Pekerja Got dan Pak RT

[10.11.2018] Malam menjangkau pukul sembilan malam, aku sudah tergolek di kamar mencoba melelapkan mata –pun pikiran. Anak-anak menikmati video edukasi melalui komputer jinjing di ruang tamu, ditemani ibunya yang malas-malasan di kursi tamu, saat sebuah ketukan nyaring berdenting dari besi pagar.
Dengan tergesa aku beranjak dari tilam, keluar bilik, lalu mengintip dari balik jendela. Seseorang memang sedang berusaha memberi tanda, mungkin ada niat untuk bertemu –atau bertamu? Entahlah. Maka segera kubangunkan istri untuk masuk ke kamar, dan suara film di komputer jinjing kukecilkan.
Meski cuma memakai celana sebatas lutut, aku keluar membuka pintu pagar, untuknya. Rupanya Pak Ketua Rukun Tetangga (RT) yang datang. Tak payah juga aku memikirkan apa tujuan Pak RT berkunjung selarut ini. Apa dia mau menagih pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan yang memang belum sempat kulunasi? Ada atau kabar lain yang hendak dia waritakan?
Tanpa berpanjang khayal, begitu pintu pagar menganga, maka kusilakan dia masuk, dan tak biasanya –biasanya cuma nangkring di teras, kali ini dia masuk sebagaimana layaknya tamu. Nampaknya dia serius hendak bertemu. Ada apa gerangan yang hendak dia bincangkan? Kembali aku membangun wasangka ringan.
Sememangnya aku juga agak kurang rileks bila bertemu Pak RT, beberapa kali aku merasa diabaikan. Bukan menuntut mau diperlakukan istimewa, aku cuma berharap dipandang seperti warga lain secara setara. Sebelum-sebelumnya, bila dia datang, dia malah mencari bapak mertuaku, seakan aku tak dibutuhkan, mungkin dipikirnya aku masih anak-anak, padahal sudah punya anak empat.
Kembali ke ruang tamu, setelah duduk, maka mulailah dia menjelaskan bahwa sementara ada pekerjaan ‘penggalian ulang’ drainase yang lebih populer disebut got, di sepanjang jalan di depan rumah. Aku juga sudah menyaksikan itu saban hari, minimal tiga kali dalam sehari, saat aku berkunjung ke masjid –waktu subuh,magrib, dan isya. Aku melihat tumpukan karung berisi lumpur di pinggir jalan.
Tapi, menurut Pak RT, pengalian itu sementara terhenti, pekerja tak lagi bisa melanjutkan pekerjaannya tersebab sepanjang got di depan tiga rumah –termasuk rumahku, gotnya tertutup plat beton, dan itu bersifat permanen. “Mereka tak punya jalan untuk turun, begitu kata pengawasnya.” Jelas Pak RT.
“Jadi, apa yang bisa saya bantu, Pak? Tanyaku kemudian.
“Rencananya mereka akan melakukan alternatif penyedotan,” Pak RT berhenti sejenak, aku juga diam meski tak mengerti arah pembicaraan selanjutnya.
“Akan ada petugas yang turun langsung ke bawah plat beton itu.” Lanjutnya.
“Aku tak ada masalah, itu kan memang pekerjaan mereka, soal bukaan, mereka keliru, di depan rumah ini ada setidaknya tiga bukaan, silakan dibuka, diperlebar kalau dirasa sempit, kalau belum cukup, buat bukaan baru, tapi tolong dirapikan kembali.” Jawabku panjang.
Karena tak ada respon, maka aku bertanya.
“Terus…?”
“Ya, mereka meminta pengertian dari warga.”
“Pengetian bagaimana? Seperti proses pembersihan sebelumnya, aku tak melarang mereka membuat bukaan baru. Asal tahu saja, pada pembersihan sebelumnya aku izinkan jembatan penghubung terasku dengan jalanan dibongkar, dan mereka cor kembali setelah pembersihan usai.” Kembali aku menegaskan sikap. Kulihat Pak RT agak berpikir.
“Mungkin maksudnya, mereka minta pengertian seperti uang rokok, barangkali.”
“Oh, tidak! Aku tahu pekerjaan itu ada anggarannya, tak mungkin mereka ditugaskan tanpa biaya!” Jawabku tegas. Dia terdiam.
“Kalau mereka tak mau bekerja bila tak diberi uang, silakan, tak usah dikeruk got di depan rumah saya. Memang itu pekerjaannya dan mereka ditugaskan untuk itu, kok.” Kulihat dia kaget dengan responku.
“Hehehe…. Yang pasti akan diteruskan, sebab kompleks di belakang akan tergenang bila tak digali. Saya sih cuma menyampaikan aspirasi saja, hehehe….” Pak RT mencoba mencairkan situasi.
“Kalau persoalan bukaan, sekali lagi saya jelaskan itu mengada-ada, di depan rumah saya ada tiga bukaan kok, dan penutupnya dengan jelas kelihatan, sebab platnya bisa digeser dengan mudah!”
“Oh, adakah?” Ujarnya dengan muka yang seperti kaget.
Aku juga heran, Pak RT ini hampir tiap hari juga lewat di depan rumah, apa iya dia tak melihat bukaan itu? Ah, jangan-jangan… Sepertinya ada yang aneh nih dari Pak RT. Tapi aku tak hendak mensyaki padanya. Maka kembali aku perjelas soal bukaan.
“Bapak lihat di samping, di situ aku sudah buat empat bukaan, waktu pembersihan got yang lalu, petugasnya bilang kurang lebar bukaannya, aku silakan mereka perlebar, setelahnya mereka tak perbaiki, aku juga tak protes kok.”
“Enak saja bukaan yang jadi alasan tak mau lanjut kerja, lalu ujung-ujungnya siap melanjutkan dengan meminta pengertian warga untuk meminta uang pembeli rokok. Aku tak akan bayar. Kalau pengawasnya tetap ngotot soal tak ada bukaan, suruh dia menemuiku!” kembali suaraku meninggi.
“Oh, iya. Kalau memang ada bukaan, berarti tinggal dilanjutkan pekerjaannya.” Katanya, seperti hendak pamit.
“Sebetulnya, kenapa got itu ditutup, karena masalah sampah, Pak. Warga tak sadar, tetap buang sampah ke got. Makanya aku tutup. Bahkan, kadang ketika mau ke masjid di subuh hari, ada kantong berisi sampah yang tergantung di pagarku.” Ucapku kesal, sambil mengiringinya yang mulai berdiri.
“Nah, itu juga.” Malah Pak RT ikut-ikutan curhat soal warga yang tak bisa ditertibkan soal buang sampah.
Saat kukisahkan bahwa kadang aku mencoba membersihkan sampah yang mengapung di got itu –yang isinya kadang di luar akal sehat: botol bekas minuman kemasan, mobil-mobilan bekas, bahkan pokok bayi, keluhan Pak RT yang tak kalah menyedihkan. Dia mengeluhkan kebiasaan warga membuang sampah di pengkolan jalan yang sesungguhnya bukan tempat sampah.
“Saya sudah tulisi besar-besar, masih juga buang sampah di situ. Padahal ada mobil pengangkut sampah setiap sore, kenapa tak menunggu truk itu lewat?” Kesahnya sambil beranjak.
Begitu Pak RT keluar dari rumah, kususul dia ke pinggir jalan, lalu aku mendekati bukaan yang kumaksud lalu kutujukkan, meski sesungguhnya bukaan itu jelas terlihat, meski tidak didekati.
“Coba bapak lihat, di mana yang tak ada bukaannya? Itu apa? Yang itu juga apa? Kalau memang dirasa kurang, silakan membuat bukaan di sini, asal jangan di sini, kendaraanku tak bisa keluar nanti.” Terangku.
“Satu lagi, Pak. Dua rumah yang di samping kiriku ini, memang tak ada bukaannya.”
“Betul,” tanggap Pak RT yang langsung kusambar.
“Tapi Bapak keliru kalau bicara ke aku, bicara ke mereka dong, bukaan di depan rumahku ada kok.
Pak RT kulihat cuma bisa tersenyum kecut lalu menstater motornya dan berlalu.
Ketika Pak RT sudah menjauh, muncul rasa tak enak di hati, telah berbicara agak ketus kepada ujung tombak pelayanan masyarakat di tingkat mikro itu. Tapi mau bagaimana lagi? Aku terlanjur punya stigma negatif dengannya, yang teranyar adalah soal pengibaran bendera merah putih menjelang peringatan kemerdekaan negeri ini. Pak RT itu berkali-kali menegurku karena terlambat memasang bendera, dengan cara yang menurutku kurang etis.
Pernah, sepulang kantor, anakku yang masih di RA menyampaikan pesan.
“Abi, tadi Pak Satpam bilang agar kita pasang bendera.”Ujar Fatimah, padahal yang dia maksud adalah Pak RT.
Besoknya, tante yang tinggal di kamar samping pun mengabarkan hal yang sama.
“Pasangki’ bede’ benderata’ nabilang Pak RT.”
Semau pesan itu kuteruskan ke istri yang lalu sibuk mencari bendera yang disimpannya entah di laci mana.
Kedua pesan titipan itu aku anggap lumrah, tapi kok terkesan aku seperti diburu-buru, padahal 17 Agustus masih pun jauh. Maka sambil tetap mencari bendera lama, kami memutuskan akan membeli bendera baru agar bisa segera dipasang. Tapi, sebelum kami sempat membelinya, eh, Pak RT kembali datang dan menyampaikan himbauan yang mungkin dipikirnya begitu heroik.
Sabtu pagi –kami berencana membeli bendera di siang harinya, saat aku asyik mencuci kendaraan, tiba-tiba terdengar teriakan dari jarak sekira enam atau tujuh meter, suara nyaring dari seseorang yang tetap nangkring di atas motornya dengan mesin menyala, mengenakan celana pendek yang memperlihatkan lutut, berbaju kaus oblong, tanpa helm. Dia Pak RT yang lepas berbelanja di warung sebelah.
“Pak, kasi’ naik bendera ta’ dih?” Teriaknya, setelah itu, dia memutar motornya dan berlalu. Aku menghentikan putaran spon penuh busa di badan kendaraan yang sementara kucuci. Aku membutuhkan waktu beberapa jenak untuk mencerna pesannya. Apa salahnya dia mendekat agar pesannya lebih jelas, toh dia naik motor, jadi tak payah jalan. Tapi demikianlah…
Maka, ketika aku masuk dan menceritakan siapa yang datang dan betapa aku merasa kurang enak hati karena tanggapanku yang kurang bersahabat atas kedatangannya, istriku malah bilang tak apa-apa.
“Sebetulnya aku bukan tak mau berpartisipasi dengan kegiatan warga, tapi caranya itu yang aku tak suka. Bahwa penggalian berhenti karena rumah ini tak punya bukaan, tapi ujung-ujungnya minta duit, itu kan kurang elok rasanya.”
Lagian, pembersihan got sudah berlangsung beberapa hari, hampir tiap subuh juga kami bertemu saat salat subuh, magrib dan isya. Pernah malah kami duduk bersisian menanti ikamah, sempat bersalaman, namun senyum pun tak ada. Mengapa baru sekarang dia menyampaikan informasinya? Padahal aku juga bukan jenis manusia yang baru bisa ditemui setelah melalui berlapis aturan protokoler.
Rupanya, istriku juga merasa terganggu dengan gaya komunikasi Pak RT –padahal Pak RT ini teman kantor bapaknya dulu, terutama soal insiden bendera merah putih itu. Sambil bergurau, aku berujar lirih padanya.
“Kamu tahu? Sebetulnya, saat dia beranjak pergi, tadi, aku mau bilang begini ke Pak RT, ‘Pak, tak sekalian memintaku menurunkan bendera?’ Hehehehe….” Istriku ikut terkekeh, sebab memang, sejak dikibarkan atas permintaan –mungkin malah bisa disebut paksaan halus– Pak RT, hingga kini bendera itu belum kuturunkan.

Tulisan ini tayang di MakassarBicara

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama