Melacak Artefak Pemikiran Intelektual Indonesia; Mengembalikan Etos Keindonesiaan

[05.04.2007] Suatu siang disebuah dangau ditengah sawah, angin bertiup sepoi-sepoi, sayup-sayup terdengar percakapan seorang petani tua dengan cucunya yang lahir, besar sampai kuliah di kota besar, kebetulan berlibur ke desa. Kakek yang sudah berumur 60-an tahun itu, merasa muda kembali dan melayani cucunya bercerita dengan begitu bergairah.

Percakapn mereka berkisar pada persoalan siapa yang paling pantas disebut sebagai bapak Indonesia. Sang cucu sangat mengagung-agungkan Soekarno, dengan begitu bergairah dia menceritakan bagaimana pemerintahan orde baru dianggapnya sebagai biang keladi terdistorsinya penceritaan tentang jasa-jasa Soekarno di zaman revolusi kemerdekaan. Tetapi sang kakek menjelaskan lain.

*   *   *   *   *

Percah Pemikiran; Cabikan-cabikan yang Terserak

Setiap upaya untuk memaparkan sejarah, pada dasarnya hanyalah sebuah upaya untuk menyorot satu masalah dengan satu cara pandang yang kita miliki. Hal ini berimplikasi bahwa setiap sejarah hanyalah hasil pembacaan yang belum tentu demikian adanya. Ini terjadi karena setiap cara pandang dalam menyorot sejarah, masing-masing memiliki perbedaan kepentingan tentang peristiwa mana yang penting untuk dikisahkan dan mana yang tidak.
Demikianpun ketika kita berusaha melacak dengan begitu jauh kebelakang, sebuah zaman dimana Indonesia masih berupa ‘utopia’[1]. Indonesia pertama kali diperkenalkan oleh Tan Malaka pada tahun 1923 melalui bukunya yang berjudul ‘Naar de Republik Indonesia’ yang berarti “Menuju Republik Indonesia.”[2]
Secara tegas dan jelas, Tan Malaka melalui buku ini mengambarkan sebuah proyek yang bernama “Republik Indonesia’. Didalamnya dikupas kondisi obyektif masyarakatnya, tahapan-tahapan konsepsional tentangnya serta langkah-langkah konkrit yang bisa dilakukan dalam upaya mewujudkannya.

Inilah penjelasan pertama tentang Indonesia yang begitu jelas dan gamblang lebih gamblang dari apa yang dilakukan oleh Moh. Hatta dalam ‘Kearah Indonesia Merdeka’ (1932) dan Soekarno melalui bukunga yang berjudul ‘Mencapai Indonesia Merdeka’ (1933)[3]. Sangat pantaslah ketika dikemudian hari Muhammad Yamin mengatakan Tan Malaka itu

Tak ubahnya daripada Jefferson Washington merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaan tercapai, atau sebagai Rizal-Bonifacio meramalkan Republik Philipina sebelum revolusi Philipina pecah . . .[4].

                Dalam upayanya menegakkan Indonesia yang dicita-citakannya, Tan Malaka mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) di bangkok pada tahun 1927. dengan partai inilah Tan Malaka makin mengokohkan konsepsionalisasinya mengenai taktik dan strategi yang jitu dalam menegakkan Indonesia.
                Harry A. Poeze ketika mengulas hal ini mengatakan bahwa kita harus percaya pada kekuatan sendiri, bertindak tanpa terikat pihak lain, tetapi yang sesuai dengan proletariat internasional dan siasat ‘getrennt marschierent, vereint schlagen’ (berbaris terpisah-pisah berhasil bersama-sama)[5]. Tan Malaka sangat memimpikan kemerdekaan Indonesia 100 % dan ini diperoleh melalui sebuah massa aksi dan bukannya melalui perundingan damai.
Pada tanggal 3-5 Januari 1946 Tan Malaka pidato di hadapan kongres Persatuan Perjuangan di Purwokerto. Pidatonya itu berisi 7 (tujuh) butir model perjuangan yang dikenal dengan ‘minimum program’. Ketujuh program itu adalah 1) Berunding atas pengakuan kemerdekaan 100 %,  2) Pemerintahan rakyat (dalam arti sesuainya haluan pemerintah dengan kemauan rakyat), 3) Tentara rakyat (dalam arti sesuainya haluan tentara dengan kemauan rakyat), 4) Melucuti tentara Jepang, 5) Mengurus tawanan Bangsa Eropa, 6) Menyita dan menyelenggarakan pertanian (kebun), 7) Menyita dan menyelenggarakan perindustrian musuh (pabrik, bengkel, tambang dll)[6].
Sementara itu, Soekarno dalam upayanya mewujudkan Indonesia merdeka, sejalan dengan Tan Malaka juga menyerukan massa aksi. Ketika menjelaskan jalan perjuangan kaum marhaen[7], Soekarno mengatakan ;
“…….Marhaen harus berdjoang zonder damai dengan semangat radikalisme dan sepak terdjang radikalisme……..Tapi bagaimanakah djalan-djalannya kaum marhaen menjelmakan machtsvorming yang berazas radikalisme itu ? Tidak ada djalan dua, tidak ada djalan tiga, melainkan hanja satu djalanja saja : djalanja massa-aksi…….”[8]
                Dari kedua founding father bangsa ini ditemukan bahwa mereka mengidealisasi massa aksi sebagai cara dan strategi yang tepat dalam mempeejuangkan, merebut dan mempertahankan kemerdekaan, bukan dengan jalan kompromi dengan komprador-komprador imprealisme internasional.

Etos Ke-Indonesia-an; Secebis Harapan

Ketika kita merasa diri sebagai Indonesia, mungkin akan muncul berbagai macam persepsi tentang Indonesia itu sendiri. Bagi daerah yang senantiasa bergolak dengan isu-isu ‘separatisme’, maka Indonesia adalah imprealis. Bagi orang-orang yang gemuk karena sistemnya yang korup, maka baginya Indonesia adalah masa depan cerah dan menjanjikan kesejahteraan.
Belum lagi sebagian kita yang memahami Indonesia hanyalah sekedar sebatas pemahaman geografi bahwa Indonesia adalah negara yang berada di kawasan Asia Tenggara. Begitu kompleks kita memandang Indonesia sehingga kian hari, Indonesia makin menjadi benang kusust yang penuh silang sengkarut. Saat kondisi ini merajalela, maka ruh ke-Indonesia-an menjadi terselubung dan mengendap dalam relung kesadaran yang paling nadir tanpa pernah coba untuk dilirik lagi.
Melihat kondisi yang ruwet ini, tampaknya upaya untuk menyegarkan ingatan terhadap apa dan bagaimana sebenarnya Indonesia kita, juga penting untuk menyadari bahwa untuk mewujudkan Indonesia masa depan, pijakan tradisi tetap menjadi hal yang tidak boleh dilupakan, kecuali kalau kita mau menjadi bangsa yang a-historis, dan yang pasti situasi seperti itu akan mengakibatkan shock future sebagai akibat dari shock culture akibat terjadinya patahan kebudayaan.
Oleh karena itu Indonesia tidak pantas hanya dihargai sebagai sekedar identitas ataukah label. Indonesia adalah panggilan untuk berbuat, Indonesia adalah satu sikap, i’tikad untuk menjadi yang lebih baik. Indonesia adalah karakter yang mengalir dalam ruh putra putrinya. Namun inipun tergantung pada kemampuan kita untuk menghayatinya sebagai ruh yang hidup dan menyemangati.
Cara pandang ini telah dipraktekkan oleh para pendahulu kita, bagaimana dialektika dan perbedaan cara pandang diantara mereka tidak membuatnya berpecah. Baik kalangan yang terkategorikan sebagai nasionalisme Islam, nasionalisme sekuler, maupun Islam sekuler. Mereka punya satu semangat yang sama, menjadikan Indonesia lebih baik, lebih humanis, lebih berpihak pada kaum lemah dan terpinggirkan.

