Ketika mulai membaca tulisan ini, mungkin bagi sebagian orang tema ini adalah sebuah tema yang basi atau terlalu mengada-ada. Apa benar, ada yang bisa disebut Islam Bugis? Kalaupun ada, apa benar ada persoalan dengan hal tersebut? Kenapa hal yang sudah selesai coba diungkit-ungkit lagi? Cari-cari masalah saja! Demikian berbagai komentar yang mungkin muncul. Karena sebagaimana mafhum, bersama dengan Aceh, Banjar, dan lain-lain, orang Bugis dicap sebagai orang Nusantara yang paling kuat identitas ke-Islam-annya.
Secara historis, ditenggarai bahwa sejak awal abad ke-17 Islam telah dianut masyarakat Bugis dengan kuat. Ini juga terlihat dalam realitas bahwa masyarakat Bugis hari ini seperti tidak ada persoalan dengan Islam. Saking kuatnya sampai Christian Pelras menyebut bahwa orang Bugis menjadikan Islam sebagai bagian integral dan esensial dari adat istiadat dan budaya mereka; Islam adalah Bugis, Bugis adalah Islam.
Bahkan seringkali digembar-gemborkan bagaimana proses akulturasi Islam dengan Bugis terjadi dalam proses yang demikian sederhana dan tidak berbelit-belit. Masyarakat Bugis digambarkan menerima Islam dengan tangan terbuka, bahkan Syariat di integrasikan ke dalam budaya bugis dengan serta-merta, bahkan dianggap sebagai sesuatu yang sudah inheren di dalam ke-Bugis-an itu sendiri. Tapi apakah benar demikian? Tulisan ini akan mencoba menguak apa yang sebenarnya terjadi.
Kelupaan Ontologis
Untuk melihat dengan jelas problem paradigmatik yang muncul akibat dari terjadinya proses integrasi antara ke-Bugis-an dengan ke-Islam-an, maka asumsi pertama yang harus dimiliki adalah kemampuan untuk memilah antara mana yang disebut Bugis dengan segala kompleksitas konsep peradabannya dan mana yang disebut Islam dengan konsep peradabannya yang khas pula.
Bugis adalah sebuah suku bangsa yang mendiami jazirah Sulawesi Selatan yang memiliki bahasa sendiri yang dikenal dengan sebutan `bahasa ugi`, bahasa ugi ini memiliki tulisan huruf Bugis, yang diucapkan dengan bahasa Bugis sendiri. Bahkan lebih jauh dari itu, mereka adalah suku-bangsa yang memiliki peradaban yang dibasiskan pada sebuah konsep kosmologis dan cara pandang dunia yang sepenuhnya berbeda dari peradaban dan kebudayaan lain.
Sementara itu, Islam disamping sebagai nama agama yang dibawa oleh Muhammad SAW, lebih jauh dari itu, Islam adalah nama dari sebuah konsep kosmologi dan cara pandang dunia tersendiri dengan kompleksitas bangunan keudayaan dan peradaban yang dituju dari nilai-nilai yang dikandungnya.
Dalam konteks ini, memposisikan Bugis dan Islam dalam sebuah cara pandang yang seimbang bukanlah hal yang aneh. Bugis dan Islam merupakan dua buah konsep peradaban yang memiliki wilayah geografi dan penganut setia. Yang membedakan keduanya adalah bahwa Bugis sebagai konsep peradaban identik dengan suku bangsa tertentu; yakni Bugis sebagaimana Yahudi dan Cina. Sementara Islam dianut dan dipraktekkan oleh manusia dari berbagai suku bangsa di hampir separuh belahan dunia.
