[05.04.2007] Suatu siang disebuah
dangau ditengah sawah, angin bertiup sepoi-sepoi, sayup-sayup terdengar
percakapan seorang petani tua dengan cucunya yang lahir, besar sampai kuliah di
kota besar, kebetulan berlibur ke desa. Kakek yang sudah berumur 60-an tahun
itu, merasa muda kembali dan melayani cucunya bercerita dengan begitu
bergairah.
Percakapn mereka berkisar pada persoalan siapa yang paling pantas disebut sebagai bapak Indonesia. Sang cucu sangat mengagung-agungkan Soekarno, dengan begitu bergairah dia menceritakan bagaimana pemerintahan orde baru dianggapnya sebagai biang keladi terdistorsinya penceritaan tentang jasa-jasa Soekarno di zaman revolusi kemerdekaan. Tetapi sang kakek menjelaskan lain.
Percah Pemikiran;
Cabikan-cabikan yang Terserak
Inilah penjelasan pertama tentang Indonesia yang begitu jelas dan
gamblang lebih gamblang dari apa yang dilakukan oleh Moh. Hatta dalam ‘Kearah Indonesia
Merdeka’ (1932) dan Soekarno melalui bukunga yang berjudul ‘Mencapai Indonesia
Merdeka’ (1933)[3]. Sangat pantaslah ketika
dikemudian hari Muhammad Yamin mengatakan Tan Malaka itu
“Tak ubahnya daripada
Jefferson Washington merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaan tercapai, atau sebagai Rizal-Bonifacio meramalkan
Republik Philipina sebelum revolusi Philipina pecah . . .”[4].
Etos Ke-Indonesia-an;
Secebis Harapan
Indonesia Baru; Utopia
Jilid II
Percakapn mereka berkisar pada persoalan siapa yang paling pantas disebut sebagai bapak Indonesia. Sang cucu sangat mengagung-agungkan Soekarno, dengan begitu bergairah dia menceritakan bagaimana pemerintahan orde baru dianggapnya sebagai biang keladi terdistorsinya penceritaan tentang jasa-jasa Soekarno di zaman revolusi kemerdekaan. Tetapi sang kakek menjelaskan lain.
* *
* * *
Percah Pemikiran;
Cabikan-cabikan yang Terserak
Setiap upaya
untuk memaparkan sejarah, pada dasarnya hanyalah sebuah upaya untuk menyorot
satu masalah dengan satu cara pandang yang kita miliki. Hal ini berimplikasi
bahwa setiap sejarah hanyalah hasil pembacaan yang belum tentu demikian adanya.
Ini terjadi karena setiap cara pandang dalam menyorot sejarah, masing-masing
memiliki perbedaan kepentingan tentang peristiwa mana yang penting untuk
dikisahkan dan mana yang tidak.
Demikianpun ketika kita berusaha melacak dengan begitu
jauh kebelakang, sebuah zaman dimana Indonesia masih berupa ‘utopia’[1].
Indonesia pertama kali diperkenalkan oleh Tan Malaka pada tahun 1923 melalui bukunya yang berjudul ‘Naar de Republik
Indonesia’ yang berarti “Menuju Republik Indonesia.”[2]
Secara tegas dan jelas, Tan Malaka melalui buku ini mengambarkan sebuah proyek yang bernama “Republik
Indonesia’. Didalamnya dikupas kondisi obyektif masyarakatnya, tahapan-tahapan
konsepsional tentangnya serta langkah-langkah konkrit yang bisa dilakukan dalam
upaya mewujudkannya.
Inilah penjelasan pertama tentang Indonesia yang begitu jelas dan
gamblang lebih gamblang dari apa yang dilakukan oleh Moh. Hatta dalam ‘Kearah Indonesia
Merdeka’ (1932) dan Soekarno melalui bukunga yang berjudul ‘Mencapai Indonesia
Merdeka’ (1933)[3]. Sangat pantaslah ketika
dikemudian hari Muhammad Yamin mengatakan Tan Malaka itu
“Tak ubahnya daripada
Jefferson Washington merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaan tercapai, atau sebagai Rizal-Bonifacio meramalkan
Republik Philipina sebelum revolusi Philipina pecah . . .”[4].
Dalam upayanya
menegakkan Indonesia yang dicita-citakannya, Tan Malaka mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) di
bangkok pada tahun 1927. dengan partai inilah Tan Malaka makin mengokohkan konsepsionalisasinya mengenai taktik
dan strategi yang jitu dalam menegakkan Indonesia.
Harry A.
Poeze ketika mengulas hal ini
mengatakan bahwa kita harus percaya pada kekuatan sendiri, bertindak tanpa
terikat pihak lain, tetapi yang sesuai dengan proletariat internasional dan
siasat ‘getrennt marschierent, vereint
schlagen’ (berbaris
terpisah-pisah berhasil bersama-sama)[5].
