nggak ngerti Jakarta aja.” Seru Iwan sambil berusaha menyeretku masuk ke tengah-tengah lautan manusia yang menunggu datangnya kereta.

Cakap harus kami lakukan dengan suara setengah berteriak untuk mengatasi bisingnya suasana.
“Air bang… ayo… yang haus… yang haus…. yang haus…!” Seru ibu penjual air mineral terdengar mulai serak.
“Siap-siap Di, pas kereta tiba, kita harus langsung naik agar kita bisa pulang, yang jelas kita bakalan berdiri tapi itu masih lebih bagus daripada tidak pulang kan?”
Aku cuma bisa tersenyum kecut mendengar kalimat Iwan.
* * *

“Alhamdulillah… akhirnya lolos juga kita… syukur-syukur dapat tempat berdiri.” Iwan tersenyum kearahku.
“Padahal kita sudah berusaha naik secepatnya, ternyata kita cuma kebagian berdiri saja.”
“Iya, soalnya penumpang Bogor dan Depok, biasanya sudah naik dari stasiun sebelumnya.” Jelas Iwan
“Oooooooo….” Hanya itu yang bisa keluar dari mulutku.
Di depan kami duduk sederetan perempuan muda dengan pakaian yang lumayan necis, sepertinya mereka pegawai kantoran yang baru pulang kerja.

“Kok baru pulang mbak, nggak naik kereta yang jam empat tadi?” Tanya perempuan berbaju biru muda pada perempuan satunya lagi.
Yang ditanya kelihatan ngantuk,
“Nggak ada… aku sudah dari jam tiga di sini, yang mau ke Bogor ya tinggal kereta ini.” Jawabnya.
“Pantas sesak begini.” Komentarnya sambil mengeluarkan kipas kertas dari tasnya.
Tiba-tiba yang bertanya tadi teriak menyapa seorang ibu tua yang berdiri pas di belakang Iwan.
“Nggak dapat tempat duduk mbok?
“Ada tuh, tapi gerah aja… makanya aku berdiri dulu untuk cari angin, sepertinya kereta ini akan telat berangkatnya, kereta terakhir sih.”
Ternyata penumpang dalam gerbong yang aku naiki bersama Iwan, hampir semuanya saling kenal. Baik yang berdiri maupun yang kebagian tempat duduk.

Tiba-tiba seorang bapak yang kira-kira berumur separuh baya naik dengan membawa satu kantong plastik hitam.
“Bawa apa tuh kang?” Tanya perempuan yang dekat pintu gerbong.
“Ini nih, gorengan.” Sambil menyodorkan kantongannya.
Dalam sekejap kantong plastik itu beredar diantara mereka sampai isinya habis. Sang bapak juga tidak ambil peduli, sepertinya mereka sudah biasa saling berbagi.
“Hampir saja saya terlambat. Ini kereta terakhir kan?” Seru sang abpak sambil memperbaiki pegangannya.
“Iya kang.” Jawab perempuan yang tadi mengambil gorengannya.
Celoteh diantara mereka terus saja berlangsung, kereta yang kami tumpangi belum juga bergerak padahal sudah hampir satu jam kami berdesak-desakan diatasnya.

“Wan, emang kereta selalu sepenuh ini? Telat lagi.” Keluhku sudah tidak sabaran.
“Ardi.. Ardi… bukan Jakarta namanya kalau tidak telat.”
Kereta yang terlambat itu makin sesak saja, penumpang seperti tak ada habis-habisnya. Cerita ngalor-ngidul para penumpang makin menambah gerah suasana, aku sudah merasa capek berdiri.
Dengan rasa mendongkol aku coba untuk jongkok disela-sela kaki para penumpang yang berdiri, hal yang sama dilakukan oleh penumpang lain.
Penjaja makanan dan minuman ringan tak juga lelah menawarkan dagangannya.
* * *

Akhirnya kereta bergerak juga setelah tertunda selama hampir dua jam. Dari desas-desus yang aku dengar, kereta sengaja dibuat terlambat dan langsungberangkat tanpa sebuah aba-aba untuk mengecoh para penumpang yang sering ngendon di atap kereta. Padahal baru tiga hari yang lalu beberapa penunmpang meninggal karena terjatuh dari atap kereta yang sedang melaju.
Dua buah stasiun sudah terlampaui, penumpang bukannya berkurang, malah makin sesak. Ruang untuk bernafaspun sudah kian terbatas, parfum dan bau badan yang belum mandi berbaur menjadi aroma yang membuatku mual.