Ketika terjadi proses masuknya islam ke tanah Bugis, memang masyarakat Bugis bisa menerima Islam dengan baik, namun tidak bisa dipungkiri --sebagaimana diungkap Pelras-- bahwa pelbagai peninggalan pra-Islam masih tetap dipertahankan oleh orang Bugis sampai akhir abad ke-20. Bissu adalah salah satu di antara peninggalan pra-Islam yang masih tersisa. Ini menunjukkan bahwa tetap ada resistensi pada wilayah yang sublim dari Bugis terhadap Islam, apalagi bissu merupakan pendeta-pendeta wadam Bugis pra-Islam dianggap dapat berkomunikasi dengan dewa-dewa leluhur.
Apakah benar bahwa Islam tidak tercederai ke-Bugis-an orang Bugis? Bagi Pelras tidak, dipertahankannya bissu menunjukkan bahwa orang Bugis ternyata tetap mampu mempertahankan identitas ’kebugisan’ mereka. Benarkah demikian? Ternyata kehadiran Islam –sadar atau tidak sadar-- telah mengakibatkan luka yang teramat dalam bagi ke-Bugis-an orang Bugis. Luka itu tidak hanya menggores materi kultural Bugis, namun menikam sampai pada persoalan ontologis ke-Bugis-an.
Meminjam istilah Heideggger, Bugis mengalami kelupaan ontologis, Bugis menderita lupa akan adanya. Konsepsi ontologis (ada) Bugis dengan membagi alam menjadi tiga lapis; botting langi (alam atas), alang tengnga (alam tengah), dan paratiwi (alam bawah) telah tergerus dalam arus falsafah binarian yang hanya membagi alam menjadi dua (mis: atas-bawah, langit-bumi, siang-malam) yang juga menjadi karakter ontologis Islam.
Efek dari kelupaan ontologis ini adalah Bugis yang tersisa hanyalah kulit, dan isinya telah diurai dan di hamburkan keluar oleh bangunan ontologis asing yang berakar pada Islam. Keseimbangan kultural yang terbangun di atas pondasi alam yang berlapis tiga menjadi goyah, bahkan pada artefak material kebudayaan yang masih tersisa seperti bissu sekalipun. Status ke-wadam-an seorang bissu tidak mendapat justifikasi ontologis dalam Islam, padahal dalam ontologis Bugis, posisi ambigu mendapatkan pembenar yang sama kuatnya dengan dua status kelamin yang lain (pria-wanita).
Hal ini juga terlihat pada bangunan rumah tradisional Bugis yang berbentuk rumah panggung. Ontologi alam berlapis tiga disimbolkan dengan tiga bagian utama rumah; rakkeang (loteng-tempat menyimpan padi dan bahan makanan lainnya), ale bola (badan rumah-tempat manusia hidup) dan awa bola (pelataran di awah rumah panggung-biasanyasebagai kandang hewan peliharaan kalau malam hari). Ketika ontologi dasarnya mengalami pembongkaran, terjadi pula pergeseran pada model rumah yang di bangun oleh masyarakat Bugis belakangan. Padahal kehadiran rumah adat Bugis tradisional hadir sebagai artikulasi konsep ontologisnya sekaligus untuk menjawab kebutuhan geo-sosial yang agraris dimana masyarakat Bugis berdomisili.
Karakter Patriarkhi
Hal lain yang juga menjadi problem paradigmatik yang dialami oleh manusia Bugis ketika melakukan integrasi kedalam Islam, sebagai efek dari perbedaan ontologis yang begitu besar adalah karakter masyarakat yang kemudian menjadi cenderung patriarkhi. Memang adalah sebuah fakta sosial bahwa masyarakat Bugis merupakan masyarakat patriarkhal yang menempatkan laki-laki sebagai basis keturunan, namun ini tidak identik dengan patriarkhi-fhallosentrisme yang menempatkan laki-laki sebagai sentrum.
Dengan melihat karakter ontologis yang dianut masyarakat Bugis, mereka malah menganggap bahwa justru posisi wadam (yang dihuni para bissu)-lah yang merupakan posisi sentrum, bukan laki-laki ataupaun wanita. Para bissulah (karena identitas kelaminnya kabur) yang berhak berhubungan dengan dewa-dewa suci yang menjadi sumber kebenaran manusia Bugis. Para bissu pulalah yang memegang hak prerogatif terhadap semua ritual suci yang sakral dalam tradisi Bugis pra-Islam. Kedatangan Islam merubah situasi ini dan menggeser masyarakat Bugis menjadi begitu patriarkhi-fhallosentrisme.
Bahkan dalam pandangannya terhadap dunia penciptaan, ontologis Bugis memberikan panduan yang benar-benar berbeda dari Islam. Konsep penciptaan dalam Islam dengan tegas menempatkan kata dan logos sebagai kunci keberadaan, “jadilah, maka jadilah ia”. Sementara secara filosofis dipahami bahwa bahwa kata-logos-akal merupakan hak prerogatif bagi laki-laki. Selain dalam Islam, konsep ini juga terlihat dengan nyata dalam ke-Kristen-an, Yahudi dan filsafat Yunani.
Sementara itu, dalam ontologi Bugis dengan tegas menolak keberpihakan kepada konsep asal-muasal penciptaan yang laki-laki. Manusia pertama dalam konsep antropologi Bugis adalah Sawerigading, yang digambarkan anak kandung alam raya. Sawerigading secara harfiah berarti berkembang biak dalam sebatang bambu. Bahkan kalau diperhatikan dengan cermat, konsep ini lebih dekat dengan matriarkhal, bukankah alam semesta merupakan ibu? Ini juga terlihat nyata pada konsep bissu yang sering difahami sebagai perempuan suci, karena tidak mengalami haid.
Perhatikan juga hukum pewarisan dalam masyarakat Bugis, anak perempuan berhak atas semua harta benda yang diwariskan oleh orang tuanya, karena nak perempuan diasumsikan tidak bekerja mencari rezeki. Sedangkan, anak laki-laki hanya berhak atas senjata tappi’ (pendamping jiwa), kawali dan badik serta alat-alat pertanian sebagai modal untuk mencari nafkah. Sementara itu, dalam hukum waris Islam, anak perempuan hanya memperoleh sepertiga bagian dan anak lelaki malah memperoleh duapertiga.
Rekonstruksi Bugis
Tidak dapat disangkal bahwa pada hari ini ke-Bugis-an telah tergerus oleh arus deras ke-Islam-an. Ini mengakibatkan lahirnya sebuah cara pandang baru terhadap Bugis sebagai entitas budaya bahwa Bugis adalah Islam itu sendiri. Bagi sebagian orang, ini bukanlah masalah, karena toh Bugis masih tetap ada. Bahkan Pelras mengatakan bahwa tidak pelak lagi kemampuan manusia bugis untuk berubah dan menyesuaikan diri merupakan modal terbesar yang memungkinkan mereka dapat bertahan di mana-mana selama berabad-abad
Namun kalau dilacak secara lebih dalam sampai pada bangunan ontologis kebudayaannya, maka sesungguhnya proses integrasi Islam-Bugis telah menorehkan luka yang begitu dalam. Memilih menjadi Islam bagi seorang Bugis berarti memilih untuk kehilangan ke-Bugis-an secara ontologis. Ini juga berarti bahwa apabila masih ada artefak material kebudayaan Bugis yang tersisa dan dipraktikkan, itu tidak lebih dari sebuah penampakan material yang sama dengan muatan yang telah mengalami Islamisasi.
Bahkan lebih miris lagi bila artefak material kebudayaan tersebut dilestarikan hanya untuk dijadikan sebagai komoditas pariwisata dan bukan dalam rangka mempertahankan khasanah kebudayaan Bugis lengkap dengan konsepsi ontologis dan pandangan dunianya yang kompleks. Sangat memprihatinkan ketika posisi bissu yang berusaha bertahan mengalami nasib seperti ini.
Beberapa pertanyaan lanjutan yang menyertai masalah ini adalah apakah kelupaan ontologis ini akan terus dibiarkan berlanjut tanpa adanya sebuah upaya melek ontologis pada manusia Bugis? Ataukah memang telah terjadi pergeseran besar pada bangunan ontologis Bugis yang dilakukan secara sadar oleh manusia Bugis? Nampaknya dibutuhkan sebuah upaya sistematis dari para budayaban Bugis untuk menjawab problem ini.
Secara historis, ditenggarai bahwa sejak awal abad ke-17 Islam telah dianut masyarakat Bugis dengan kuat. Ini juga terlihat dalam realitas bahwa masyarakat Bugis hari ini seperti tidak ada persoalan dengan Islam. Saking kuatnya sampai Christian Pelras menyebut bahwa orang Bugis menjadikan Islam sebagai bagian integral dan esensial dari adat istiadat dan budaya mereka; Islam adalah Bugis, Bugis adalah Islam.
Bahkan seringkali digembar-gemborkan bagaimana proses akulturasi Islam dengan Bugis terjadi dalam proses yang demikian sederhana dan tidak berbelit-belit. Masyarakat Bugis digambarkan menerima Islam dengan tangan terbuka, bahkan Syariat di integrasikan ke dalam budaya bugis dengan serta-merta, bahkan dianggap sebagai sesuatu yang sudah inheren di dalam ke-Bugis-an itu sendiri. Tapi apakah benar demikian? Tulisan ini akan mencoba menguak apa yang sebenarnya terjadi.
Kelupaan Ontologis
Untuk melihat dengan jelas problem paradigmatik yang muncul akibat dari terjadinya proses integrasi antara ke-Bugis-an dengan ke-Islam-an, maka asumsi pertama yang harus dimiliki adalah kemampuan untuk memilah antara mana yang disebut Bugis dengan segala kompleksitas konsep peradabannya dan mana yang disebut Islam dengan konsep peradabannya yang khas pula.
Bugis adalah sebuah suku bangsa yang mendiami jazirah Sulawesi Selatan yang memiliki bahasa sendiri yang dikenal dengan sebutan `bahasa ugi`, bahasa ugi ini memiliki tulisan huruf Bugis, yang diucapkan dengan bahasa Bugis sendiri. Bahkan lebih jauh dari itu, mereka adalah suku-bangsa yang memiliki peradaban yang dibasiskan pada sebuah konsep kosmologis dan cara pandang dunia yang sepenuhnya berbeda dari peradaban dan kebudayaan lain.
Sementara itu, Islam disamping sebagai nama agama yang dibawa oleh Muhammad SAW, lebih jauh dari itu, Islam adalah nama dari sebuah konsep kosmologi dan cara pandang dunia tersendiri dengan kompleksitas bangunan keudayaan dan peradaban yang dituju dari nilai-nilai yang dikandungnya.
Dalam konteks ini, memposisikan Bugis dan Islam dalam sebuah cara pandang yang seimbang bukanlah hal yang aneh. Bugis dan Islam merupakan dua buah konsep peradaban yang memiliki wilayah geografi dan penganut setia. Yang membedakan keduanya adalah bahwa Bugis sebagai konsep peradaban identik dengan suku bangsa tertentu; yakni Bugis sebagaimana Yahudi dan Cina. Sementara Islam dianut dan dipraktekkan oleh manusia dari berbagai suku bangsa di hampir separuh belahan dunia.
Ketika terjadi proses masuknya islam ke tanah Bugis, memang masyarakat Bugis bisa menerima Islam dengan baik, namun tidak bisa dipungkiri --sebagaimana diungkap Pelras-- bahwa pelbagai peninggalan pra-Islam masih tetap dipertahankan oleh orang Bugis sampai akhir abad ke-20. Bissu adalah salah satu di antara peninggalan pra-Islam yang masih tersisa. Ini menunjukkan bahwa tetap ada resistensi pada wilayah yang sublim dari Bugis terhadap Islam, apalagi bissu merupakan pendeta-pendeta wadam Bugis pra-Islam dianggap dapat berkomunikasi dengan dewa-dewa leluhur.
Apakah benar bahwa Islam tidak tercederai ke-Bugis-an orang Bugis? Bagi Pelras tidak, dipertahankannya bissu menunjukkan bahwa orang Bugis ternyata tetap mampu mempertahankan identitas ’kebugisan’ mereka. Benarkah demikian? Ternyata kehadiran Islam –sadar atau tidak sadar-- telah mengakibatkan luka yang teramat dalam bagi ke-Bugis-an orang Bugis. Luka itu tidak hanya menggores materi kultural Bugis, namun menikam sampai pada persoalan ontologis ke-Bugis-an.
Meminjam istilah Heideggger, Bugis mengalami kelupaan ontologis, Bugis menderita lupa akan adanya. Konsepsi ontologis (ada) Bugis dengan membagi alam menjadi tiga lapis; botting langi (alam atas), alang tengnga (alam tengah), dan paratiwi (alam bawah) telah tergerus dalam arus falsafah binarian yang hanya membagi alam menjadi dua (mis: atas-bawah, langit-bumi, siang-malam) yang juga menjadi karakter ontologis Islam.
Efek dari kelupaan ontologis ini adalah Bugis yang tersisa hanyalah kulit, dan isinya telah diurai dan di hamburkan keluar oleh bangunan ontologis asing yang berakar pada Islam. Keseimbangan kultural yang terbangun di atas pondasi alam yang berlapis tiga menjadi goyah, bahkan pada artefak material kebudayaan yang masih tersisa seperti bissu sekalipun. Status ke-wadam-an seorang bissu tidak mendapat justifikasi ontologis dalam Islam, padahal dalam ontologis Bugis, posisi ambigu mendapatkan pembenar yang sama kuatnya dengan dua status kelamin yang lain (pria-wanita).
Hal ini juga terlihat pada bangunan rumah tradisional Bugis yang berbentuk rumah panggung. Ontologi alam berlapis tiga disimbolkan dengan tiga bagian utama rumah; rakkeang (loteng-tempat menyimpan padi dan bahan makanan lainnya), ale bola (badan rumah-tempat manusia hidup) dan awa bola (pelataran di awah rumah panggung-biasanyasebagai kandang hewan peliharaan kalau malam hari). Ketika ontologi dasarnya mengalami pembongkaran, terjadi pula pergeseran pada model rumah yang di bangun oleh masyarakat Bugis belakangan. Padahal kehadiran rumah adat Bugis tradisional hadir sebagai artikulasi konsep ontologisnya sekaligus untuk menjawab kebutuhan geo-sosial yang agraris dimana masyarakat Bugis berdomisili.
Karakter Patriarkhi
Hal lain yang juga menjadi problem paradigmatik yang dialami oleh manusia Bugis ketika melakukan integrasi kedalam Islam, sebagai efek dari perbedaan ontologis yang begitu besar adalah karakter masyarakat yang kemudian menjadi cenderung patriarkhi. Memang adalah sebuah fakta sosial bahwa masyarakat Bugis merupakan masyarakat patriarkhal yang menempatkan laki-laki sebagai basis keturunan, namun ini tidak identik dengan patriarkhi-fhallosentrisme yang menempatkan laki-laki sebagai sentrum.
Dengan melihat karakter ontologis yang dianut masyarakat Bugis, mereka malah menganggap bahwa justru posisi wadam (yang dihuni para bissu)-lah yang merupakan posisi sentrum, bukan laki-laki ataupaun wanita. Para bissulah (karena identitas kelaminnya kabur) yang berhak berhubungan dengan dewa-dewa suci yang menjadi sumber kebenaran manusia Bugis. Para bissu pulalah yang memegang hak prerogatif terhadap semua ritual suci yang sakral dalam tradisi Bugis pra-Islam. Kedatangan Islam merubah situasi ini dan menggeser masyarakat Bugis menjadi begitu patriarkhi-fhallosentrisme.
Bahkan dalam pandangannya terhadap dunia penciptaan, ontologis Bugis memberikan panduan yang benar-benar berbeda dari Islam. Konsep penciptaan dalam Islam dengan tegas menempatkan kata dan logos sebagai kunci keberadaan, “jadilah, maka jadilah ia”. Sementara secara filosofis dipahami bahwa bahwa kata-logos-akal merupakan hak prerogatif bagi laki-laki. Selain dalam Islam, konsep ini juga terlihat dengan nyata dalam ke-Kristen-an, Yahudi dan filsafat Yunani.
Sementara itu, dalam ontologi Bugis dengan tegas menolak keberpihakan kepada konsep asal-muasal penciptaan yang laki-laki. Manusia pertama dalam konsep antropologi Bugis adalah Sawerigading, yang digambarkan anak kandung alam raya. Sawerigading secara harfiah berarti berkembang biak dalam sebatang bambu. Bahkan kalau diperhatikan dengan cermat, konsep ini lebih dekat dengan matriarkhal, bukankah alam semesta merupakan ibu? Ini juga terlihat nyata pada konsep bissu yang sering difahami sebagai perempuan suci, karena tidak mengalami haid.
Perhatikan juga hukum pewarisan dalam masyarakat Bugis, anak perempuan berhak atas semua harta benda yang diwariskan oleh orang tuanya, karena nak perempuan diasumsikan tidak bekerja mencari rezeki. Sedangkan, anak laki-laki hanya berhak atas senjata tappi’ (pendamping jiwa), kawali dan badik serta alat-alat pertanian sebagai modal untuk mencari nafkah. Sementara itu, dalam hukum waris Islam, anak perempuan hanya memperoleh sepertiga bagian dan anak lelaki malah memperoleh duapertiga.
Rekonstruksi Bugis
Tidak dapat disangkal bahwa pada hari ini ke-Bugis-an telah tergerus oleh arus deras ke-Islam-an. Ini mengakibatkan lahirnya sebuah cara pandang baru terhadap Bugis sebagai entitas budaya bahwa Bugis adalah Islam itu sendiri. Bagi sebagian orang, ini bukanlah masalah, karena toh Bugis masih tetap ada. Bahkan Pelras mengatakan bahwa tidak pelak lagi kemampuan manusia bugis untuk berubah dan menyesuaikan diri merupakan modal terbesar yang memungkinkan mereka dapat bertahan di mana-mana selama berabad-abad
Namun kalau dilacak secara lebih dalam sampai pada bangunan ontologis kebudayaannya, maka sesungguhnya proses integrasi Islam-Bugis telah menorehkan luka yang begitu dalam. Memilih menjadi Islam bagi seorang Bugis berarti memilih untuk kehilangan ke-Bugis-an secara ontologis. Ini juga berarti bahwa apabila masih ada artefak material kebudayaan Bugis yang tersisa dan dipraktikkan, itu tidak lebih dari sebuah penampakan material yang sama dengan muatan yang telah mengalami Islamisasi.
Bahkan lebih miris lagi bila artefak material kebudayaan tersebut dilestarikan hanya untuk dijadikan sebagai komoditas pariwisata dan bukan dalam rangka mempertahankan khasanah kebudayaan Bugis lengkap dengan konsepsi ontologis dan pandangan dunianya yang kompleks. Sangat memprihatinkan ketika posisi bissu yang berusaha bertahan mengalami nasib seperti ini.
Beberapa pertanyaan lanjutan yang menyertai masalah ini adalah apakah kelupaan ontologis ini akan terus dibiarkan berlanjut tanpa adanya sebuah upaya melek ontologis pada manusia Bugis? Ataukah memang telah terjadi pergeseran besar pada bangunan ontologis Bugis yang dilakukan secara sadar oleh manusia Bugis? Nampaknya dibutuhkan sebuah upaya sistematis dari para budayaban Bugis untuk menjawab problem ini.