Tan Malaka sangat memimpikan
kemerdekaan Indonesia 100 % dan ini diperoleh melalui sebuah massa aksi dan
bukannya melalui perundingan damai.
Pada tanggal 3-5 Januari 1946 Tan Malaka pidato di hadapan kongres Persatuan Perjuangan di Purwokerto. Pidatonya
itu berisi 7 (tujuh) butir model perjuangan yang dikenal dengan ‘minimum
program’. Ketujuh program itu adalah 1) Berunding atas pengakuan
kemerdekaan 100 %, 2) Pemerintahan
rakyat (dalam arti sesuainya haluan pemerintah dengan kemauan rakyat),
3) Tentara rakyat (dalam arti sesuainya haluan tentara dengan kemauan rakyat),
4) Melucuti tentara Jepang, 5) Mengurus tawanan Bangsa Eropa, 6) Menyita dan
menyelenggarakan pertanian (kebun), 7) Menyita dan menyelenggarakan
perindustrian musuh (pabrik, bengkel, tambang dll)[6].
Sementara itu, Soekarno dalam upayanya mewujudkan Indonesia merdeka, sejalan dengan Tan
Malaka juga menyerukan massa
aksi. Ketika menjelaskan jalan perjuangan kaum marhaen[7],
Soekarno mengatakan ;
“…….Marhaen harus berdjoang zonder damai dengan semangat
radikalisme dan sepak terdjang radikalisme……..Tapi bagaimanakah
djalan-djalannya kaum marhaen menjelmakan machtsvorming yang berazas
radikalisme itu ? Tidak ada djalan dua, tidak ada djalan tiga, melainkan hanja
satu djalanja saja : djalanja massa-aksi…….”[8]
Dari kedua founding
father bangsa ini ditemukan bahwa mereka mengidealisasi massa aksi sebagai
cara dan strategi yang tepat dalam mempeejuangkan, merebut dan mempertahankan
kemerdekaan, bukan dengan jalan kompromi dengan komprador-komprador imprealisme
internasional.
Etos Ke-Indonesia-an;
Secebis Harapan
Ketika kita merasa diri sebagai Indonesia, mungkin akan
muncul berbagai macam persepsi tentang Indonesia itu sendiri. Bagi daerah yang
senantiasa bergolak dengan isu-isu ‘separatisme’, maka Indonesia adalah
imprealis. Bagi orang-orang yang gemuk karena sistemnya yang korup, maka
baginya Indonesia adalah masa depan cerah dan menjanjikan kesejahteraan.
Belum lagi sebagian kita yang memahami Indonesia hanyalah
sekedar sebatas pemahaman geografi bahwa Indonesia adalah negara yang berada di
kawasan Asia Tenggara. Begitu kompleks kita memandang Indonesia sehingga kian
hari, Indonesia makin menjadi benang kusust yang penuh silang sengkarut. Saat
kondisi ini merajalela, maka ruh ke-Indonesia-an menjadi terselubung dan
mengendap dalam relung kesadaran yang paling nadir tanpa pernah coba untuk
dilirik lagi.
Melihat kondisi yang ruwet ini, tampaknya upaya untuk
menyegarkan ingatan terhadap apa dan bagaimana sebenarnya Indonesia kita, juga
penting untuk menyadari bahwa untuk mewujudkan Indonesia masa depan, pijakan
tradisi tetap menjadi hal yang tidak boleh dilupakan, kecuali kalau kita mau
menjadi bangsa yang a-historis, dan yang pasti situasi seperti itu akan
mengakibatkan shock future sebagai akibat dari shock culture
akibat terjadinya patahan kebudayaan.
Oleh karena itu Indonesia tidak pantas hanya dihargai
sebagai sekedar identitas ataukah label. Indonesia adalah panggilan untuk
berbuat, Indonesia adalah satu sikap, i’tikad untuk menjadi yang lebih baik.
Indonesia adalah karakter yang mengalir dalam ruh putra putrinya. Namun inipun
tergantung pada kemampuan kita untuk menghayatinya sebagai ruh yang hidup dan
menyemangati.
Cara pandang ini telah dipraktekkan oleh para pendahulu
kita, bagaimana dialektika dan perbedaan cara pandang diantara mereka tidak
membuatnya berpecah. Baik kalangan yang terkategorikan sebagai nasionalisme
Islam, nasionalisme sekuler, maupun Islam sekuler. Mereka punya satu semangat
yang sama, menjadikan Indonesia lebih baik, lebih humanis, lebih berpihak pada
kaum lemah dan terpinggirkan.
Indonesia Baru; Utopia
Jilid II
Setiap warga negara
berhak bermimpi yang indah tentang negaranya, dan mimpi kita kali ini adalah
Indonesia baru. Nampaknya arah guliran roda sejarah Indonesia perlu diluruskan
kembali, sudah saatnya kita semua mengadakan refleksi tentang keindonesiaan
kita, muali dari cara pandang tengan Indonesia dan kebutuhan kita akan
Indonesia.
Pada dasarnya setiap
orang membangun komunitas tentu bertujuan agar kehidupannya menjadi lebih baik,
namun disamping itu, diharapkan komunitas yang terbangun bisa menjadi sarana
bagi kebaikan semua, bukan kebaikan segelintir orang. Untuk kasus Indonesia
hari ini, tampaknya perubahan sistem keindonesiaan kita perlu dilakukan secara
mendasar dan sistemik.
Indonesia kita
mengalami kerusakan yang parah dan sangat menghawatirkan, impian Tan Malaka
untuk sebuah kemerdekaan 100
% tampaknya masih menjadi impian kita hari ini. Indonesia kita hari ini terperangkap pada sebuah sitem yang sudah ditolak oleh Soekarno puluhan tahun lalu, demokrasi borjuis, seperti
dikatakannya
“…..di negeri-negeri modern itu benar ada parlemen, benar ada
‘tempat perwakilan rakjat’, benar rakjat
namanja “boleh ikut memerintah”, tapi ach kaum borjuis lebih kaja daripada
Rakjat-djelata, mereka dengan harta-hartanja, dengan surat-surat kabarnja, dengan buku-bukunja, dengan
madrasah-madrasanja, dengan propogandis-propogandisnja, dengan
bioskop-bioskopnja, dengan segala alat kekuasaannja bisa mempengaruhi semua
akal pikiran kaum pemilih, mempengaruhi semua djalannya politik……”[9]
Tampaknya
kita sebagai generasi pewaris etos Ke-Indonesia-an pada hari ini kembali
mengingat sebaris pesan Muh. Hatta, beliau mengatakan ;
“Detik darah yang mengalir dalam tubuhmu akan
memperingatkan kepadamu kebesaran bangsamu di masa dahulu. Detik darah itu
hendaklah juga menjadi peringatan kepadamu setiap waktu akan kewajubanmu
sebagai putra bangsa dalam perjuangan mati-matian dimasa datang”
* *
* * *
“Cucuku, masih ingatkah kau dengan nyanyian yang selalu
didendangkan oleh nenekmu ketika kau masih berumur 5 tahuan-an dan ibumu
membawamu kesini ?” sang kakek bertanya pada cucunya yang masih setia duduk
dihadapannya.
“Nyanyian yang manakah itu ‘kek ?”
si cucu balik bertanya.
“Nyanyian yang dinyanyikannya
ketika kau sulit tidur di malam hari”
“Aku sudah lupa wahai kakekku,
maukah kakek mengajarkannya sekali lagi pada cucumu yang pelupa ini ?”
Sang kakek termenung
sejenak, mungkin mencoba mengumpulkan ingatannya yang mulai terserak sejalan
usianya yang kian renta.
“Baiklah, dengarkanlah baik-baik”
Tenna podo bosi
riulunna
Alla tenna bosi
Tenna bosi ri toddanna
Na
lempe ri toddanna
Na lempe ri toddanna
Na
mali maneng lebba’E
“Oh, kakekku lagu itu telah
mengingatkanku pada nenek” suasana hening sejenak, sementara itu, senja mulai
berbias-bias.
“Cucuku, mari kita pulang hari
mulai gelap”.
[1] Utopia disini
berarti sebuah upaya penggambaran ideal sebuah masyarakat yang dicita-citakan,
sedang dan akan ditegakkan.
[2] W. Suwarto, “Pengantar”
untuk buku Muhammad Yamin, Tan Malaka,
Bapak Republik Indonesia, Yayasan Massa, 1990, hal. 7.
[3] W. Suwarto, ibid,
1990, hal. 7.
[4] Lebih lanjut
masalah ini silahkan lihat Muhammad Yamin, Tan
Malaka, Bapak Republik Indonesia, Yayasan Massa, 1990
[5] Poeze, Harry
A., Tan Malaka : Pergulatan Menuju
Republik 1925-1945, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1999, hal. 98-101.
[6] Tujuh butir
itu dikutip dari Wiratama Aria, Pemikiran
Politik Sjahrir dan Tan Malaka pasca Proklamasi RI, Sinar Harapan,
19-8-2002
[7] Dalam bukunya yang berjudul Di
Bawah Bendera Revolusi, Jakarta.
1964. Cet. III. hal. 253, Soekarno menjelaskan, “……(6).
Marhaenisme adalah azas jang menghendaki susunan masjarakat dan susunan
negeri jang di dalam segala halnja menyelamatkan Marhaen. (7) Marhaenisme
adalah pula tjara-perdjoangan untuk menjapai susunan masjarakat jang demikian
itu, jang karenanja, harus satu
tjara-perdjoangan yang revolusioner. (8)
Djadi marhaenisme adalah : tjara perjoangan dan azas yang menghendaki hilangnja
tiap-tiap kapitalisme dan imprealisme……”
[8] Soekarno, Di
Bawah Bendera Revolusi, Jakarta.
1964. Cet. III. hal. 300.
Tags:
Pemikiran