Di gerbong yang aku tumpangi, duduk seorang perempuan dengan badan sedikit bongsor, sepanjang perjalan dia tak pernah diam. suaranya yang cempreng terdengar mengatasi suara bising kereta. Dia bercerita tentang kehidupan keluarganya yang diangapnya paling bahagia.
“Suami saya seorang polisi, tapi polisi yang jujur bu, jangan disamakan dengan polisi yang lain ya?” Katanya memulai cerita.
“Bedanya dimana?” Timpal ibu-ibu yang lain.
“Suami saya itu lelaki yang bertangungjawab, tidak mau makan uang haram, soalnya itu kan akan mempengaruhi anak bu.” Jelasnya sambil melirik kearah sederetan perempuan muda yang duduk di sampingnya.
“Anak saya tidak boleh makan makanan haram, apalagi anak gadis, sekarang sudah SMA, saya jaga betul bu.”
Yang lain pada manggut-manggut.
“Ibu tahu sendiri kan, jaman sekarang anak gadis kalau tidak dijaga baik-baik bisa rusak bu. Bikin malu keluarga, makanya saya larang dia pacaran.” Jelasnya kian bersemangat.
“Jadi?” tanya perempuan disampingnya.
“Kalau ada lelaki yang suka sama dia, saya bilang suruh saja datang kerumah ketemu ibu.”
“Ha…. ha…. ha…” Yang lain pada tertawa.
“Kalau berani, aku akan nikahkan saja, buat apa pacaran?”
“Memangnya kenapa bu?”
“Sekarang, jarang yang pacaran tidak rusak.”
Ibu berbadan bongsor itu terussaja berceloteh, sambil sesekali menyeka keringat yang membanjir. Kereta terus saja melaju, stasiun ketiga terlewati. Masih saja penumpang memaksa untuk naik, beberapa orang bergelantungan dipintu tiap gerbong, malah sebagian mereka itu menyempatkan diri untuk ngobrol dan malah merokok. Aku melirik kearah Iwan yang berdiri tepat disampingku. Dia hanya membalas dengan senyum yang kecut dan berbisik,
“Sabar Di, doa’kan aku jadi Menteri Transportasi…” mungkin bermaksud menghiburku.
* * *

Aku merasa bahwa perasaan manusiawi sudah tidak ada artinya di Jakarta ini, apalagi diatas kereta. Manusia diperlakukan tidak ada ubahnya dengan barang atau binatang yang diangkut dengan ditumpuk begitu saja. sepertinya manusia-manusia disini juga sudah kehilangan rasa kemanusiaannya, bagaimana mungkin mereka masih bisa tersenyum lega dengan kondisi yang seperti ini? Bagaimana mungkin kondisi seperti ini dianggap lumrah? Apa kita semua sudah kehilangan rasa? Aku sungguh tak mengerti.

Pas kereta berhenti di stasiun keempat, sederetan perempuan muda berpakaian lumayan necis yang duduk di depan kami serentak berdiri dan mempersilahkan penumpang lain untuk duduk. Aku jadi terperangah, aku mencoba melirik Iwan dengan muka penuh tanda tanya tapi sepertinya Iwan cuek saja dengan kejadian itu.
Perempuan berbaju biru muda yang sekarang berdiri pas disampingku sepertinya melihat keheranan diwajahku, dengan pelan dia berucap,
“Jadi manusia nggak boleh egois bang, kita harus bisa berbagi…”

Aku seperti tertampar mendengar kalimatnya, kereta terus melaju, celoteh para penumpang masih tetap terdengar dengan riuh, begitupun dengan suara penjaja makanan dan minuman ringan tetap bergirah menawarkan jualannya meski dengan suara yang serak.
Aku mencoba menikmati keriuhan itu, dalam hati aku berguman,
“Manusia Tak Penah mati”

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama