[05.04.2007] Ada
sebuah pemeo yang berkembang bahwa seorang aktivis Islam akan diragukan
keislaman gerakannya kalau ternyata aktivis tersebut gagap dalam menggunakan
istilah-istilah yang islami. Bahkan kata sahabat –yang dari sononya sudah
arab— dianggap belum islami kalau tidak diganti dengan ikhwan.
Apatah lagi dengan istilah yang lain. Kalau aktivis tersebut tidak fasih
menyebut kata ukhti/akhi, afwan, syukron dan lain
sebagainya, maka aktivis tersebut diragukan ke-ikhwan-annya.
Pada kasus ini, nampak jelas adanya upaya untuk menjalankan proses islamisasi diseluruh sektor kehidupan termasuk bahasa. Proyek untuk mensosialisasikan “dimensi keislaman” sebagai “budaya alternatif” telah merambah bahasa dengan adanya upaya meng-islam-kan bahasa lokal agar menjadi islami.
Dalam kerangka pikir ini, penampilan Islam menjadi “budaya ideal” yang begitu agung dan luhur berdampak nehatif dalam hubungannya dengan budaya lokal. Akibatnya budaya lokal menjadi tersisih dan diposisikan sebagai budaya yang usang dan patut ditinggalkan. Bahkan lebih jauh budaya lokal terdefinisikan sebagai sumber takhyul, bid’ah dan khurafat yang harus dilenyapkan.
Menjadi Islam; Gimana Dong ?
Menjadi Islam atau Menjadi Arab
Menjadi
Islam atau Memupuk Irasionalitas
Cara berfikir keislaman seperti ini telah melahirkan corak Islam yang cendrung irasional. Dari sudut pandang kebudayaan, Islam corak ini melahirkan budaya masyarakat yang penuh dengan mistisisme dan keajaiban, cerita-cerita kehebatan para wali mrenjadi sangat heroik dan mengagumkan. Alat ukur keberislaman seseorang diukur dengan ukuran-ukuran yang berisfat intuitif dan sejauhmana mereka mengalami proses mukasyafah.
Upaya untuk menghadirkan wajah Islam dalam pakaian-pakaian lokal menjadi pembicaraan yang menarik bila diperhadapkan dengan strategi pemurnian dan pengaslian ajaran islam melalui formalisasi ajaran Islam oleh sebagian gerakan puritanisasi dan modernisasi Islam. Apakh memang ada celah untuk menjadi islam yang baik dengan wajah local masing-masing merupakan pertanyaan yang coba dijawab oleh lokalitas-lokalitas yangselama ini dibungkam dan dipinggirkan serta tidak siberi ruang ekspresi yang luas, padahal mereka adalah anak kandung sejarah yang tidak bidsa dinafikan.
Kebudayaan dalam perspektif lokalitas ditempatkan sebagai arena-ajang kontestasi, mejajakan diri dan negosiasi antar komponen atau seperti kata Gus Dur, kebudayaan adalah seni hidup (the art of living) atau kehidupan sosial manusiawi (human social live) yang terbangun atas dasar interaksi sosial sesama manusia, individu maupun kelompok. Kebudayaan dengan demikian, dapat dikatakan sebagai representasi proses emansipasi seorang manusia atau suatu masyarakat menuju kearah yang lebih survive[16].
Dengan melihat kerangka kerja ini, akan ditemukan sebuah ruang kemerekaan beragama yang tidak melulu hegemonik dan dominatif, namun kreatif, imajinatif dan merangsang manusia sebagai pelaku kebudayan untuk terus melakukan negosiasi demi emansipasi diri demi survivenya kemanusiaan. Semoga
Pada kasus ini, nampak jelas adanya upaya untuk menjalankan proses islamisasi diseluruh sektor kehidupan termasuk bahasa. Proyek untuk mensosialisasikan “dimensi keislaman” sebagai “budaya alternatif” telah merambah bahasa dengan adanya upaya meng-islam-kan bahasa lokal agar menjadi islami.
Dalam kerangka pikir ini, penampilan Islam menjadi “budaya ideal” yang begitu agung dan luhur berdampak nehatif dalam hubungannya dengan budaya lokal. Akibatnya budaya lokal menjadi tersisih dan diposisikan sebagai budaya yang usang dan patut ditinggalkan. Bahkan lebih jauh budaya lokal terdefinisikan sebagai sumber takhyul, bid’ah dan khurafat yang harus dilenyapkan.
Menjadi Islam; Gimana Dong ?
Seorang
teman pernah mengatakan bahwa sesungguhnya manusia itu lucu dan sekaligus
membingungkan. Lucu karena mereka menganggap bahwa mereka membutuhkan Islam dan
yang membingungkan bagi teman tersebut, karena dalam memenuhi kebutuhannya akan
Islam, mereka selalu mencari islam dimana-mana. Buat apa mencari Islam, kata
teman tersebut, kalau membutuhkan Islam, berhentilah mencarinya dan menjadilah
Islam.
Dalam kerangka pikir sederhana,
kata-kata teman diatas menjadi sangat sulit untuk diterima. Apakah mungkin
manusia berhenti saja mencari Islam dan menjadi Islam ? Lalu bagaimana caranya
? Padahal jelas bahwa Islam itu lain, manusia yang mau menjadi Islam itu lain.
jadi ada jarak disini, itu kalau kita berfikir secara sederhana.
Kalau kita menganalisisnya
secara lebih mendalam, kita akan bersentuhan dengan pemikiran Al Jabiri tentang
nalar arab yang membangun cara-corak berislam umat islam sampai pada hari ini. Al
Jabiri mengatakan bahwa umat Islam, dalam melakukan pembacaan terhadap
Islam, mereka menggunakan tiga macam kerangka pikir yang disebutnya Akal atau
Nalar.
Al Jabiri[1]
mengklasifikasi akal arab menjadi tiga tren, yaitu; akal retoris (Al “Aql
Al-Bayani), akal gnostis (Al ‘Aql Al-Irfani) dan akal demonstratif (Al
“Aql Al-Burhani). Bangunan akal inilah yang akan kita gunakan dalam
menganalisis lebih jauh tentang bagaimana caranya menjadi Islam.
Menjadi Islam atau Menjadi Arab
Seperti
apasih cara menjadi Islam yang baik ? Mungkin pertanyaan ini adalah pertanyaan
yang senantiasa menghantui hati nurani anda ketika anda berusaha menjadi Islam
yang baik dan benar. Berbagai cara berkecamuk dan saling memperebutkan tawaran
cara, namun semua itu tentu tetap menyisakan pertanyaan mendalam. Yang akan
diulas pada bagian ini adalah menjadi Islam dengan menjadi Arab.
Diktum
ini berarti bahwa untuk menjadi Islam yang baik, maka seseorang harus “menjadi
Arab”, ini berarti bahwa sesungguhnya tidak ada keterpisahan antara Islam
dengan Arab sebagai budaya kandungnya. Cara berpikir inilah yang dikenal dengan
akal retorisnya Al Jabiri. cara berfikir sederhana akal ini adalah bahwa
untuk menjadi Islam yang baik, maka seseorang harus mempelajari Islam dari
sumber dasarnya.
Sementara itu sebagaimana
mahfum, sumber dasar Islam adalah Al Qur’an yang dari sono-nya berbahasa
arab. Sementara itu, bahasa arab yang genuine adalah bahasa arab badui
yang belum terpengaruh dengan bahasa-bahasa diluarnya yang sudah melakukan
hubungan yang lebih intens dengan pihak luar. Jadi untuk memahami secara
mendalam Islam, kuasailah bahasa arab.
Akibat dari logika berpikir
seperti ini adalah “perspektif pemikiran ilmu-ilmu agama (ilmu kalam dan ilmu
fiqh) tidak mampu melepaskan diri dari prinsip-prinsip dasar bahasa arab yang
merupakan warisan akal arab badui yang tidak melihat adanya hubungan kausalitas
antara kata dan makna. Akan tetapi, hubungan di antara keduanya sekedar
hubungan kedekatan terpisah”[2].
Implikasi lebih jauh dari akal
ini adalah :
“Mereka juga telah memfungsionalisasikan
secara simbolis prinsip retoris tersebut dalam memahami pesan-pesan kosmologis,
keilmuan dan teologis Al Qur’an dan akibatnya pesan-pesan tersebut tidak mampu
keluar dari kungkungan kekuasaan akal jahiliah dalam upaya untuk melebarkan
jangkauan misi pembebasan manusia dari alam kegelapan menuju alam ketentraman”.[3]
Cara berpikir Islam model ini
adalah cara berpikir yang menganggap bahwa ada pemilahan yang tegas antara
budaya Islam dengan budaya yang tidak islami, disamping itu juga tidak
dilakukannya pemilahan yang jelas antara Islam sebagai nilai dengan budaya arab
sebagai ranah budaya dimana nilai Islam pertama kali di praxiskan. Sebuah
pemikiran yang sebenarnya menganggap bahwa arab itu identik dengan Islam.
Jadi untuk menjadi Islam, diukur
pada sejauh mana seseorang itu mampu menjalankan “dimensi Islam” dalam seluruh
sektor kehidupannya. Semisal, penyebutan ikhwan dan akhwat untuk
para aktivis gerakan Islam. Panggilan ukhti dan akhi dalam
komunitas mereka, pada akhirnya menjadi alat identifikasi pragmatis atas
keislaman seseorang.
Menjadi
Islam atau Memupuk Irasionalitas
Berbicara tentang Islam yang baik
menjadi makin menarik ketika sekelompok umat Islam mencoba mengembangkan Islam
dengan menundukkan rasio dibawah sesuatu yang bersifat irasional. Proses
rasionalisasi digunakan hanya untuk mengantar pada sebuah kesimpulan
keberagamaan yang bersifat irasional. Corak berislam seperti ini ditemukan
dalam gerakan “gnostikisme”.
Menurut
Al Jabiri, sebagai aktivitas kognitif, gnostik berarti sesuatu
yang dikatakan oleh para pemeluknya sebagai al-kasyf (unveiling, decouverte)
dan al-‘ayan (intuisi). Sebagai lapangan kognitif, gnostik adalah
sinkretisme dari legenda, kepercayaan dan mitos berbaju agama yang dijadikan
legitimasi pembenaran dari apa yang diyakini oleh pemeluknya sebagai pengertian
esoteris yang tersembunyi di balik wujud eksoteris dari teks agama[4].
Cara berfikir keislaman seperti ini telah melahirkan corak Islam yang cendrung irasional. Dari sudut pandang kebudayaan, Islam corak ini melahirkan budaya masyarakat yang penuh dengan mistisisme dan keajaiban, cerita-cerita kehebatan para wali mrenjadi sangat heroik dan mengagumkan. Alat ukur keberislaman seseorang diukur dengan ukuran-ukuran yang berisfat intuitif dan sejauhmana mereka mengalami proses mukasyafah.
Menjadi Islam; Mempraktekkan Rasionalisme
Kritis
Semangat untuk kembali
menjadikan Islam mampu mewarnai peradaban manusia hari ini telah mendorong para
intelektual Islam mencari berbagai macam formula untuk merangsang kebangkitan
itu. Pertanyaan mendasar yang hendak dijawab adalah apa jawaban Islam terhadap
modernitas, dan sejauhmana jawaban yang diberikan itu tidak mencerabut Islam
dari akar tradisinya ?
Al Jabiri dengan
begitu keras meneriakkan “. . ., tidak ada jalan lain menuju modernisasi
kecuali berpaling kedalam legasi pemikiran kita dengan menggali potensi yang
kita miliki sendiri”[5]
Beliau mengajak umat bahwa untuk menjadi Islam yang baik, maka beliau mengajak
kita untuk berpegang kepada bagian yang paling substansial dari khazanah
Averroisme, yaitu semangat rasionalisme kritis yang memproduksi pemikiran baru,
bukan sekedar mengambil bagian formalnya, yang dalam hal ini adalah
produk-produk pemikirannya[6].
Cara berfikir ini menekankan
bahwa untuk menjadi Islam yang baik bukan dengan mengikuti ataukah mengamini
apa yang telah dihasilkan oleh para pemikir kritis pada zaman dulu seperti Ibn
Rusyd dan Ibn Hazm, melainkan bagaiman semangat mereka itu, umat dapat bangkit
dan berfikir demi masa depannya. Jadi, kebangkitan Islam dapat dilakukan dengan
menganilisa secara kritis masa lalu kemudian melampauinya.
Dengan terbukanya ruang untuk berfikir
secara kritis itu, maka semua level umat akan memiliki-mempunyai kesempatan
untuk memikirkan proyek masa depannya. Setiap sektor umat akan menjadi wahana
bagaimana Islam dikembangkan dan disebarkan. Islam akan hadir dalam bentuk
kait-kelindan dengan tradisi dan budaya lokal dimana Islam didedahkan tanpa
harus menjadi sebuah bangunan sinkretisme mistis. Bahkan Islam menjadi sebuah
wadah yang begitu terbuka untuk proses kontestasi.
Islam
Tanpa Sentrum; Belajar Dari Seni
Menjadi
Islam tanpa menjadi arab, akan melepaskan Islam untuk berselingkuh dengan
bangunan budaya lokal dimana nilai Islam didedahkan dan dipaparkan. Dalam
kondisi ini, islam menjadis eperti lepas dari pondasi budaya ibunya selama ini,
yakni budaya arab. Inilah Islam tanpa sentrum.
Islam
tanpa sentrum maksudnya bahwa sebenarnya islam adalah sebuah nilai universal
yang berhak dan mampu ditampung oleh budaya dikawasan manapun di dunia ini.
Cara berislam seperti ini banyak di dorong oleh pemnganut pemikiran
posttradisionalisme Islam. Strategi Islam tanpa sentrum ini adalah strategi
pribumisasi Islam.
Disamping
itu, Islam tanpa sentrum sangat kontra-produktif dengan strategi puritanisasi
dan modernisasi. Strategi puritanisasi merupakan sikap yang sangat ekstrim dan
tidak bersahabat dengan lokalitas yang ada. Bahkan menurut Ahmad Baso,
mereka ingin menggantikan lokalitas dengan alternatif yang lebih murni dan asli
Islam[7].
Disamping
itu strategi ini bahkan bisa membuat masyarakat lokal mengalami kesulitan dalam
menyesuaikan diri, karena mereka dipaksa meninggalkan budaya local yang selama
ini menjadi perekat kognisi sosial dan penghubung kedekatan psiko-sosial yang
mereka miliki, namun mereka masyarakat tidak diberi tawaran budaya baru yang
bisa mereka jadika sebagai pengganti dari budaya kandung mereka yang
diberangus.
Islam
dengan wajah puritanisme mebuat masyarakat-komunitas lokal mengalami shock
culture yang sangat keras. Menurut Baso, kekuatan ini merupakan
kekuatan yang berupaya mendisiplinkan dan mengontrol produksi kebudayaan dan
ekspresi keagamaan[8].
Masih menurut Baso, ini nampak pada semangatnya menjaga
“kemurnian” dan “keaslian”, sementara sasarannya adalah pengaturan produksi dan
konsumsi masyarakat lokal[9].
Strategi
lain yang sangat sentralistik dan mengedepankan Islam sentrum adalah gerakan
modernisasi. Corak strategi ini memang tetap memberi ruang aktualisasi bagi
budaya lokal, tapi budaya lokal itu harus mengalami islamisasi. Seperti missal,
kesenian tari-tarian, memang tetap diberi ruang untuk berkembang, tetapi penari
perempuan diwajibkan memakai jilbab.
Antara puritanisasi dan
modernisasi tetaplah merupakan upaya pemurnian dan pengaslian warna Islam
masyarakat yang sangat arab sentris. Hal ini karena, kalau berbicara tentang
budaya Islam, maka pertanyaan mendasar adalah budaya mana yang paling
representatif mewakili budaya Islam ? Sementara kita akan kesulitan untuk
mengklaim bahwa ada budaya yang bisa dikataan sebagai budaya Islam yang genuine
yang terpisah dari lokalitas manapun.
Bahkan menurut K.H. Abdurrahman
Wahid[10], ada dua aspek penting yang selama
ini kurang diperhatikan dalam berbincang tentang hubungan antara Islam dan
seni, yaitu :
- belum jelasnya pembagian
wilayah antara seni dan agama dalam Islam, termasuk “pembidangan” antara
wilayah kesenian Islam dan kesenian bukan Islam
- kaitan antara ajaran Islam
disatu pihak dan pandangannya tentang seni di pihak yang lain.
Problem terbesar ketika kita
mencoba mengajukan tawaran Islam tanpa sentrum, karena seni berbicara tentang
keindahan dan mungkin bahkan kadang-kala sangat erotis, nah sementara itu,
wilayah inlah yang paling banyak diatur oleh Islam, atau meminjam bahasa Gus
Dur;
“sensualitas dan naluri erotik
adalah bagian inherent dari kehidupan manusia, dan seni mau tidak mau harus
“merekam”-nya sebagai ekspresi visual, padahal visualitas dan hal-hal erotis
justru lapangan yang “paling diatur” oleh Islam”[11]
Islam tanpa sentrum tentu akan
memberi ruang lebih luas kepada seni untuk menjadi ranah aktualisasi potensi
kemanusiaan yang paling sublim dan mendasar seperti dikatakan Kuntowijoyo,
seni mampu meruntuhkan mitos, dimana
mitos merupakan abstraksi dari yang konkrit sementara seni membalikkan keadaan
ini, karena seni justru merupakan upaya konkretisasi dari yang abstrak[12].
Atau nasehat bijak Gus Dur;
“.
. . pemberian otonomi penuh kepada seni sebagai bidang kehidupan yang dalam
analisa terakhir tokh akan membawa manusia kepada kesadaran akan
kebenaran Allah, karena Ia-lah keindahan mutlak yang memberikan inspirasi bagi
ekspresi seni”[13]
Islam Lokalitas; Islam Pribumi
Upaya untuk menghadirkan wajah Islam dalam pakaian-pakaian lokal menjadi pembicaraan yang menarik bila diperhadapkan dengan strategi pemurnian dan pengaslian ajaran islam melalui formalisasi ajaran Islam oleh sebagian gerakan puritanisasi dan modernisasi Islam. Apakh memang ada celah untuk menjadi islam yang baik dengan wajah local masing-masing merupakan pertanyaan yang coba dijawab oleh lokalitas-lokalitas yangselama ini dibungkam dan dipinggirkan serta tidak siberi ruang ekspresi yang luas, padahal mereka adalah anak kandung sejarah yang tidak bidsa dinafikan.
Berbicara tentang lokalitas ini
secara serius bila dikaitkan dengan doktrin keislaman, Ahmad Baso menulis;
“dalam satu sei Pengajian Agama dan
Kebudayaan “Pribumisasi Islam” yang dilaksanakan oleh Desantara, Juli 2002
lalu, Azyumardi Arza mengatakan “Islam pada akhirnya memang fenomena lokal”.
Karena menurutnya, apa yang disebut dengan yang local itu adalah suatu realitas
historis dan sosiologis-kultural. “Bahkan dalam konteks Al-Qur’an, ayat-ayatnya
sangat lokal” katanya. “jadi sesungguhnya yang lokal-lokal itu diakui dalam
agama”.[14]
Islam Pribumi yang selama ini dicap
merupakan Islam yang penuh dengan takhyul, bid’ah dan khurafat, ternyata
merupakan anak sah dari Islam. Sehingga amatlah riskan kalau gerakan
kebangkitan Islam lokalitas diangap sebagai makin menurunnya “dimensi
keislaman” dalam budaya lokal. Karena sesunguhnya, yang berkurang dari Islam
pribumi bukanlah “dimensi Islam” melainkan “dimensi Arab”.
Hal ini karena dalam pemahaman
Islam dominan selama ini, perbedaan antara Islam dan Arab hampir-hampir tidak
dapat dilakukan (atau sengaja tidak dilakukan ?) dan ini menjadi ladang
empuk terjadinya homogenisasi kebudayaan yang ujung-ujungnya berakibat pada
munculnya hegemoni kebudayaan. Kebudayaan membawa muatan dominatif.
Dalam konteks seperti inilah pribumisasi Islam
menemukan muaranya, karena sebagaimana disinyalir Baso, pribumisasi
Islam bukan hanya menawarkan alternatif perspektif terhadap subalternity, kemarjinalan,
lokalitas atau etnisitas, tapi juga merupakan artikulasi suara-suara lokalitas,
suara-suara marjinal dan subaltern dalam ruang-ruang publik tandingan[15].
Kebudayaan dalam perspektif lokalitas ditempatkan sebagai arena-ajang kontestasi, mejajakan diri dan negosiasi antar komponen atau seperti kata Gus Dur, kebudayaan adalah seni hidup (the art of living) atau kehidupan sosial manusiawi (human social live) yang terbangun atas dasar interaksi sosial sesama manusia, individu maupun kelompok. Kebudayaan dengan demikian, dapat dikatakan sebagai representasi proses emansipasi seorang manusia atau suatu masyarakat menuju kearah yang lebih survive[16].
Islam Lokalitas yang hadir dalam
bentuk Pribumisasi islam adalah sebuah strategi kebudayaan upaya komunitas
local untuk tetpa survive dan pada saat yang sama berusah untuk juga
terkategorisasi sebagai sebagai bagian dari Islam. Mereka betul-betul
menganggap budaya –meminjam defenisi Homi K. Bhaba--
sebagai aktivitas negosiasi, pengaturan dan pengesahan tuntutan-tuntutan akan
representasi diri yang kolektif, yang tidak hanya saling berkompetisi, namun
juga kerap saling bertubrukan[17].
Islam lokalitas bekerja dengan
memplesetkan segala hal yang berasal dari luar. Meminjam dan merengkuh kuasa
dan otoritas luar, lalu, dipakai untuk memperkukuh otoritas dan kemampuan
subyektifitasnya sendiri. Sehingga memungkinkan melancarkan siasat-siasat baru
menghadapi dominasi dan membereskan hegemoni[18].
Dengan melihat kerangka kerja ini, akan ditemukan sebuah ruang kemerekaan beragama yang tidak melulu hegemonik dan dominatif, namun kreatif, imajinatif dan merangsang manusia sebagai pelaku kebudayan untuk terus melakukan negosiasi demi emansipasi diri demi survivenya kemanusiaan. Semoga
[1] Abied
Shah. Muhammad Aunul dan Sulaeman Mappiasse, Kritik Akal Arab: Pendekatan
Epistemologis Terhadap Trilogi Kritik Al Jabiri dalam Muhammad Aunul Abied
Shah (ed.), Islam Garda Depan. Bandung, Mizan, cet. I, Juli 2001, hal.
315
[2] Abied
Shah. Muhammad Aunul dan Sulaeman Mappiasse, ibid, hal. 316
[3]
Abied Shah. Muhammad Aunul dan
Sulaeman Mappiasse, ibid, hal. 316
[4] Abied
Shah. Muhammad Aunul dan Sulaeman Mappiasse, ibid, hal. 316
[5]
Al Jabiri. Muhammad Abid, Bunyah Al
‘Aql Al ‘Arabi, Casablanca. Al Markaz Al Tsaqafi Al ‘Arabi. cet II. 1991. hal
568
[6]
Abied Shah. Muhammad Aunul dan
Sulaeman Mappiasse, op.cit, hal. 321
[7] Baso.
Ahmad, Plesetan Lokalitas. Jakarta. Desantara. Desember 2002. Cet I hal
50
[8] Baso.
Ahmad, ibid. hal 51
[9] Baso.
Ahmad, ibid, hal 51
[10] Wahid.
Abdurrahman. Pergulatan Negara, Agama dan kebudayaan. Jakarta.
Desantara. Agustus 2001. Cet 2. hal 160
[11] Wahid.
Abdurrahman, ibid, hal 163
[12]
Marzuki. A. F. Membangun Semesta
Budaya Profetik, Kompas. 21 September 2003
[13]
Wahid. Abdurrahman. op.cit.
hal 166
[14]
Baso. Ahmad, op.cit. hal 54
[15]
Baso. Ahmad, bid. hal 24
[16] Wahid.
Abdurrahman. op.cit. Pengantar
Penerbit. hal vi
[17] Bhaba,
Homi K. Reinventing Britain; A Manifesto, dalam N. Wadham-Smith (ed)
Brithis Studies Now, Vol 9 April 1997
[18] Baso.
Ahmad. Op.cit. hal 82. untuk lebih jelasnya coba bandingkan dengan
konsep mimikri kebudayaan dari Homi K. Bhaba.
Tulisan ini dimuat di Jurnal texere Volume III Zulqa’dah 1424 H/Januari 2004 M Halaman 63 - 70
Tulisan ini dimuat di Jurnal texere Volume III Zulqa’dah 1424 H/Januari 2004 M Halaman 63 - 70