Indonesia Baru; Utopia Jilid II

                Setiap warga negara berhak bermimpi yang indah tentang negaranya, dan mimpi kita kali ini adalah Indonesia baru. Nampaknya arah guliran roda sejarah Indonesia perlu diluruskan kembali, sudah saatnya kita semua mengadakan refleksi tentang keindonesiaan kita, muali dari cara pandang tengan Indonesia dan kebutuhan kita akan Indonesia.
                Pada dasarnya setiap orang membangun komunitas tentu bertujuan agar kehidupannya menjadi lebih baik, namun disamping itu, diharapkan komunitas yang terbangun bisa menjadi sarana bagi kebaikan semua, bukan kebaikan segelintir orang. Untuk kasus Indonesia hari ini, tampaknya perubahan sistem keindonesiaan kita perlu dilakukan secara mendasar dan sistemik.
                Indonesia kita mengalami kerusakan yang parah dan sangat menghawatirkan, impian Tan Malaka untuk sebuah kemerdekaan 100 % tampaknya masih menjadi impian kita hari ini. Indonesia kita hari ini terperangkap pada sebuah sitem yang sudah ditolak oleh Soekarno puluhan tahun lalu, demokrasi borjuis, seperti dikatakannya
“…..di negeri-negeri modern itu benar ada parlemen, benar ada ‘tempat perwakilan  rakjat’, benar rakjat namanja “boleh ikut memerintah”, tapi ach kaum borjuis lebih kaja daripada Rakjat-djelata, mereka dengan harta-hartanja, dengan surat-surat kabarnja,  dengan buku-bukunja, dengan madrasah-madrasanja, dengan propogandis-propogandisnja, dengan bioskop-bioskopnja, dengan segala alat kekuasaannja bisa mempengaruhi semua akal pikiran kaum pemilih, mempengaruhi semua djalannya politik……”[9] 
                Tampaknya kita sebagai generasi pewaris etos Ke-Indonesia-an pada hari ini kembali mengingat sebaris pesan Muh. Hatta, beliau mengatakan ;
“Detik darah yang mengalir dalam tubuhmu akan memperingatkan kepadamu kebesaran bangsamu di masa dahulu. Detik darah itu hendaklah juga menjadi peringatan kepadamu setiap waktu akan kewajubanmu sebagai putra bangsa dalam perjuangan mati-matian dimasa datang”

*   *   *   *   *

“Cucuku, masih ingatkah kau dengan nyanyian yang selalu didendangkan oleh nenekmu ketika kau masih berumur 5 tahuan-an dan ibumu membawamu kesini ?” sang kakek bertanya pada cucunya yang masih setia duduk dihadapannya.
   “Nyanyian yang manakah itu ‘kek ?” si cucu balik bertanya.
   “Nyanyian yang dinyanyikannya ketika kau sulit tidur di malam hari”
   “Aku sudah lupa wahai kakekku, maukah kakek mengajarkannya sekali lagi pada cucumu yang pelupa ini ?”
                Sang kakek termenung sejenak, mungkin mencoba mengumpulkan ingatannya yang mulai terserak sejalan usianya yang kian renta.
   “Baiklah, dengarkanlah baik-baik”
                Tenna podo bosi riulunna
                Alla tenna bosi
                Tenna bosi ri toddanna
                                Na lempe ri toddanna
                                Na lempe ri toddanna
                                Na mali maneng lebba’E
   “Oh, kakekku lagu itu telah mengingatkanku pada nenek” suasana hening sejenak, sementara itu, senja mulai berbias-bias.
                “Cucuku, mari kita pulang hari mulai gelap”.




[1]       Utopia disini berarti sebuah upaya penggambaran ideal sebuah masyarakat yang dicita-citakan, sedang dan akan ditegakkan.
[2]       W. Suwarto, “Pengantar” untuk buku Muhammad Yamin, Tan Malaka, Bapak Republik Indonesia, Yayasan Massa, 1990, hal. 7.
[3]       W. Suwarto, ibid, 1990, hal. 7.
[4]       Lebih lanjut masalah ini silahkan lihat Muhammad Yamin, Tan Malaka, Bapak Republik Indonesia, Yayasan Massa, 1990
[5]       Poeze, Harry A., Tan Malaka : Pergulatan Menuju Republik 1925-1945, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1999, hal. 98-101.
[6]       Tujuh butir itu dikutip dari Wiratama Aria, Pemikiran Politik Sjahrir dan Tan Malaka pasca Proklamasi RI, Sinar Harapan, 19-8-2002
[7]       Dalam bukunya yang berjudul Di Bawah  Bendera Revolusi, Jakarta. 1964. Cet. III. hal. 253, Soekarno menjelaskan, “……(6).  Marhaenisme adalah azas jang menghendaki susunan masjarakat dan susunan negeri jang di dalam segala halnja menyelamatkan Marhaen. (7) Marhaenisme adalah pula tjara-perdjoangan untuk menjapai susunan masjarakat jang demikian itu,  jang karenanja, harus satu tjara-perdjoangan yang revolusioner.  (8) Djadi marhaenisme adalah : tjara perjoangan dan azas yang menghendaki hilangnja tiap-tiap kapitalisme dan imprealisme……”
[8]       Soekarno, Di Bawah  Bendera Revolusi, Jakarta. 1964. Cet. III. hal. 300.
[9]       Soekarno, ibid, 1964. hal. 319-320.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama